JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Penutupan acara Ekspreso VIII yang digelar oleh BEM FKIP UHAMKA berlangsung meriah. Salah satu penampilan yang mencuri perhatian pada Closing Ceremony tersebut adalah band Artsa, yang membawakan dua lagu orisinil berjudul "Senja dan Ombak" serta "Tafsir".
Artsa merupakan band yang terbentuk di lingkungan UHAMKA. Terdiri dari dua mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), yaitu Rio Slamet Raharja sebagai gitaris sekaligus vokalis dan Muhammad Nafidz Firdzani sebagai penabuh perkusi sekaligus penulis lirik. Mereka juga berkolaborasi dengan Bayu Kurniawan, S.Pd, alumni Prodi Pendidikan Ekonomi, yang berperan sebagai gitaris dan music director.
Menurut Rio, awal mula terbentuknya Artsa berangkat dari kegiatan iseng-iseng mereka dalam meng-cover lagu-lagu populer dan memusikalisasi puisi, yang kemudian berkembang menjadi sebuah upaya menciptakan karya orisinil. “Artsa lahir karena kami merasa perlu untuk berkembang, terutama dalam berkarya. Kami ingin menciptakan sesuatu yang benar-benar dari kami, mulai dari menulis lirik hingga membuat aransemen. Bukan lagi sekadar musikalisasi puisi,” ujarnya.
Nama “Artsa” sendiri memiliki cerita unik. Semula, band ini sempat menggunakan nama “Arsanada”, gabungan dari kata “kebahagiaan” dan “nada”. Namun, setelah melalui banyak pertimbangan dan diskusi, akhirnya dipilih nama Artsa yang bermakna “seni yang dibawakan dengan bahagia”. Ada pula yang menafsirkan Artsa sebagai singkatan dari “Anak Rantau Semua”, karena seluruh anggotanya berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Lagu-lagu ciptaan Artsa sarat akan unsur sastra, khususnya puisi. Hal ini terlihat dari kekuatan rima dan diksi dalam lirik lagunya. Pada lagu “Senja dan Ombak”, misalnya, terdapat banyak rima tidak sempurna yang memperkuat kesan puitis. “Kami memang dari awal berkutat di dunia sastra, khususnya puisi. Itu sangat memengaruhi bagaimana kami menulis lirik,” ungkap Muhammad Nafidz Firdzani.
Perjalanan Artsa menjadi inspirasi tersendiri bagi para musisi muda. Melalui proses kreatif yang konsisten dan keberanian untuk berkarya, mereka berharap dapat memberi motivasi bagi generasi muda untuk terus menekuni hobinya, meski harus melalui banyak tahapan dan rintangan.
“J.K. Rowling menulis lebih dari seratus naskah sebelum akhirnya menerbitkan Harry Potter. Eka Kurniawan baru mulai dikenal setelah usia 30 tahun. Leila Chudori butuh enam tahun untuk menyelesaikan satu bukunya. Semua itu menunjukkan satu hal: proses setiap orang berbeda. Yang penting, terus mencoba, terus berkarya, dan percaya bahwa setiap langkah punya waktunya sendiri untuk sampai,” pesan Nafidz, menutup perbincangan. (Avan & Azzahra)