Desakralisasi Pernikahan
Oleh: Mohammad Fakhrudin, Warga Muhammadiyah Magelang
Kata "desakralisasi" terdapat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Salah satu maknanya adalah proses penghilangan atau penghapusan kesakralan, yakni hal yang bersifat sakral, suci, atau keramat.
Di dalam Suara Muhammadiyah online telah dipublikasi artikel “Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah” (selanjutnya disingkat IAMKS) oleh Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiana Suputra. Telah diuraikan di dalam IAMKS (1) bahwa nikah merupakan ibadah. Hal ini merujuk kepada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, antara lain, di dalam surat an-Nuur (24): 32.
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya....”
Dalam hubungannya dengan anjuran menikah, Rasulullahu shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, antara lain,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجُ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمَّ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
"Hai para pemuda! Siapa pun di antara kamu yang sudah mampu menikah, maka menikahlah karena menikah itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan siapa pun yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa karena dapat menahan." (Muttafaq 'alaih).
Sementara itu, dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ، فَقَدِ اسْـتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّيْـنِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِيْمَـا بَقِيَ.
“Jika seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Oleh karena itu, hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk separuh yang tersisa.”
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, semestinya sejak ta’aruf hingga secara sah menjadi suami istri, muslim mukmin memahami bahwa menikah merupakan ibadah. Pemahaman yang demikian mempunyai konsekuensi bahwa setiap muslim mukmin yang telah berkeluarga harus menjaga kesucian nilai di dalam pernikahan.
Percikan Noda
Pada akhir-akhir ini terjadi kecenderungan pada tiap pelaksanaan tahapan pernikahan yang tidak sinkron atau tidak “nyambung” dengan nilai ibadah di dalam pernikahan. Kesenjangan yang sering terjadi dan dengan mudah dapat dilihat oleh publik adalah pada tahapan khitbah (peminangan seorang perempuan untuk dijadikan istri) dan resepsi pernikahan di gedung pertemuan atau di hotel yang acaranya diserahkan sepenuhnya kepada Wedding Organizer (WO) yang tidak memahami secara utuh bahwa nikah merupakan ibadah.
Pada acara khitbah yang diselenggarakan di gedung pertemuan atau di hotel yang dikoordinasi oleh WO tersebut, sering ada acara tambahan berupa hiburan. Nah, di dalam acara hiburan inilah sering ada percikan noda.
Acara yang dibuka secara sakral dengan basmallah, sering juga dengan bacaan surat al-Fatihah dilanjutkan dengan pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an, berubah menjadi tontonan pertunjukan musik yang hingar bingar. Pewara (master of ceremony) tampil dengan gaya sebagai pewara pertunjukan musik. Meskipun pewara itu perempuan, tidak berarti tampil lemah lembut. Pada saat tertentu, dia pun tertawa lepas. Dia menyanyi dan berjoget sesuai dengan irama musik!
Di antara biduan perempuan yang tampil ada yang berbusana tidak sesuai dengan standar syar’i. Boleh jadi, dia bukan muslimah. Namun, apakah bukan desakraliasi jika dia menampakkan aurat secara vulgar di tempat hajatan muslim mukmin? Tambahan lagi, lagu yang dilantunkannya lebih banyak yang lepas dari nuansa religius.
Pada khitbah “kehingarbingaran” terbatas karena jumlah hadirin sedikit. Biasanya, jika acara itu diselenggarakan di gedung pertemuan atau di hotel, dihadiri oleh keluarga besar pihak laki-laki, keluarga besar pihak perempuan, beberapa tokoh masyarakat, dan perangkat kelurahan.
Sementara itu, pada resepsi pernikahan suasana jauh lebih “hingar bingar”. Pada acara hiburan, pewara tampil lebih “heboh”. Dia dengan penuh semangat mengajak hadirin untuk “seru-seruan”. Di antara hadirin ada yang menyambut ajakan tersebut misalnya dengan tampil menyanyi. Lagu yang dipilih sesuai dengan seleranya, yang kadang-kadang lepas jauh dari nilai religius.
Ketika lagu dilantunkan, pewara makin bersemangat mengajak hadirin untuk tidak sekadar ikut melantunkan lagu, tetapi juga berjoget. Suasana makin “seru” karena di antara hadirin pun ada yang memenuhi ajakan tersebut. Mereka suka cita berjoget dengan gayanya masing-masing.
Desakralisasi pernikahan makin “parah" ketika resepsi penikahan diselenggarakan di halaman rumah sahibul hajat dengan hiburan pertunjukan seni. Orang yang hadir tidak hanya tamu kondangan, tetapi juga penonton. Di antara penonton ada yang mabuk. Lalu, dia naik panggung dan berjoget sambil bicara dan berperilaku “liar”. Dia mendekati biduan perempuan dan mengajak berjoget, bahkan, mungkin berbuat lebih jauh lagi. Jika dilarang, dia melawan.
Suasana makin tidak terkendali jika penonton yang mabuk tidak hanya satu. Tidak jarang suasana tersebut berujung pada “tawur”. Kenyamanan berubah menjadi kecemasan. Keadaan tersebut baru dapat diatasi setelah anggota TNI dan polri bertindak tegas. Na’uzubillah!
Sering ditampilkan juga lagu yang liriknya religius, tetapi diiringi musik yang merangsang hadirin berjoget dan seketika mendengar irama musik itu langsung bergoyang. Bahkan, lirik salawat pun diiringi musik yang seperti itu.
Dalam suasana yang demikian, dapatkah tamu kondangan dengan khusyuk mendoakan pengantin dan pengantin mengamininya?
Di daerah tertentu ada seni tari tradisional yang jauh dari nilai islami. Hal itu tampak pada pakaian yang dikenakan. Para penari perempuan menggunakan pakaian yang tidak memenuhi standar syar’i. Tambahan lagi, ada gerakan tari yang sangat erotis yang membangkitkan berahi.
Dalam usaha “membanggakan” dan melestarikan seni tari tersebut, ada sahibul hajat yang menampilkannya pada resepsi pernikahan di halaman rumahnya. Ada anggapan pada bagian kecil anggota masyarakat bahwa pertunjukan seni itu sukses jika di antara para penarinya ada yang “kesurupan” (kemasukan roh halus).
Untuk “mengeluarkan roh halus” tersebut, dilakukanlah pembacaan mantera-mantera oleh orang pintar dari grup seni tari itu. Hal lain yang juga menodai pernikahan sebagai ibadah adalah cara orang pintar itu “mengeluarkan roh halus”. Dia menyentuh, bahkan mengelus-elus, tubuh penari perempuan yang “kesurupan” itu tanpa sarung tangan.
Jika Acara Diserahkan Sepenuhnya kepada WO
Tidak selalu acara resepsi pernikahan merupakan keinginan sahibul hajat. Kadang-kadang cukup banyak acara yang berasal dari keinginan WO. Dengan kemampuan “merayu” tingkat tinggi, WO membuat sahibul hajat menyerahkan sepenuhnya acara khitbah dan resepsi pernikahan.
Ada WO yang sama sekali tidak mempertimbangkan kepentingan tamu kondangan. Hal itu terjadi misalnya ketika tamu kondangan sudah hadir sesuai dengan undangan, yakni pukul 11.00, tetapi mereka belum disilakan memberikan ucapan selamat dan doa kepada pengantin dan orang tuanya karena ada acara “seru-seruan”. Acara itu berupa permainan yang bagi WO sangat luar biasa “serunya’. Namun, bagi tamu undangan? Bagi pengantin dan orang tuanya pun belum tentu acara itu menjadi acara yang membahagiakan.
Salah satu bentuk permainan itu adalah mencari selop pengantin. Permainan itu diawali dengan arahan Tim WO agar pengantin laki-laki dan pengantin perempuan melepas selopnya masing-masing. Kemudian, pengantin laki-laki menyembunyikan selop pengantin perempuan dan sebaliknya. Permainan ini dapat berlangsung lebih dari lima menit.
Masih ada lagi bentuk permainan yang diselenggarakan oleh Tim WO dan memerlukan waktu lebih dari lima menit juga. Dengan demikian, seluruh waktu yang digunakan untuk acara “seru-seruan” itu hampir 30 menit. Hal ini menyebabkan mundurnya acara pemberian ucapan selamat dan doa.
Idealnya sahibul hajat mempunyai konsep acara khitbah dan resepsi pernikahan, baik yang diselenggarakan di rumah, di hotel, maupun di gedung pertemuan. Kalaupun ada acara hiburan, jenis hiburan yang ditampilkan harus islami.
Akad nikah dapat diselenggarakan pula di musala atau masjid. Jika sahibul hajat menyerahkan sepenuhnya acara kepada WO, dapat terjadi pada acara calon pengantin laki-laki mohon izin kepada orang tuanya untuk menikah, dengan maksud agar suasananya mengharukan, acara itu diiringi musik. Tentu musik itu merupakan pilihan Tim WO. Karena koordinator WO tidak memahami cara memperoleh barakah di dalam acara pernikahan, musik yang dipilihnya pun jauh dari nilai religius. Demikian pula halnya ketika calon pengantin perempuan mohon izin kepada orang tuanya.
Ada hal lain yang perlu kita perhatikan juga. Begitu selesai doa akad nikah, musik segera diperdengarkan. Jika akad nikah diselenggarakan di gedung pertemuan atau di hotel, musik yang diperdengarkan adalah musik yang burnuansa kegembiraan menurut selera Tim WO, yang tidak selalu bernuansa rasa syukur.
Warga Muhammadiyah mempunyai Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah. Di dalam Bab III, Sub-bab K dijelaskan Kehidupan dalam Seni dan Budaya, antara lain, sebagai berikut.
Berdasarkan keputusan Munas Tarjih ke-22 tahun 1995 bahwa karya seni hukumnya mubah (boleh) selama tidak mengarah atau mengakibatkan fasad (kerusakan), dharar (bahaya), ‘ishyan (kedurhakaan), dan ba’id anillah (terjauhkan dari Allah), maka pengembangan kehidupan seni dan budaya di kalangan Muhammadiyah harus sejalan dengan etika atau norma-norma Islam sebagaimana dituntunkan Tarjih tersebut.
Seni suara, baik vokal maupun instrumental, seni sastra, dan seni pertunjukan pada dasarnya mubah (boleh), serta menjadi terlarang manakala seni dan ekspresinya baik dalam wujud penandaan tekstual maupun visual tersebut menjurus pada pelanggaran norma-norma agama.
Setiap warga Muhammadiyah, baik dalam menciptakan maupun menikmati seni dan budaya, selain dapat menumbuhkan perasaan halus dan keindahan juga menjadikan seni dan budaya sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, dan sebagai media atau sarana dakwah untuk membangun kehidupan yang berkeadaban.
Desakralisasi pernikahan pasti mendatangkan kemudaratan yang sangat besar. Sangat mungkin di dunia pun telah dapat dirasakan akibat buruknya. Oleh karena itu, muslim mukmin, terutama warga Muhammadiyah, tidak sepatutnya melakukannya.