Doa “Sing Alus Nasib”: Lukisan Terindah Ibu

Publish

23 December 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
100
Ilustrasi

Ilustrasi

Doa “Sing Alus Nasib”: Lukisan Terindah Ibu

Oleh: Babay Parid Wazdi, Kader Muhammadiyh & Aktifis IPM 1988-1991

Ibuku adalah seorang guru SD, perempuan sederhana yang tabah, sekaligus pelukis kehidupan bagi anak-anaknya. Sejak usia 35 tahun ia menjadi single parent, menanggung empat anak seorang diri. Saat itu aku baru duduk di bangku kelas satu SMA Muhammadiyah II Yogyakarta, sementara adikku yang bungsu baru berusia tujuh tahun.  

Aku sering teringat hadis Nabi Muhammad SAW yang intinya menyebutkan “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya sesuatu.” Ibu benar-benar memahami itu. Ia melukis kami bukan dengan tinta, tapi dengan keteladanan, ketekunan, dan doa yang tak pernah putus di tengah keterbatasan.

Setiap pagi ia berangkat mengajar dengan berjalan kaki kadang naik sepeda. Seusai mengajar, ia mengajar mengaji anak-anak tetangga. Kami tumbuh dalam suasana sederhana, tapi penuh cinta dan disiplin. Tidak ada yang instan dalam rumah kami, kecuali keikhlasan.  

Doanya menjadi sumber tenaga bagi kami: “Mudah-mudahan sing alus nasib, Nak-semoga nasibmu baik.” Ucapan yang terdengar ringan, tapi bagi kami adalah mantra kehidupan. Doa itu seakan menembus waktu dan takdir.

Dengan segala keterbatasan, ibu berhasil melukis masa depan anak-anaknya. Kami semua bisa menempuh kuliah, bahkan aku dan adikku, Atet, berkesempatan belajar ke luar negeri dengan beasiswa. Baginya, melihat anak-anaknya menjadi sarjana adalah puncak kebahagiaan. Tahun 2020, ibu wafat dalam usia senja. Ibu telah berkesempatan menunaikan ibadah haji dan sempat merasakan tinggal di Australia selama dua tahun menemani si bungsu kuliah disana, serta berkunjung ke Inggris dan ke berbagai negara lainnya.

Aku tak pernah lupa wajahnya saat tersenyum menatap Ka’bah, wajah yang memancarkan rasa syukur dan ketenangan.  

Kini, ketika aku berada dalam masa yang paling berat dalam hidup, aku sering membayangkan bagaimana jika ibu masih ada. Mungkin ia akan menangis membaca berita tentang diriku, yang difitnah korupsi padahal aku tidak menikmati satu rupiah pun dari kasus yang dituduhkan. Aku yakin hatinya akan hancur, tapi aku juga tahu ia akan tetap menatapku dengan mata teduh sambil berbisik dalam doa, “Sing alus nasib, Nak.”

Aku bekerja di perbankan selama 27 tahun. Sejak awal, aku bertekad untuk mengabdi tanpa korupsi, tanpa gratifikasi, tanpa benturan kepentingan. Aku percaya, uang negara dan kepercayaan publik adalah amanah, bukan alat memperkaya diri.  

Aku masih ingat situasi tahun 2020, ketika pandemi Covid-19 mengguncang dunia. Suara ambulans meraung siang malam, rumah sakit penuh, alat pelindung diri (APD) langka. Dalam kekacauan itu, aku hanya berpikir bagaimana bank bisa berperan membantu bangsa melewati badai pandemi dan krisis ekonomi.

Saat itu ada perusahaan besar di bidang tekstil yang masih mampu beroperasi dan bahkan memproduksi APD untuk tenaga medis. Laporan keuangannya baik, parameter (5C) terpenuhi, dan ada 23 bank lain juga menjadi pemberi kredit. Niatku sederhana: membantu menjaga ribuan lapangan kerja, membantu ketersediaan APD, dan menjaga denyut ekonomi di tengah kepanikan nasional.  

Namun takdir berkata lain. Kredit macet yang muncul belakangan membuatku dituduh merugikan negara. Padahal bagi siapa pun yang mengenal dunia perbankan, Non-Performing Loan (NPL) atau kredit macet adalah risiko inheren, bagian dari dinamika usaha yang tidak bisa dihapuskan sepenuhnya. Tidak ada bank di Indonesia ini yang NPL  nya nol  (0%), bahkan di dunia. Seolah-olah karena aku tertembak dalam baku tembak melawan krisis, aku dianggap sebagai perampoknya.

Selama aku bekerja di Bank DKI, Aset Bank DKI dari Rp.53T (2018) menjadi Rp.78,9T (2022) naik Rp.25,9T. Menyumbangkan laba sebesar Rp.3T. NPL Bank DKI 1,75%, terbaik sepanjang sejarah Bank DKI. Di Bank Sumut aku mampu menaikan aset Rp.5T dan posisi NPL Bank Sumut 2,19% (2024) terbaik sepanjang sejarah Bank Suumut. Berarti aku dan team telah mampu  menyumbangkan kenaikan aset perusahaan negara sebesar Rp. 30,9Trilyun.

Dalam keadaan seperti ini, aku belajar memahami kisah Nabi Yusuf. Ia difitnah, dipenjara, padahal tak bersalah. Ia tidak marah, tidak dendam, hanya berdoa dan menunggu waktu Allah. Ketika akhirnya kebenaran terungkap, Yusuf keluar dari penjara bukan sebagai terdakwa, tapi sebagai pemimpin yang dimuliakan.  

Aku berdoa semoga Allah juga menunjukkan jalan kebenaran itu dalam hidupku. Bahwa 27 tahun pengabdian tanpa suap, tanpa gratifikasi, tanpa benturan kepentingan, tidak akan dihapus begitu saja oleh fitnah sesaat.  

Doa ibu kembali terngiang: “Sing alus nasib…” Doa yang dulu menuntun kami dari kesederhanaan hingga bisa kuliah dan berkarier. In Sya Allah  doa itu bagaikan lukisan terindah sepanjang hayatku yang membebaskanku dari segala fitnah. Mungkin inilah lukisan dari tangan ibu: bukan lagi tentang perjuangan menafkahi, tapi tentang kekuatan anaknya menjaga nama baik keluarga di tengah badai.  

Setiap malam di balik jeruji ini, aku teringat wajah ibu dalam sujudnya. Dalam setiap sujudku kini, aku berdoa dengan kalimat yang sama:  “Ya Allah, jika selama hidupku aku berusaha menjaga amanah, menjauhi korupsi, tidak mengambil yang bukan hakku, maka jadikan amal itu wasilah agar Engkau membebaskanku dari fitnah ini.”

Aku tidak tahu bagaimana akhir dari cerita ini. Tapi aku yakin, seperti yang diajarkan ibu: “Allah punya cara yang tak pernah kita duga untuk menolong hamba-Nya.”

Dan ketika pertolongan itu datang, aku ingin hanya satu hal yang tertulis dalam catatan amal ibuku: bahwa doa seorang guru sederhana bernama ibu, dengan kalimat “Sing alus nasib”,  menjadi lukisan terindah dalam hidup anak-anaknya.

Salemba, 1 November 2025

Penulis adalah Direksi Bank DKI (2018 sd 2022) & Dirut Bank Sumut (2023 sd 2025). Esay ini di ketik ulang dari tulisan tangan ayahku yang berada di rutan Salemba & Esay ini bagian dari Manifesto Tawasul Sang Burung Pipit (The Bright Way to Freedom and Faith), salam Ahmad Raihan Hakim (Alumni SMA Muh 3 Jkt 2018)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Meningkatkan Kebermaknaan Silaturahim Oleh: Mohammad Fakhrudin Silaturahim pada setiap 'Idul Fitri....

Suara Muhammadiyah

19 April 2024

Wawasan

Semangat Pahlawan Memerangi Kemiskinan dan Kebodohan  Oleh: Wakhidah Noor Agustina, S.Si. Lit....

Suara Muhammadiyah

10 November 2023

Wawasan

Persentase Muslim Shalat dan Perkembangan Islam di Indonesia: Plus atau Minus? Oleh: Ahwan Fanani, ....

Suara Muhammadiyah

26 December 2024

Wawasan

Ramadhan dan Kualitas Kemanusiaan  Oleh : Arifudin, Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Ram....

Suara Muhammadiyah

18 March 2024

Wawasan

Nasyiatul Aisyiyah: Menanam Cahaya, Menuai Peradaban Oleh: Furqan Mawardi, Muballigh Akar Rumput &....

Suara Muhammadiyah

20 May 2025