Haedar Nashir Dorong PTMA Aktif di Ranah Politik Kebangsaan

Publish

16 October 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
65
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir memberikan sambutannya dalam acara Rakernas Forum Rektor PTMA di UMM (16/10).

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir memberikan sambutannya dalam acara Rakernas Forum Rektor PTMA di UMM (16/10).

MALANG, Suara Muhammadiyah - Bertempat di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyelenggarakan Rakernas Forum Rektor Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (RFRPTMA) pada Kamis-Jumat, 16-17 Oktober 2025. Forum ini menjadi ajang bagi seluruh rektor PTMA menyatukan persepsi, membangun kolaborasi, serta memperkuat institusi pendidikan tinggi Muhammadiyah dalam mengarungi berbagai tantangan kemajuan masa depan. 

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si mendorong agar PTMA aktif di ranah politik kebangsaaan. Hal ini diharapkan dapat semakin memperkokoh peran Muhammadiyah dalam kehidupan keumatan dan kemanusiaan universal, secara lebih spesifik dalam pengembangan pendidikan tinggi Muhammadiyah. 

“Muhammadiyah banyak mendapat apresiasi, antara lain karena kemajuan pendidikan tingginya yang diperankan oleh seluruh PTMA,” ujar Haedar. 

Menurutnya, capaian ini menjadi bukti nyata kehadiran Muhammadiyah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Kehidupan yang menjadi salah satu totalitas gerak bangsa di berbagai aspek ini perlu menjadi perhatian serius bagi Muhammadiyah, yakni, terwujudnya ekosistem yang unggul dan berkemajuan. 

“Yang sangat penting. Pertama menyangkut soal bagaimana kita mengkonsolidasikan, sekaligus mengakselerasi seluruh dimensi sistem kita. Agar kita meraih keunggulan dan kemajuan. Sesuai dengan dimensi visi dan misi keunggulan dan kemajuan menurut Muhammadiyah,” tegasnya. 

Muhammadiyah sebagai organisasi modern memiliki fundamental value yang menjadi pondasi, bingkai, orientasi, sekaligus cita-cita ideal yang tak hanya perlu diinternalisasi, tapi juga perlu memberikan dampak luas ke luar. Di Muhammadiyah value itu sudah diformulasikan dengan cara internalisasi dan institusionalisasi. 

“Di Muhammadiyah, itu semua sudah tersistematisasi,” ujarnya. 

Hal tersebut tercermin di dalam 12 Langkah Muhammadiyah (1938) karya KH Mas Mansyur, Muqoddimah Anggaran Dasar (1946) di era Ki Bagus Hadikusuma, Kepribadian Muhammadiyah (1962) yang lahir penuh dengan kritik karena bertepatan dengan Masyumi dibubarkan. Muhammadiyah kemudian menarik diri dari Masyumi dan memagari dirinya dari politik praktis. Jalan ini diambil supaya Muhammadiyah lebih fokus dalam mengurus dakwah dan amal usaha. 

“Oleh karena itu lahirlah Kepribadian yang berisi sepuluh poin itu,” ucapnya. 

Kemudian ada Khittah 1969, 1971, 1978, dan modifikasi dalam versi yang lebih lengkap tahun 2002. Ini menjadi satu mata rantai kontekstual yang dialami langsung oleh Muhammadiyah dalam perjalanan panjangnya. "Dan ini bukan sesuatu yang imajiner," imbuhnya. Sehingga pada tahun 2002, Muhammadiyah lebih mempertegas kembali posisinya untuk tidak berpolitik praktis, tapi memberikan kebebasan kepada para kadernya untuk berpolitik praktis melalui jalan partai politik dengan syarat. 

“Syarat itu perlu. Kalau tanpa syarat nanti nakalnya kebablasan. Nakal aja sudah masalah, kebablasannya lebih masalah. Nakal anak kecil itu masih bagus. Kalau anak yang sudah dewasa itu problematik,” tegasnya.  

Hasil Munas Tarjih tahun 1954-1955 yang bersambung dengan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah 1969, bukan hanya menjelaskan tentang riasalah Islam dan ideologi Muhammadiyah. Di poin terakhir menegaskan peran Muhammadiyah di kehidupan kebangsaan dan mengakui dasar negara serta falsafah negara yang sah telah menjadi komitmen Muhammadiyah yang terbingkai secara sistemik. Hingga pada tahun 2015 gagasan itu diformalkan secara spesifik menjadi Negara Pancasila Darul Ahdi wa Syahadah. 

“Muhammadiyah ini perspektifnya Islam berkemajuan,” tegasnya. 

Ia menjelaskan, Islam berkemajuan merupakan gerakan yang berbeda dengan gerakan Islam lain. Cirinya, pertama, berdasar kepada tauhid. Kedua, kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam hal ini Haedar menegaskan bahwa tidak bermadzhab bukan berarti anti madzhab. Ketiga, menghidupkan pembaharuan dan ijtihad, termasuk dalam hal mengembangkan amal usaha. 

“Kita berharap tradisi keilmuan kita juga berangkat dari visi tajdid dan ijtihad. Sebagaimana para tokoh pemikir dan pembaharu Islam di masa kejayaannya memiliki prestasi yang membanggakan,” paparnya. 

Keempat, mengembangkan wasathiyah Islam. Bisa juga disebut moderat yang berwawasan, kuat pada prinsip, menghargai perbedaan, dan lain sebagainya. Termasuk wasathiyah dalam berbangsa dan bernegara. Kelima, mewujudkan rahmatan lil alamin melalui pemikiran, gerakan, dan peran-peran yang membawa kepada kedamaian serta tegaknya nilai luhur kemanusiaan. “Inilah karakter khas kita. Dan ini semua harus masuk ke dalam Al-Islam dan Kemuhammadiyahan,” pintanya. (diko)

 

 

 

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Berita

PEKANBARU, Suara Muhammadiyah – Universitas Muhammadiyah Riau (Umri) memastikan akan terus ber....

Suara Muhammadiyah

20 November 2024

Berita

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta menggelar forum ....

Suara Muhammadiyah

9 September 2023

Berita

MEDAN, Suara Muhammadiyah - Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) turut berpartisipasi dala....

Suara Muhammadiyah

21 September 2024

Berita

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Kehadiran SM Tower and Convention Yogyakarta menjadi salah sa....

Suara Muhammadiyah

6 September 2023

Berita

SUKOHARJO, Suara Muhammadiyah - Kompleks Masjid Marwah di wilayah dakwah Pimpinan Ranting Muham....

Suara Muhammadiyah

5 November 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah