JAKARTA, Suara Muhammadiyah - Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) menunjukkan komitmennya terhadap isu pembaruan hukum di Indonesia dengan menyelenggarakan Seminar Nasional, Selasa (10/06/2025). Kegiatan yang mengangkat tema Pembaruan Hukum Acara Pidana Indonesia Yang Berkeadilan: Kupas Tuntas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ini, berlangsung di Aula Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UMJ.
Seminar ini merupakan hasil kolaborasi antara FH UMJ, Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI). Kegiatan ini berhasil menarik lebih dari 500 peserta, tidak hanya dari kalangan mahasiswa UMJ, tetapi juga mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi lainnya.
Wakil Rektor IV UMJ, Dr Septa Candra, SH, MH, menyampaikan bahwa seminar ini diselenggarakan secara tepat waktu, karena bertepatan dengan momentum pengumpulan masukan dari kalangan akademisi terhadap RKUHAP dan RUU HAM.
“Seminar ini menjadi peluang besar bagi para mahasiswa dan akademisi untuk menyampaikan pandangan akademik sebelum pembahasan di DPR rampung,” ujar Septa.
Septa menambahkan sinkronisasi antara hukum acara pidana dengan semangat KUHP baru menjadi krusial, karena targetnya undang-undang harus disahkan sebelum akhir tahun 2025. Ia berharap seminar ini bisa memberikan manfaat dan keberkahan bagi semua kalangan.
Dekan FH UMJ, Dr Dwi Putri Cahyawati, SH, MH, menyampaikan bahwa seminar ini sangat relevan karena RKUHAP masih dalam proses pembahasan dan belum masuk ke tahap legislasi di DPR. Ia mengundang seluruh peserta untuk aktif bertanya dan berdiskusi terkait isu-isu yang masih menyisakan kontroversi.
"InsyaAllah, kegiatan ini akan menjadi program berkelanjutan dari FH UMJ. Ke depannya, kami tidak hanya akan fokus pada pembahasan RUU Hukum Acara Pidana, tetapi juga membuka ruang diskusi dan masukan terhadap DPR terkait RUU lainnya," ujarnya.
Dwi menegaskan bahwa peserta yang hadir hari ini sangat beruntung, karena seminar ini merupakan kegiatan pertama di lingkungan kampus yang membahas secara mendalam kontroversi yang masih melekat dalam draf RKUHAP. Ia berharap seminar ini berlangsung efektif hingga selesai dan membawa manfaat nyata.
Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr Trisno Raharjo, SH, MH, menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya acara ini dan berharap masukan-masukan dari forum ini bisa dikompilasi oleh majelis untuk disampaikan secara resmi.
Kegiatan ini menghadirkan empat narasumber utama. Narasumber pertama Guru Besar Hukum Pidana UI, Prof Dr Topo Santoso, SH, yang menjelaskan tentang Mekanisme Penyelesaian Perkara di luar Pengadilan dalam RUU KUHAP. Narasumber kedua Advokat Dr Hotman Paris Hutapea, SH, MH, yang menjelaskan tentang Problematik Penguatan Peran Advokat dalam RUU KUHAP.
Kemudian dilanjutkan dengan narasumber Ketiga Ketua Umum MAHUPIKI, Dr Firman Wijaya, SH, MH, yang menjelaskan tentang Problematik Pemenuhan Hakhak Tersangka/terdakwa, Korban, Saksi, Pihak Ketiga Berkepentingan dan Kelompok Rentan dalam RUU KUHAP. Kemudian narasumber terakhir Ahli Hukum Pidana FH UMJ, Dr Chairul Huda, SH, MH, yang menjelaskan tentang Ruang Lingkup Kewenangan Praperadilan dalam RUU KUHAP.
Pada kesempatan ini juga dilakukan penandatanganan Perjanjian Kerja Sama antara Fakultas Hukum UMJ dengan MAHUPIKI.
Pentingnya Peran Advokat dalam Sistem Peradilan Pidana
Dr Hotman Paris Hutapea, SH,MH, menegaskan pentingnya peran advokat dalam sistem peradilan pidana khususnya pada pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Hotman Paris mengatakan bahwa setiap subjek hukum, baik tersangka, terdakwa, maupun korban, berhak didampingi pengacara kapan pun selama proses peradilan pidana berlangsung.
“Bukan sekadar mendampingi, advokat juga berhak memberikan pandangan hukum terhadap masalah kliennya secara aktif di setiap tahapan proses hukum,” ujarnya.
Ia menyoroti bahwa hak pengacara sering kali kurang dihargai dalam praktik peradilan, terutama dalam akses terhadap Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan keterlibatan dalam praperadilan, yang seharusnya menjadi filter utama dalam mencegah kesewenang-wenangan aparat penegak hukum.
Hotman Paris juga mengatakan, bahwa hukum acara pidana adalah filter utama dalam sistem peradilan pidana. Salah satu instrumen penting adalah praperadilan, yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol terhadap tindakan aparat penegak hukum. Ia mengingatkan bahwa keyakinan hakim dalam memutus perkara harus didasarkan pada proses yang transparan dan adil, di mana hak pengacara untuk berpartisipasi secara penuh sangat krusial.
Selaras dengan hal itu, Firman juga menyoroti problematika pemenuhan hak-hak tersangka, terdakwa, korban, saksi, pihak ketiga berkepentingan, dan kelompok rentan dalam RUU KUHAP. Ia menegaskan bahwa prinsip legalitas dan larangan berlaku surut harus dijamin sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, sebagaimana diatur dalam Pasal 28I UUD 1945.
Ia juga mengingatkan bahwa RUU KUHAP diharapkan membawa pembaruan sistem peradilan pidana, namun dalam proses penyusunannya masih terdapat problematika terkait pemenuhan hak-hak pihak yang terlibat dalam peradilan, termasuk akses terhadap bantuan hukum secara efektif.
Topo Santoso dan Chairul Huda turut menyoroti perlunya perubahan sistem pemeriksaan dari sistem inquisatoir menjadi sistem aquisatoir yang lebih menekankan pada perlindungan hak asasi manusia. Termasuk hak untuk memberikan keterangan secara bebas di hadapan penyidik atau hakim, serta hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum pada setiap tingkat pemeriksaan. (m)