Kacamata

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
46
Ilustrasi

Ilustrasi

Kacamata 

Cerpen Erwito Wibowo

Perempuan usia lanjut itu berjalan menyusuri lorong kampung di sebuah kota lama. Ia mengenakan kacamata fungsi ganda untuk jalan dan membaca. Dalam pandangannya, lorong kampung itu tidak berubah masih sebagaimana dahulu. Lorong-lorongnya sempit. Seperti labirin. Banyak perpotongan jalan yang tidak terduga serta tikungan-tikungan tajam. Dinding tembok rumah antar tetangga yang dibelah lorong gang, masih seperti yang dilihat sekian tahun yang lalu. Karena termakan waktu, banyak yang mengelupas terlihat tatanan bata merahnya, nampak kusam di banyak tempat. 

Lorong kampung itu, di balik tembok-tembok rumahnya senantiasa terdengar suara orang membaca Al-Qur'an di waktu sehabis Subuh maupun waktu antara Maghrib dan Isya. Sehingga suasananya sangat religius. Dari balik tembok dinding rumah alunan tadarus menembus mengarungi ruang-ruang antarrumah. Namun, kini, perempuan usia lanjut itu tidak menemukan lagi suasana seperti itu. Suasana gema suara tadarus itu entah hilang ke mana sekarang? Perempuan itu heran. Ia boleh heran. Ia punya pengalaman di kampung lain bukan di kampung ini. Dari balik tembok rumah, yang terdengar keluar suara sinetron opera sabun.Suara infotainment peradaban baru. Suara musik. Ia heran. Ia tidak menemukan suara berasal dari peradaban baru di lorong kampung ini, namun gema alunan tadarus juga tidak ada. Terus kemanakah orang-orang itu melabuhkan tuntunan agamanya? 

Perempuan itu ingin menyelidiki. Ia mencoba menghadiri majelis taklim. Alhamdulillah. Masih ada majelis taklim. Ia berada di majleis taklim. Dari balik pandangan kacamatanya, ia masih mengenali beberapa orang seusia dia. Setelah majelis taklim selesai. Ia mencoba bertanya pada seorang wanita yang dikenalnya. 

“Assalamualaikum,” ucap perempuan itu. 

“Wa alaikumussalam,” jawab perempuan yang diajak salaman. 

“Masih ingat saya?’ ucapnya sambil menyodorkan tangan. Keduanya bersalaman. 

“Siapa ya?” tanya perempuan yang diingatkan, namun gagal mengingat untuk menerka. 

“Saya, Siti Djumariyah,” ujarnya sambil menggerak-gerakkan kepala agar perermpuan yang diajak bicara mengenalnya kembali. Dan ternyata berhasil. 

“Oooooo.......,” seru perempuan itu sudah teringat kembali. “Kamu, mbah Siti Djumariyah yang rumahnya di pojok kampung itu kan?” tambahnya. 

“Nah, sekarang sudah ingat,” ucapnya mulai senang. 

Setelah berbasa-basi sejenak, lalu perempuan yang heran pada perubahan suasana kampung religious itu bertanya. 

“Saya penasaran mau tanya kepadamu?” 

“Tanya apa ya mbak?” 

“Saya heran, kenapa lorong-lorong kampung ini sepi dari alunan gema tadarus, tidak sebagaimana dahulu?” 

“Saya tidak tahu mbak?” jawabnya singkat tanpa pikir panjang. 

“Begini saja. Saya tanya secara pribadi saja. Boleh?” 

“Boleh. Silahkan mbak. Seperti kepada siapa? Boleh mbak,” jawabnya. 

“Langsung saja ya. Apakah kamu masih melakukan tadarus menghiasi rumahmu?” 

“Anu mbak. Begini mbak,” jawabnya tidak jelas. 

“Apa maksudnya? Saya ulangi lagi. Apakah kamu masih melakukan tadarus di rumahmu?” 

“Begini mbak. Saya sudah tidak mampu melihat huruf,” jawabnya. 

“Ooo, begitu. Kenapa tidak memiliki kacamata baca. Toh harganya murah?” 

“Tidak mbak. Kacamata baca yang baik, belinya harus ke kota dan mahal,” jawabnya. 

“Bukan karena malas ya?” 

“Tidak mbak. Ada kacamata yang murah dari mika, dipergunakan seminggu sudah bernasib keruh,” ungkap perempuan itu memberikan alasan.

“Terus orang lain, selain kamu, apakah bersikap dan bertindak seperti kamu ? Tidak mau lagi tadarus karena tidak memiliki kacamata baca?” 

“Persis. Betul. Pandangan kacamata mbak, tepat dan pasti,” jawab perempuan yang tidak lagi melakukan tadarus itu. 

“Bagaimana dengan para kaum lekakinya?” kejar perempuan yang masih penasaran terhadap perubahan di kampungnya itu. 

“Sama. Sama alasannya,” jawabnya. 

“Terus amalan apa yang mereka lakukan?” tanya perempuan yang penasaran itu. 

“Mereka berkumpul di suatu majelis, secara rutin menghafalkan doa-doa. Setelah selesai menyantap hidangan dan minum teh hangat. Lalu pulang,” jawabnya. 

Dari percakapan dengan perempuan itu sudah bisa dijadikan sampel alasan kenapa banyak perempuan usia lanjut memiliki alasan tidak lagi melakukan tadarus. Perempuan yang merasa heran itu masih akan mencari pembanding alasan orang lain dari penduduk kampung setempat. Ia sudah bertemu banyak orang. Memperoleh alasan yang sama. Dengan cepat ia memutuskan sebuah kesimpulan. Ini perlu tindakan sosial dengan membagi kacamata kepada penduduk usia lanjut. Sehingga tidak ada alasan, tidak melakukan tadarus di usia lanjut gara-gara kemampuan mata menjadi halangan untuk membaca. 

Perempuan itu memborong berbagai ukuran kacamata baca yang akan diberikan kepada penduduk setempat yang dahulu rajin tadarus, kemudian menjadi alasan utama tidak tadarus karena sudah tidak mampu membaca. Cara membagi kacamata, ia tidak akan mengumpulkan penduduk di suatu tempat, untuk menghindari pencitraan. Melainkan penduduk akan didatangi satu persatu dari rumah ke rumah, sebagai sikap keberpihakan mengatasi persoalan. Ia akan melakukan pendekatan dengan memberikan hadiah sebuah kacamata baca. Serta memotivasi agar penduduk setempat mewarnai lorong-lorong kampungnya dengan alunan tadarus sehabis Subuh, antara Maghrib dan Isya, sebagaimana dahulu pernah dilakukan. 

Penduduk setempat terakhir yang didatangi diberikan bantuan kacamata baca, sambil memperoleh pesan. 

“Ini kamu saya beri bantuan kacamata baca. Jangan ada alasan lagi tidak mau tadarus karena kesulitan membaca huruf. Ayo hiasi kembali suasana kampungmu dengan alunan tadarus. Kasihan generasi anak cucu kita kelak tidak melakukan tadarus karena tidak dicontohkan oleh generasi terdahulu. Apa yang dilakukan generasi tua akan dicontoh generasi berikutnya. Buatlah contoh yang baik,” ungkap perempuan pembagi kacamata baca itu.• 

Kotagede, 20 September 2023


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Humaniora

Doa Terakhir Nenek Menjelang Ajal Cerpen Soegiyono MS Umi Salamah seorang nenek tua renta hidup se....

Suara Muhammadiyah

29 November 2024

Humaniora

Oleh: Nur Ngazizah “Saya titipkan Muhammadiyah dan Aisyiyah kepadamu sebagaimana almarhum Kia....

Suara Muhammadiyah

30 November 2023

Humaniora

Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiana Saputra Pada Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (2) te....

Suara Muhammadiyah

21 September 2023

Humaniora

Cerita-cerita yang Minta Ditulis  Cerpen Indrian Koto Ia ingin menulis cerita. Menulis banyak....

Suara Muhammadiyah

4 December 2025

Humaniora

Kegelisahan Seorang Juragan  Cerpen Mustofa W Hasyim Taslim tiba-tiba merasa gelisah bukan ma....

Suara Muhammadiyah

11 October 2024