Emosi dan Identitas di Era Post-Truth

Publish

14 August 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
52
Foto Ilustrasi

Foto Ilustrasi

Emosi dan Identitas di Era Post-Truth

Oleh: Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta

Era yang disebut sebagai post-truth adalah cermin zaman ketika kebenaran objektif tidak lagi menjadi landasan kokoh dalam membentuk opini publik. Fakta kehilangan daya gugahnya di hadapan retorika yang menyentuh emosi dan identitas. Narasi yang dirancang untuk menggugah rasa lebih cepat meresap ke hati manusia ketimbang data yang lahir dari penelitian. Betapapun bukti telah disajikan dengan jelas, ia mudah ditampik bila tidak sejalan dengan rasa kebersamaan dan ikatan identitas yang telah mengakar. Dalam kondisi ini, manusia terjebak dalam pusaran emosi yang kadang menutup jalan akal sehat.

Al-Qur’an telah sejak lama mengingatkan bahwa manusia adalah makhluk yang banyak membantah, bukan semata karena kebenaran tidak hadir, melainkan karena dorongan untuk mempertahankan apa yang telah diyakini. “Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al-Qur’an ini setiap macam perumpamaan, tetapi manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.” (QS. al-Kahf [18]:54). Ayat ini seakan merefleksikan fenomena kontemporer: kebenaran hadir, namun ditolak karena yang dibela bukanlah hakikat, melainkan harga diri kelompok dan identitas yang dirasa mengikat.

Emosi, yang pada hakikatnya adalah anugerah Ilahi untuk menghidupkan rasa kemanusiaan, bisa menjadi lentera penuntun, tetapi juga bisa berubah menjadi tirai yang menutup mata hati. Rasa bangga terhadap kelompok sendiri, rasa takut akan ancaman dari luar, atau kemarahan yang dipelihara, dapat menuntun manusia untuk memandang realitas bukan sebagaimana adanya, melainkan sebagaimana yang ingin ia lihat. Di sinilah muncul berbagai bias dalam pikiran manusia: bias konfirmasi yang membuat orang hanya mau menerima informasi yang sejalan dengan keyakinan yang telah ada, bias kelompok yang membuat orang lebih percaya pada suara dari dalam kelompoknya sendiri, serta polarisasi afektif yang menumbuhkan permusuhan emosional dengan pihak yang berbeda pandangan.

Fenomena ini kian menguat karena hadirnya media dan teknologi digital. Media massa dan media sosial tidak hanya menyampaikan informasi, melainkan juga mengemasnya dengan bingkai tertentu. Framing yang berpihak memperkuat citra positif “kita” dan menghitamkan wajah “mereka.” Algoritma media sosial menciptakan ruang gema, di mana pengguna hanya mendengar suara yang serupa dengan keyakinannya sendiri, sehingga pandangan yang berbeda semakin jarang ditemui. Dalam ruang gema ini, kebenaran menjadi relatif, bergantung pada siapa yang berbicara, bukan pada isi yang disampaikan.

Realitas sosial-politik di Indonesia memberikan cermin nyata dari dinamika ini. Pada masa pemilihan umum, misalnya, media sosial dipenuhi potongan video yang keluar dari konteks, foto yang dimanipulasi, dan narasi yang provokatif. Informasi semacam ini menyebar lebih cepat daripada klarifikasi resmi, karena ia menyentuh emosi khalayak. Berita yang datang dari kelompok sendiri diterima dan disebarkan tanpa ragu, sementara berita dari kelompok lawan langsung ditolak dan dicap hoaks, betapapun faktanya bisa diuji. Dalam isu sensitif seperti suku, agama, ras, dan antargolongan, keadaan ini semakin berbahaya. Satu kabar yang tidak diverifikasi bisa memicu kemarahan massal hanya dalam hitungan jam, bahkan mampu menimbulkan konflik sosial yang berlarut-larut.

Fenomena serupa dapat kita amati pula dalam pemberitaan bencana atau peristiwa kriminal. Narasi yang muncul kerap diarahkan untuk mengangkat citra positif kelompok tertentu atau, sebaliknya, merusak citra kelompok lain. Dengan demikian, publik tidak lagi memandang suatu peristiwa melalui kacamata kebenaran objektif, tetapi melalui kacamata identitas. Di sinilah terlihat betapa mekanisme psikologis seperti bias konfirmasi, bias kelompok, dan polarisasi afektif bekerja dalam kehidupan nyata.

Dalam konteks ini, hadir pula fenomena yang kian merusak kesehatan ruang publik, yaitu munculnya buzzer. Mereka bukan sekadar pengguna media sosial biasa, melainkan penggiat yang secara sistematis memproduksi dan menyebarkan narasi tertentu demi kepentingan pihak yang membayar atau mendukungnya. Aktivitas mereka sering melampaui batas etika, karena tujuan utamanya bukan mencari kebenaran, melainkan menggiring opini publik sesuai pesanan.

Fenomena buzzer adalah bentuk modern dari propaganda yang dahulu dilakukan oleh orator di mimbar atau penulis di lembar selebaran. Kini ia menjelma menjadi ribuan akun anonim yang bekerja serempak, membanjiri percakapan daring dengan pesan yang diulang-ulang, memviralkan isu tertentu, dan menenggelamkan suara yang berbeda. Tidak jarang, fitnah dan disinformasi dijadikan senjata, sementara serangan pribadi terhadap tokoh yang dianggap lawan menjadi taktik rutin.

Kerusakan yang ditimbulkan buzzer setidaknya tiga hal: pertama, mereka merusak standar kebenaran, sebab yang penting bukan lagi benar atau salah, tetapi siapa yang punya jaringan buzzer lebih kuat. Kedua, mereka merusak kepercayaan publik terhadap informasi; masyarakat menjadi apatis karena merasa semua kabar telah dimanipulasi. Ketiga, mereka memperdalam polarisasi sosial, karena narasi yang dibawa sering memancing emosi dan memperuncing perbedaan. Fenomena ini bertentangan langsung dengan ajaran tabayyun dalam Islam, yang memerintahkan verifikasi sebelum menyebarkan berita, serta melarang fitnah dan tuduhan tanpa dasar.

Apabila keadaan ini terus dibiarkan, dampaknya bagi kehidupan berbangsa sangatlah serius. Rasionalitas publik akan melemah, polarisasi sosial akan mengeras, dan kepercayaan terhadap institusi publik akan terkikis. Kehidupan demokrasi menjadi rapuh, dan harmoni sosial semakin jauh dari jangkauan.

Dalam menghadapi tantangan besar ini, diperlukan langkah-langkah strategis yang berakar pada nilai-nilai etis dan spiritual. Islam telah meletakkan dasar melalui ajaran tabayyun, sebagaimana firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. al-Hujurat [49]:6).

Pendidikan literasi kritis sejak dini adalah kunci. Generasi muda perlu dibekali keterampilan membedakan fakta dari opini, serta kepekaan untuk mengenali bias dan propaganda. Media harus kembali pada fungsinya sebagai penyampai kebenaran, bukan sekadar alat kepentingan politik dan ekonomi. Dialog lintas identitas perlu diperluas, sehingga perbedaan melahirkan pemahaman, bukan kecurigaan. Kesadaran emosional harus dilatih, agar manusia tidak mudah terpancing provokasi.

Peran tokoh masyarakat, agamawan, akademisi, dan pemimpin opini sangatlah penting. Mereka harus menjadi teladan dalam menyuarakan kebenaran dengan akhlak. Di era digital, perusahaan teknologi juga memiliki tanggung jawab: algoritma media sosial hendaknya memelihara keberagaman perspektif, bukan hanya mengejar sensasi.

Semua ini memerlukan keberanian moral untuk menempatkan kebenaran di atas kepentingan sesaat. Seperti cahaya yang menembus kabut, kebenaran hanya akan bersinar bila dijaga dengan akal sehat dan hati yang jernih. Pada akhirnya, hanya kebenaranlah yang akan bertahan, sementara kebohongan akan runtuh bersama debu sejarah.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Melampaui Cermin: Monia Mazigh dan Perempuan Muslim di Kanada Oleh : Donny Syofyan, Dosen Faku....

Suara Muhammadiyah

19 February 2025

Wawasan

Falsafah ‘Menjadi’ Manusia Oleh: Rahmatullah, M.A, Sekretaris LDK PWM Kaltim, Dosen Ilm....

Suara Muhammadiyah

30 December 2024

Wawasan

Apakah Allah ‘Memejamkan Mata’ terhadap Derita Rakyat Palestina? Oleh: Donny Syofyan, D....

Suara Muhammadiyah

10 June 2024

Wawasan

Oleh: Mohammad FakhrudinWarga Muhammadiyah Tinggal di Magelang Kota JABATAN Jabatan itu amanah&nbs....

Suara Muhammadiyah

24 February 2024

Wawasan

Oleh : Amalia Irfani Mengikuti dialog dan bincang ilmu tentang berbagai fenomena sosial dari multi ....

Suara Muhammadiyah

26 September 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah