YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Telur merupakan sumber protein hewani yang kaya nutrisi, mudah diolah, dan menjadi menu favorit di banyak rumah tangga Indonesia. Namun, di balik manfaatnya, telur juga berisiko menimbulkan masalah kesehatan jika kualitasnya tidak terjaga. Telur yang terkontaminasi bakteri seperti Salmonella atau Listeria dapat menyebabkan keracunan makanan, diare, bahkan membahayakan ibu hamil. Sayangnya, banyak rumah tangga masih mengandalkan cara tradisional yang bersifat perkiraan untuk menentukan kualitas telur.
Menjawab persoalan ini, Dr. Qurratul Aini, SKG., M.Kes., dosen Program Studi Magister Administrasi Rumah Sakit (MARS) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), mengembangkan inovasi berupa alat deteksi telur busuk portabel. Alat ini dirancang agar mudah digunakan oleh ibu rumah tangga maupun pelaku usaha kecil, sehingga membantu mereka memastikan kualitas protein yang dikonsumsi keluarga.
“Awalnya ide ini lahir dari program pengabdian masyarakat. Saya sering mengedukasi ibu-ibu Dasawisma tentang pentingnya nutrisi keluarga. Banyak yang hanya fokus anak sarapan kenyang, kadang hanya diberi gorengan, tanpa memperhatikan keseimbangan gizi. Lalu saya tanya, kenapa tidak pakai telur? Telur itu sederhana, murah, mudah didapat, dan banyak ibu Dasawisma juga punya ayam. Ironisnya, telur bagus justru dijual, sementara yang kurang bagus malah dikonsumsi sendiri,” ungkap Dr. Aini saat ditemui di ruang kerjanya (6/9).
Alat pendeteksi ini bekerja dengan prinsip kemampuan cahaya menembus cangkang telur. Komponennya meliputi bodi portabel, sensor inframerah untuk mendeteksi telur, lampu LED sebagai sumber cahaya, sensor fotodioda untuk menangkap pantulan, unit mikrokontroler berbasis Arduino Nano, layar tampilan hasil, serta catu daya isi ulang.
Hasil deteksi dikategorikan menjadi tiga: Telur kurang bagus, bagus, dan sangat bagus. Dengan metode ini, masyarakat tidak perlu lagi mengandalkan insting, karena alat akan memberikan hasil akurat apakah telur layak konsumsi atau sudah mulai rusak. Tidak hanya untuk telur ayam, alat ini juga bisa digunakan untuk telur bebek, puyuh, hingga angsa.
Inovasi ini dikembangkan bersama almarhum Romadhani Syahputra, S.T., M.T., dosen Teknik Elektro UMY. Proses pembuatan memakan waktu kurang dari satu tahun dengan biaya produksi relatif murah, di bawah Rp200 ribu per unit. Jika dipasarkan, harga jual diperkirakan berkisar Rp150 ribu hingga Rp275 ribu, sehingga tetap terjangkau masyarakat.
Ke depan, Dr. Aini berencana mengintegrasikan teknologi kecerdasan buatan (AI) agar alat tidak hanya mendeteksi kualitas, tetapi juga mampu menampilkan kandungan protein dan albumin telur secara detail. Dengan begitu, alat ini sekaligus bisa menjadi media edukasi gizi interaktif.
“Harapannya, alat ini tidak hanya menjadi inovasi teknologi, tetapi juga sarana edukasi yang membantu masyarakat memastikan konsumsi protein yang aman, sehat, dan berkualitas di rumah,” pungkasnya. (Mut)