Humor Kekerasan Polisi di Bioskop, Amarah di Dunia Nyata

Publish

15 December 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
111
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Humor Kekerasan Polisi di Bioskop, Amarah di Dunia Nyata
Belajar dari Film Komedi Agak Laen 2: Menyala Pantiku

Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Ranting Muhammadiyah Legoso

“Gobl** kalian! Kalian telah melakukan kekerasan yang tidak perlu. Korbannya bukan penjahat yang sedang kita target, melainkan seorang polisi yang sedang menyamar untuk menjebak pengedar narkoba. Lebih fatal lagi, polisi yang menjadi korban itu adalah keponakan Kapolres!”

Makian penuh amarah dengan nada tinggi itu keluar dari mulut seorang perwira pertama Polisi yang menjabat sebagai Kepala Satuan Reserse Kriminal di sebuah polres. Empat bintara polisi dimarahi habis-habisan karena gagal menangkap pelaku kejahatan. Alih-alih menangkap target yang benar, mereka justru salah sasaran dan melakukan kekerasan hingga berakibat fatal.

Keempat bintara yang digambarkan bersuku Batak itu tampak bingung dan kikuk. Mereka saling pandang, tak mampu memberikan alasan apa pun selain kalimat pendek, “Maaf, siap salah, Ndan.”

Penyebab kesalahan itu ternyata sangat sepele: mereka salah memahami perintah arah dari komandan. Perintahnya jelas, “Target ada di samping gudang kosong arah tenggara.” Namun, ketika ditanya, “Mana arah tenggara?”, keempat polisi itu justru menunjuk ke empat arah berbeda. Tak satu pun mengarah ke tenggara.

Kisah tersebut tentu bukan kejadian nyata. Saya hanya menyuplik adegan dari film komedi Agak Laen 2: Menyala Pantiku yang ditulis dan disutradarai oleh komedian Muhadkly Acho. Film berdurasi 1 jam 59 menit ini tayang di bioskop sejak 27 November 2025. Sejak menit pertama hingga akhir cerita, saya bersama penonton lainnya dibuat tertawa tanpa henti.

Film ini berkisah tentang empat polisi—Bene, Boris, Jegel, dan Oki—yang selalu gagal setiap kali hendak menangkap penjahat. Hal itu membuat Kapolres sangat jengkel. Meski demikian, mereka masih diberi satu kesempatan terakhir untuk menangani kasus besar: pembunuhan anak wali kota yang telah menjadi perhatian publik. Jika kembali gagal, sanksi berat menanti mereka. Dari sinilah kisah penyamaran para polisi itu bermula, lengkap dengan perilaku lucu, konyol, dan humor segar yang mengocok perut penonton.

Kekerasan Polisi

Di luar layar bioskop, kisah yang sama sekali tidak lucu terjadi di dunia nyata. Pada pekan ini, warga Jakarta dan sekitarnya dikejutkan oleh aksi enam anggota polisi yang melakukan pengeroyokan terhadap dua orang debt collector hingga tewas pada Kamis (11/12/2025) di dekat TMP Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan. Keenam pelaku merupakan anggota Satuan Pelayanan Markas (Yanma) Mabes Polri.

Aksi pengeroyokan tersebut memicu kerusuhan di sekitar lokasi, termasuk pembakaran lapak  pedagang di kawasan Kalibata. Para polisi itu diduga melakukan pelanggaran kode etik profesi Polri kategori berat (sumber: Kompas.com).

Kekerasan nyata yang dilakukan polisi di Kalibata dan kekerasan yang digambarkan dalam film Agak Laen 2 memang tidak saling terkait. Keduanya hanya bertemu secara kebetulan dalam momentum yang bersamaan. Apalagi, film ini sedang berada di puncak popularitas. Hingga Minggu, 14 Desember 2025, Agak Laen 2: Menyala Pantiku telah ditonton lebih dari tujuh juta penonton dan menjadi salah satu film Indonesia terlaris.

Adegan kekerasan oleh polisi dalam film tersebut tentu tidak disajikan tanpa maksud. Dalam banyak film produksi Hollywood, Mandarin, Jepang, Korea, India, Turki, hingga Eropa, kekerasan oleh aparat penegak hukum merupakan hal yang jamak. Bahkan, sering kali adegan tersebut menjadi bumbu yang meningkatkan daya tarik dan peringkat tontonan.

Kekerasan yang penuh heroisme—bahkan brutal—kerap digambarkan sebagai upaya polisi menumpas kejahatan. Namun, tak jarang pula kekerasan itu ditampilkan sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan demi kepentingan tertentu. Lantas, mengapa film bergenre aksi tetap terasa menarik ketika menampilkan kekerasan oleh polisi?

Jawabannya bisa beragam. Bisa jadi, secara naluriah, penonton merasa puas melihat pelaku kejahatan diberantas karena kehadiran mereka mengganggu rasa aman masyarakat. Ketika polisi digambarkan bertindak tegas dan terampil, apresiasi publik pun muncul. Sebaliknya, ketika polisi melakukan kekerasan demi melindungi atau menguntungkan pelaku kejahatan, kecaman dan caci maki akan berdatangan.

Adegan dalam film bisa jadi hanya mereplikasi realitas dari dunia nyata. Para pembuat film sekadar memindahkan kenyataan tersebut ke layar, tentu dengan tambahan bumbu dramatik agar lebih menarik. Namun, gambaran itu tidak lahir dari ruang hampa.

Terlepas dari apakah kekerasan itu terjadi di dunia nyata atau hanya di layar film, saya memilih untuk tidak menormalisasi tindakan kekerasan polisi yang dilakukan secara brutal, meskipun dengan dalih menindak kejahatan atau menciptakan efek jera. Dalam negara hukum, aparat memang diberi kewenangan untuk bertindak, termasuk menggunakan kekuatan secara terukur dan proporsional sesuai tingkat ancaman. Namun, kekerasan dalam bentuk apa pun—baik verbal maupun fisik—tidak dapat dibenarkan jika hanya diniatkan untuk memperoleh pengakuan atau informasi secara instan.

Langkah Polda Metro Jaya yang menangkap enam anggota Yanma Mabes Polri dalam kasus pengeroyokan di Kalibata menjadi bukti bahwa tindakan main hakim sendiri tidak dibenarkan terhadap siapa pun. Terlebih, aksi tersebut memicu kerusuhan dan menimbulkan kerugian besar bagi warga sekitar, seperti pembakaran kendaraan dan lapak pedagang. Polisi yang melakukan pelanggaran tidak akan mendapatkan impunitas, meskipun tindakan itu dilakukan atas nama solidaritas atau penegakan hukum.

Kembali pada film komedi Agak Laen 2: Menyala Pantiku yang diproduseri oleh Ernest Prakasa, pesan serupa juga tersampaikan: kekerasan polisi terhadap terduga pelaku kejahatan tetap tidak dibenarkan, apa pun alasannya. Bahkan, dalam cerita tersebut, keempat polisi harus menerima hukuman pemberhentian dengan tidak dengan hormat alias dipecat, sehingga orang tersebut kehilangan status, hak, dan kehormatan yang melekat pada jabatan itu.

Gelak tawa di dalam bioskop semoga tidak membuat kita abai terhadap luka di dunia nyata. Kekuasaan sekecil apa pun, ketika dijalankan tanpa kontrol ketat, hanya akan melahirkan ketakutan, bukan keadilan. Polisi yang kuat bukanlah yang paling keras memukul, melainkan yang paling mampu menahan diri demi kemanusiaan dan hukum.

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Guru dan Pembelajaran Mendalam Oleh: Wiguna Yuniarsih, Wakil Kepala SMK Muhammadiyah 1 Ciputat Tang....

Suara Muhammadiyah

9 March 2025

Wawasan

Beridul Fitri dengan Prestasi (3)  Oleh: Mohammad Fakhrudin/Warga Muhammadiyah Magelang Di da....

Suara Muhammadiyah

24 April 2025

Wawasan

Oleh: Amalia Irfani Berbanggalah para guru dipenjuru ibu Pertiwi, profesi yang dipilih sebagai ruan....

Suara Muhammadiyah

23 November 2023

Wawasan

Idul Fitri dan Keadilan Sosial Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas ....

Suara Muhammadiyah

10 April 2024

Wawasan

Tanggalnya Jilbab dan Tumbangnya Pohon Beringin Oleh: Immawan Wahyudi, Dosen Fakultas Hukum UAD, ma....

Suara Muhammadiyah

15 August 2024