SURAKARTA, Suara Muhammadiyah – Memasang sutrah atau pembatas di depan saat salat, baik ketika salat sendiri maupun menjadi imam, merupakan sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) menurut pandangan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. Hal ini ditegaskan dalam Kajian Tarjih yang digelar oleh Direktorat Sumber Daya Manusia dan Organisasi (DSDMO) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) melalui daring Zoom Meeting pada Selasa (5/8).
Dr. Isman, S.H.I., S.H., M.H., dosen Fakultas Hukum UMS sekaligus narasumber kajian, menjelaskan bahwa ketentuan mengenai sutrah didasarkan pada berbagai hadis sahih, di antaranya sabda Nabi Muhammad SAW yang menyatakan, “Apabila salah seorang di antara kalian salat menghadap sesuatu yang membatasinya dari manusia, maka hendaklah ia mendekat padanya dan jangan biarkan seorang pun lewat di depannya” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Ia menekankan bahwa fungsi utama sutrah adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap ibadah salat dan menjaga kekhusyukan, dengan cara mencegah seseorang berjalan di depan orang yang sedang salat. Sutrah juga menjadi batas yang menandai area khusus tempat berdirinya seorang yang sedang salat.
“Dalam pandangan tarjih, sunnahnya meletakkan sutrah itu berlaku umum baik ketika menjadi imam maupun saat salat sendirian. Bahkan ketika salat di tempat terbuka, seperti lapangan, jika memungkinkan, tetap dianjurkan memasang sutrah,” ujar Isman.
Terkait kriteria sutrah, Isman menjelaskan bahwa para ulama bersepakat bahwa batas minimal ukuran sutrah adalah setinggi bagian belakang pelana unta, yakni sekitar 45 cm, berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim. Sutrah dapat berupa tiang, tongkat, tembok, atau benda lain yang cukup mencolok secara visual.
Isman juga menjawab pertanyaan mengenai apakah kaki makmum bisa menjadi sutrah bagi imam. Ia menjelaskan bahwa dalam kondisi tertentu, barisan makmum bisa dianggap sebagai sutrah bagi imam, namun bukan berarti hal itu menggugurkan anjuran memasang sutrah di depan imam.
Selain itu, dalam situasi ketika tidak ada benda yang bisa dijadikan sutrah, seseorang tetap dapat melaksanakan salat tanpa sutrah, namun dianjurkan mendekati dinding atau membatasi dengan sajadah kecil sebagai ikhtiar menjaga sunnah ini.
Dalam praktik sehari-hari, Isman mendorong para imam masjid dan mushala untuk menghidupkan kembali sunnah memasang sutrah, karena ini termasuk bagian dari meneladani tuntunan Rasulullah SAW.
"Jangan sampai kita anggap remeh perkara yang Nabi contohkan secara konsisten," tegasnya.
Dia juga menyampaikan bahwa di lingkungan Muhammadiyah, pemasangan sutrah telah menjadi bagian dari adab dan fiqih salat yang sering dikaji dalam Majelis Tarjih. Oleh karena itu, penting untuk terus disosialisasikan agar umat Islam lebih paham dan mengamalkannya.
Sebagai penutup, Isman menegaskan bahwa menjaga adab salat, termasuk memasang sutrah, menunjukkan kecintaan terhadap ibadah dan kedisiplinan dalam mengikuti sunnah. Hal ini sejalan dengan semangat tarjih Muhammadiyah yang berusaha menggali, merawat, dan menerapkan ajaran Islam secara otentik dan kontekstual.
Kajian Tarjih ke-185 ini bertajuk “Hukum Memasang Sutrah Salat Menurut Pandangan Tarjih Muhammadiyah” yang merupakan agenda rutin yang diselenggarakan DSDMO UMS secara daring setiap pekan melalui Zoom Meeting. Kegiatan ini bertujuan memberikan pencerahan keislaman berdasarkan tarjih Muhammadiyah kepada dosen, karyawan, tenaga kependidikan, maupun civitas akademica UMS. (Yusuf/Humas)