Gelar Haji
Oleh: Isngadi Marwah Atmadja
Sabtu, 1 Juni 2024 yang lalu penulis menghadiri Pembukaan Akademi Marbot Masjid Muhammadiyah yang diadakan oleh Lembaga Pengembangan Cabang-Ranting dan Pembinaan Masjid PP Muhammadiyah. Di acara itu penulis bertemu dengan Kang Eko. Teman lama semasa di IMM IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kang Eko sekarang membuka Raja Tengkleng. Warung makan yang menyediakan menu spesial berupa tengkleng kepala kambing utuh.
Teman lama ini bercerita kalau senin, 3 juni 2024 dia akan berangkat menunaikan ibadah haji. Sebenarnya, Kang Eko sudah mendapat panggilan sejak tahun 2017. Di tahun itu dan tahun setelahnya dia belum bisa melunasi BIPIH. “Saat Bipih 5 juta, saya gak sanggup melunasi. Tapi saat jadi 35 juta, alhamdulillah bisa.” Kisah nya sambil tersenyum.
Kisah Kang Eko ini mengingatkan penulis pada tulisan Immawan Wahyudi yang berjudul “Doa Naik Haji”. Tulisan di Suara Muhammadiyah nomor 17 tahun 1994 ini berkisah tentang pengalaman hidup Mantan Wakil Bupati Gunung Kidul dua periode ini yang harus mengalami dua kali gagal naik haji.
Di tahun 1984 saat menjadi menjadi Wakil ketua DPD KNPI DIY, Immawan Wahyudi menjadi petugas TPHI. Saat semua pakaian sudah dikemas di dalam koper, dia mendapat telepon dari Kanwil Depag DIY. Jatah dia sebagai TPHI dibatalkan. Di tahun berikutnya, nama Immawan Wahyudi terdaftar di nomor 6 dari 16 orang rombongan DPP KNPI yang naik haji tahun itu. Namun, Immawan Wahyudi baru tahu hal itu setelah diberi tahu Sutrisno Muhdam. Yang artinya sangat mungkin jatah Immawan Wahyudi itu telah dipakai orang lain tanpa sepengetahuannya.
Di tulisan itu Immawan mengakui dua kejadian yang mengecewakan ini sebagai takdir dari Allah yang telah dia terima secara rela. Namun, setelah Haedar Nashir pulang dari ibadah haji dan membawa oleh-oleh yang salah satunya berupa pengakuan, Immawan Wahyudi merasa perlu merenung ulang.
Saat itu Haedar Nashir berkata, “Saya doakan Anda di Multazam, semoga bisa menunaikan ibadah haji di masa datang. Tapi, Anda juga harus sungguh-sungguh berdoa.” Pengakuan Haedar Nashir membuat Immawan tercenung. Dia mengakui kalau selama itu dia jarang bahkan mungkin tidak pernah berdoa agar bisa naik haji.
Kisah Kang Eko dan tulisan Immawan Wahyudi ini menguatkan pernyataan kalau ibadah haji memang panggilan Allah. Siapapun yang dipanggil pasti sampai di tanah suci. Seberapapun jauh jarak dan kemungkinannya. Sebaliknya, yang belum terpanggil, tidak akan bersimpuh di Arafah di kesempatan itu, sedekat apapun dia berada.
Beberapa media mengabarkan adanya puluhan calon jamaah haji yang telah sampai di tanah suci namun harus dipulangkan sebelum prosesi haji dimulai. Ada pula ratusan jamaah yang gagal berangkat meski sudah berhari-hari menunggu di bandara dan sudah membayar ratusan juta. Meski sudah menggelar acara pamitan besar-besaran, mereka harus pulang ke kampung halaman dengan predikat Haji Abu Rasid. Arep budal rasida. Hampir berangkat tapi tidak jadi.
Kisah ini juga diperkuat dengan pengakuan seorang teman yang telah beberapa kali mendaftar secara resmi serta ikut tes petugas haji dan sampai hari ini belum berhasil. Tapi, dia pernah tahu ada orang yang tidak daftar apalagi ikut tes menjadi petugas di tahun itu, tapi malah lolos menjadi petugas haji.
Haji memang panggilan bagi orang-orang yang terpilih. Oleh karena itu, ada baiknya kita menyematkan gelar Haji di depan nama mereka. Bukan untuk pamer. Tapi untuk mengingatkan bahwa orang yang berkesempatan menunaikan ibadah haji adalah orang yang terpilih oleh Allah untuk menyempurnakan rukun Islamnya. Sekaligus terpilih untuk menjadi duta pengamalan Islam. Terpilih menjadi suri tauladan di masyarakat.
Bagi yang belum mendapat kesempatan beribadah haji seperti penulis, jangan lupa untuk terus memperkuat doa, agar kesempatan itu hadir pula dalam hidup kita.