SURAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Dr Haedar Nashir, M.Si, menegaskan pentingnya memahami kaderisasi Muhammadiyah secara utuh, tidak hanya dalam konteks teknis, tetapi juga menyangkut nilai, sistem dan aktor gerakan. Hal ini disampaikan dalam pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani (MPKSDI) PP Muhammadiyah yang berlangsung di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada Jumat (24/10).
Dalam amanatnya, Haedar menilai proyeksi kader Muhammadiyah saat ini merupakan langkah positif yang menunjukkan kemajuan Persyarikatan. Namun, ia mengingatkan bahwa berbicara tentang kader dan kaderisasi merupakan hal yang kompleks karena menyangkut jati diri dan arah gerak Muhammadiyah sebagai organisasi Islam moderat.
“Muhammadiyah adalah entitas yang khas, sebuah perpaduan antara nilai-nilai yang hidup dalam gerakan Islam,” ujarnya.
Empat Sudut Pandang Muhammadiyah
Dalam kesempatan itu, Haedar menguraikan empat sudut pandang yang menurutnya penting untuk memahami karakter gerakan Muhammadiyah.
Pertama adalah nilai. Menurutnya, nilai merupakan dasar pikiran dan tindakan manusia yang memberi arah hidup. Nilai utama yang menjadi pijakan Muhammadiyah adalah Islam itu sendiri.
"Dari nilai ini kita tahu mana yang baik dan buruk, serta ke mana arah hidup kita,” katanya.
Islam, lanjut Haedar, berisi tiga hal pokok ajaran. Larangan, perintah, dan petunjuk. Ia menyoroti bahwa banyak warga Muhammadiyah hanya memahami Islam sebatas perintah dan larangan, sementara aspek petunjuk sering diabaikan.
“Padahal Islam bukan hanya dasar hidup, tapi juga way of life — jalan hidup yang mendalam, luas, dan multiperspektif,” tegasnya.
Selain Islam, nilai kedua yang menjadi pijakan Muhammadiyah adalah Pancasila sebagai pedoman berbangsa dan bernegara. Haedar menekankan bahwa Pancasila pandangan dunia dan konsensus nasional yang sejalan dengan ajaran Islam, terutama pada sila pertama.
"Kita menerima Pancasila secara utuh, dari sila pertama hingga kelima. Jangan hanya berhenti di sila pertama. Pancasila adalah pandangan dunia,” jelasnya.
Haedar menjelaskan, Islam yang menjadi dasar kehidupan umat mencakup empat sistem nilai utama: akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah. Empat sistem ini menjadi fondasi dalam membentuk manusia yang beriman, beramal saleh, serta memiliki kepedulian sosial dan lingkungan.
"Tugas dasar manusia adalah beribadah kepada Allah. Dengan itu manusia menjadi makhluk yang saleh, taat, ihsan kepada sesama, dan peduli terhadap bumi. Karena bumi perlu diolah, manusia juga diberi amanah sebagai khalifah,” ungkapnya.
Ia menambahkan, antara peran manusia sebagai abdullah (hamba Allah) dan khalifah (pemimpin di bumi) ibarat gas dan rem. Keduanya harus berjalan seimbang agar tidak terjadi ketimpangan dalam kehidupan.
Dalam konteks gerakan Muhammadiyah, Haedar menilai bahwa prinsip amar makruf nahi mungkar telah menjadi ideologi yang kuat. Namun, ia mengingatkan agar semangat nahi mungkar (mencegah keburukan) tidak mendominasi sehingga mengaburkan makna dakwah yang seharusnya menyeluruh.
“Kalau yang lebih kental hanya nahi mungkarnya, dakwah Muhammadiyah bisa menjadi bias. Padahal ideologi Muhammadiyah lebih luas dari itu,” ujarnya mengingatkan.
Menjaga Sistem Persyarikatan
Haedar kemudian menegaskan pentingnya menjaga sistem Muhammadiyah sebagai satu kesatuan organisasi yang kokoh. Ia menyebut bahwa Muhammadiyah telah berkembang menjadi sistem besar yang tidak bisa dipisahkan dari nilai, ideologi, dan tata kelola persyarikatan.
"Muhammadiyah sudah menjelma menjadi sistem. Kalau menjaga sistem, jangan meletakkan diri di atas sistem,” tegasnya.
Menurut Haedar, kebebasan akademik di kampus-kampus Muhammadiyah tetap harus berpijak pada nilai dan sistem organisasi. Dengan demikian, kebebasan berpikir dan berinovasi tetap berada dalam koridor nilai-nilai Islam dan tujuan dakwah Muhammadiyah.
“Kebebasan kampus Muhammadiyah tidak akan lepas dari sistem Muhammadiyah. Di sinilah pentingnya kader memahami nilai dan arah gerakan agar tidak tercerabut dari akar ideologisnya,” pungkas Haedar.
Melalui refleksi tersebut, Haedar berharap kader Muhammadiyah ke depan tidak hanya unggul secara intelektual, tetapi juga kuat dalam nilai, moral, dan integritas. Kaderisasi bukan sekadar proses mencetak pemimpin, tetapi juga menanamkan kesadaran nilai Islam dan komitmen kebangsaan. (diko)


