Haru dengan Pasukan Biru
Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso, Wakil Sekretaris LPCRPM PP Muhammadiyah
Pada saat berhaji, saya bertemu dengan Ansory Siregar (Anggota Komisi IX DPR RI), KH. Fairuz Subakir (Kiai Pondok Modern Gontor), Abd. Rahim Ghozali (Staf Khusus Penasehat Presiden Bidang Haji), dan M. Rivai Abbas (Kepala Pusdik Kementerian Perdagangan RI) untuk makan malam di Zamzam Tower. Kami mengenakan pakaian bebas rapi karena baru selesai salat Isya di Masjidil Haram.
Berbeda dengan yang lain, sebagai petugas haji, Abd. Rahim Ghozali mengenakan baju berwarna biru dengan lambang merah putih—seragam resmi petugas haji yang ditugaskan di berbagai sudut Kota Mekkah dan Madinah selama musim haji.
Usai makan malam, kami bubar untuk kembali ke penginapan masing-masing. Namun, tidak demikian dengan Abd. Rahim Ghozali. Dengan seragam biru yang melekat di tubuhnya, banyak orang mencegatnya untuk meminta bantuan. Ada yang bertanya tentang lokasi tertentu, ada pula yang meminta tolong untuk difoto dengan berbagai gaya di depan Masjidil Haram. Sebagai petugas, Rohim tidak bisa mengelak. Ia harus melayani dengan sabar dan ikhlas.
“Ini risiko petugas haji, Met. Tidak penting apa tugas pokok saya, semua harus dilayani…,” ujarnya sambil melenggang pulang.
Lain lagi cerita yang dialami oleh Sahira dan Roosita Meilani Dewi (keduanya pegiat di Nasyiatul Aisyiyah), petugas yang khusus mengurus jemaah haji lanjut usia (manula). Kesabaran dalam meladeni seluruh kebutuhan para manula demi kelancaran ibadah haji adalah mutlak. Banyak di antara jemaah haji yang sudah lanjut usia, berkebutuhan khusus, dan terkadang kehilangan ingatan serta kesadaran. Tidak jarang mereka tak bisa lagi membedakan antara ruang lift dan kamar mandi. Begitu masuk lift, ada yang langsung membuka sandal, bahkan hendak menanggalkan pakaian karena merasa seperti hendak mandi.
Pasukan Biru
Anggota rombongan jemaah haji Indonesia berjumlah 221.000 orang, jumlah tertinggi di antara puluhan negara lain yang mengirimkan warganya untuk berhaji. Ciri paling kentara yang tidak dimiliki oleh negara lain adalah keberadaan “Pasukan Biru” di seluruh sudut pelosok Kota Mekkah dan Madinah. Nyaris tidak ada tempat strategis yang absen dari kehadiran petugas haji Indonesia berseragam biru. Mereka selalu ada, mulai dari Arafah, Muzdalifah, Mina, Jamarat, Masjidil Haram, Masjid Nabawi, pasar tradisional, pasar modern, terminal, hingga rumah sakit.
Selama berhaji, saya berkali-kali menggunakan jasa mereka untuk meminta pertolongan. Ketika ada jemaah haji yang tersesat di antara ribuan tenda yang warna dan bentuknya sama, saya selalu mengajak korban ke sekretariat yang ada Pasukan Biru, lalu menyerahkannya. Saya yakin, korban akan ditolong dan masalahnya akan diselesaikan.
Ketika saya sedang sakit—meriang, batuk, flu, dan badan menggigil kedinginan—saya akan mendatangi dokter jaga. Saya tidak tanya dokter tersebut petugas dari daerah mana, dan jikapun dia bertanya saya berasal dari mana, itu lebih untuk kelengkapan administrasi belaka. Seorang dokter atau perawat tentunya akan selalu mempertanggungjawabkan pendistribusian obat yang ia berikan secara gratis. Selama menggunakan jasa dokter, saya selalu memperoleh obat dan vitamin secara cuma-cuma dengan layanan yang sangat baik.
Ketika hendak bepergian, saya akan selalu menggunakan Bus Shalawat yang disediakan oleh pemerintah Indonesia sesuai nomornya. Saya tidak takut mendapatkan kesulitan karena ada 2-4 orang pasukan berbaju biru di setiap terminal yang siap melayani jemaah Indonesia. Bahkan, jika ada yang sakit, petugas berbaju biru akan sigap segera mencarikan kursi roda dan mengantarkannya menuju tempat yang dituju.
Ketika saya datang terlambat untuk makan siang karena berlama-lama di masjid, saya hanya perlu datang ke ruang makan dan meminta jatah makan kepada pasukan berbaju biru. Jika masih ada stok nasi yang tersedia, maka pasti akan diberikan, dan saya tinggal menyantapnya.
Saat menjalankan ibadah, mulai dari tawaf, sa’i, hingga berjalan jauh untuk melempar jumrah, lalu tiba-tiba kondisi fisik jemaah Indonesia tidak kuat dan membutuhkan pertolongan, Pasukan Biru akan segera datang membawa tandu atau kendaraan listrik untuk mengantarkannya hingga menyelesaikan ibadah dengan tuntas.
Pembimbingan Agama
Selama pelaksanaan ritual haji, perbedaan pandangan keagamaan dalam satu rombongan kerap terjadi. Misalnya, terkait waktu melempar jumrah di Jamarat. Ada waktu-waktu tertentu yang dinilai sebagian jemaah sebagai waktu yang utama. Namun, ada juga yang memilih untuk melakukannya menjelang Subuh, saat itu masih segar dan udara masih sejuk. Pilihan ini bukan karena mengabaikan waktu utama, melainkan lebih karena faktor teknis semata.
Di tengah perbedaan pandangan keagamaan tersebut, saya bersyukur berada dalam Kloter 57, di mana ada seorang pembimbing ibadah haji yang memiliki pengetahuan keagamaan luas dan—yang paling penting—sangat terbuka terhadap usulan serta perbedaan tafsir keagamaan dari peserta lain. Namanya Ustaz Udin Nadjamuddin, dari salah satu KUA di Kabupaten Pandeglang.
Nomor handphone Ustaz Udin selalu terbuka dan kamarnya bisa diketuk kapan saja jika ada yang ingin berkonsultasi masalah keagamaan. Yang paling keren, setiap kali menyampaikan pandangan keagamaan, ia selalu mengutip pendapat dari berbagai ulama beserta dalilnya. Anggota jemaah dipersilakan memilih sesuai pandangan pribadinya. Ia tidak akan menghakimi atau memaksakan kebenaran. Ia sangat menghargai perbedaan.
Sisa Persoalan Haji
Dengan berbagai cerita di atas, apakah berarti seluruh pelaksanaan ibadah haji bisa berjalan lancar tanpa kendala? Oh, tidak… Penyelenggara haji Indonesia memang sudah berusaha sekuat tenaga memberikan layanan terbaik. Namun, ada beberapa wilayah teknis tertentu yang sama sekali tidak bisa diintervensi oleh Panitia Penyelenggara Haji Indonesia.
Misalnya, soal sarana transportasi penjemputan dari hotel ke Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina) dan sebaliknya. Masalah kualitas tenda dan pendingin udara di dalamnya selama di Arafah dan Mina. Kemudian urusan ketersediaan air untuk MCK, termasuk ketika air bersih langka atau saluran air kamar mandi mampet hingga air kotornya mengalir masuk ke tenda-tenda jemaah. Persoalan-persoalan teknis seperti ini sepenuhnya menjadi kewenangan panitia penyelenggara haji di tingkat lokal (Pemerintah Arab Saudi). Jemaah maupun Panitia Penyelenggara Haji Indonesia tidak punya daya untuk memrotes apalagi mengintervensi. Kami semua adalah korban.
Sebagai jemaah haji Indonesia, saya memang tinggal di wilayah hotel yang relatif jauh dari Masjidil Haram. Namun demikian, pemerintah RI menyediakan Bus Shalawat yang siap membawa jemaah pulang pergi ke masjid selama 24 jam penuh secara cuma-cuma dengan kualitas bus baru yang sangat nyaman. Bus-bus itu disewa oleh Pemerintah Indonesia dan hanya bisa digunakan oleh jemaah haji Indonesia.
Soal biaya haji. Angka Rp58 juta untuk berhaji selama 40 hari tinggal di Arab Saudi, dengan semua kebutuhan makan, akomodasi, dan kesehatan dijamin penuh, awalnya terasa mahal. Tapi setelah saya bertemu dengan warga negara Arab yang juga berhaji, ia harus membayar paling sedikit Rp50 juta (paling murah) hanya untuk 4 hari tinggal di Arafah dan Mina serta satu hari di Mekkah tanpa boleh menginap. Pemerintah Arab hanya menjamin transportasi lokal, akomodasi di tenda, dan makan selama 4 hari.
Rasa Aman
Pasukan Biru yang hadir selama berhaji memang tidak tampil sempurna. Mereka juga tidak akan bisa menyelesaikan semua persoalan jemaah yang jumlahnya ratusan ribu. Namun demikian, bagi saya, Pasukan Biru ini telah berhasil menghadirkan rasa aman bagi jemaah haji.
Saya tidak takut nyasar, tidak takut kelaparan, tidak takut naik bus saat kehabisan ongkos, dan tidak takut kelelahan saat berjalan jauh. Selama masih ada Pasukan Biru, hati dan batin saya merasa tenang dan nyaman. Selama 40 hari ada di negara Arab, saya merasa bahwa negara hadir memberikan rasa aman.
Saya membayangkan, alangkah baiknya jika ke depan, Pasukan Biru itu juga diisi oleh anak-anak muda mantan mahasiswa pecinta alam yang sangat terlatih untuk menaklukkan medan sulit, memiliki jiwa untuk menolong orang lain, dan memiliki kemampuan teknis evakuasi, serta rela berkorban untuk orang yang membutuhkan pertolongan. Nilai-nilai yang lekat pada diri anak-anak pecinta alam itu nyaris tidak ada di dalam budaya dan jiwa anak-anak muda Arab yang menjadi panitia haji sekaligus sebagai penjaga Tanah Suci.
Saya menutup ritual haji dengan sholat jum’at di Madinah. Imamnya sangat bijaksana, saat terik matahari sedang sempurna, dia membaca surat Al Ikhlas dan Al Kautsar, cepat dan efektif. Usai sholat, pikiran saya terbang melayang jauh ke Ciputat. Aroma nasi nasi uduk, lontong sayur Betawi, pecel Ngawi, sayur asem lengkap dengan tahu, tempe ikan asin dan sambel terasi mulai menggoda pikiran dan perut kosong usai sholat jum’at di siang itu