Harga Diri

Publish

12 December 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
72
Foto Ilustrasi

Foto Ilustrasi

Harga Diri

Oleh: Suko Wahyudi, Pegiat Literasi Tinggal di Yogyakarta 

Ada orang yang berjalan dengan kepala tegak, bukan karena sombong, melainkan karena ia menyimpan sesuatu yang tak ingin jatuh: harga diri. Sesuatu yang tak kasatmata, tidak bisa ditimbang di pasar, tidak bisa dilelang dalam ruang rapat, tapi setiap manusia sebenarnya tahu keberadaannya—di suatu titik sunyi dalam dirinya. Harga diri adalah semacam api kecil yang dijaga dengan telaten; kadang hanya bara, kadang nyalanya penuh, tapi selalu ada, selama ia tak mematikan sendiri.

Di suatu pagi, saya melihat seorang kuli bangunan menolak diberi uang tambahan oleh mandor. “Saya sudah dibayar sesuai kerja saya,” katanya. Kalimat sederhana. Tapi di balik itu ada sesuatu yang lebih dari ongkos harian: ada upaya mempertahankan martabat. Pada saat yang sama, di tempat lain, ada orang yang berkacamata mahal dan dasi mengilap, menunduk dalam-dalam demi menyenangkan kekuasaan yang tak benar. Ia lupa bahwa kadang manusia bisa berjalan terlalu jauh meninggalkan dirinya sendiri.

Harga diri tidak lahir dari kemewahan. Tidak juga dari pendidikan tinggi. Ia tumbuh dari keberanian untuk berkata “cukup” ketika batas dilanggar, dan berkata “tidak” ketika prinsip diusik. Tapi batas dan prinsip itu sendiri sering kabur, apalagi ketika dunia berjalan seperti pasar malam: bising, terang, dan kadang membuat kita salah mengira mana hiburan mana jebakan.

Dalam wacana religius, harga diri pernah disebut sebagai kemuliaan—‘izzah—kata yang terdengar seperti tiang kokoh yang menahan langit. Tapi dalam praktik sehari-hari, ia sering tampil sebagai hal paling sederhana: memilih tidak membalas ketika dihina, memilih diam ketika gosip menjadi wabah, memilih pergi ketika suatu keadaan membuat kita kehilangan diri sendiri. Harga diri, sepertinya, bukan soal menang atau kalah, tetapi soal memelihara ruang kecil di dalam dada di mana kita masih bisa berbicara dengan jujur kepada diri sendiri.

Saya pernah mendengar seseorang berkata, “Orang yang menjaga harga diri tidak butuh banyak penonton.” Mungkin benar. Harga diri adalah dialog paling sunyi antara manusia dan nuraninya. Bahkan ketika kita melakukan sesuatu yang benar—menolak suap, menahan lidah dari fitnah—tidak ada tepuk tangan yang terdengar. Tapi justru di situ maknanya: tindakan kecil yang tak dilihat orang itu menjadi tanda bahwa kita masih hidup di bawah cahaya nilai bukan bayang-bayang kepentingan.

Namun harga diri juga rapuh. Kadang ia retak oleh hal-hal kecil: ejekan dari teman, komentar di media sosial, atau rasa takut tidak diterima dalam lingkungan yang ramai tetapi kosong. Pada titik itulah banyak orang rela menjadi apa saja yang diminta: memuji ketika tidak perlu, mengangguk ketika seharusnya bertanya, ikut arus ketika hatinya menolak. Kehilangan harga diri sering tidak terjadi sekaligus—ia hilang perlahan, serpih demi serpih, seperti cat yang mengelupas dari dinding tua.

Ironisnya, ketika seseorang kehilangan harga diri, ia bisa menjadi sangat pandai menutupi kehampaannya. Ada yang memakai pakaian kebesaran, ada yang mengumpulkan pengikut, ada yang menciptakan narasi bahwa dirinya sedang memperjuangkan sesuatu yang besar. Padahal, mungkin yang ia perjuangkan hanya ketakutannya sendiri untuk terlihat kecil.

Dalam suasana politik kita sekarang—yang sering lebih berisik dari bijak—harga diri para tokoh diuji setiap hari. Ada yang tetap berdiri pada kebenaran meski kehilangan posisi. Ada pula yang mempertahankan jabatan dengan mengorbankan marwah. Mungkin, di titik inilah kita melihat betapa harga diri bukan barang yang murah; ia bisa menjadi tumbal pertama ketika ambisi mulai berbicara.

Tetapi jangan salah paham: harga diri tidak menuntut manusia menjadi keras. Justru orang yang punya harga diri sering tampak lembut. Ia bisa menerima kritik, mengakui kesalahan, bahkan meminta maaf tanpa merasa martabatnya turun. Karena ia tahu, harga diri bukan dinding batu yang tak boleh disentuh, melainkan cahaya tipis yang justru harus dijaga dari kegelapan sombong.

Harga diri bukan hanya tentang bagaimana kita ingin dilihat orang lain, tetapi bagaimana kita ingin mengingat diri sendiri. Ketika malam datang dan dunia sunyi, kita duduk sendirian dengan pikiran yang tak bisa dibohongi. Di situlah harga diri berbisik: apakah hari ini kita masih utuh, atau ada bagian dari diri yang kita jual murah?

Manusia bisa kehilangan banyak hal—uang, jabatan, kesempatan. Tapi selama harga diri masih ada, ia masih bisa membangun kembali hidupnya. Namun ketika harga diri hilang, manusia itu sendiri ikut hilang, meski namanya tetap tercetak dalam banyak spanduk atau kartu nama. Harga diri, pada akhirnya, adalah rumah. Tempat di mana kita kembali menjadi manusia.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Membaca Paceklik Gerakan Mahasiswa dan Jalan Keluar Menuju Politik Emansipatoris Oleh: Figur Ahmad ....

Suara Muhammadiyah

28 April 2025

Wawasan

Menghadapi Banjir Informasi dengan Pendidikan Berpikir Kritis  Oleh: Sucipto, PhD/ Kaprodi Pen....

Suara Muhammadiyah

19 April 2025

Wawasan

Ki Bagus Hadi Kusuma Tokoh Kunci Ideologi Pancasila Oleh: Rumini Zulfikar, Penasehat PRM Troketon ....

Suara Muhammadiyah

2 June 2024

Wawasan

Jurgen Klopp  Membahas berita tantang berhentinya Jurgen Klopp sebagai Manajer Liverpool rasan....

Suara Muhammadiyah

22 May 2024

Wawasan

Mengukur Potensi Diri untuk Menggapai Kesuksesan Oleh: Rumini Zulfikar (GusZul), Penasehat PRM Trok....

Suara Muhammadiyah

5 May 2024