Kebohongan dalam Politik

Publish

9 October 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
55
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Kebohongan dalam Politik

Oleh: Sobirin Malian, Dosen Fakultas Hukum Univesitas Ahmad Dahlan

Kebohongan selalu mewarnai dunia politik. Seorang politisi atau seorang pejabat seolah sudah terbiasa dengan kebohongannya. Padahal publik sangat paham, apa yang ia katakan atau ia janjikan semua adalah kebohongan. Lalu politik seolah adalah kebohongan itu sendiri. Mungkin ini pula yang menyebabkan salah satu penilaian bahwa politik dianggap kotor.

Jika diamati kebohongan dalam politik terjadi karena beberapa alasan utama: (1) politisi sering menggunakan kebohongan untuk membangun dukungan dan keyakinan palsu demi memenangkan pemilihan atau mencapai tujuan tertentu. (2) Kebohongan juga digunakan untuk menghindari kecanggungan, membuat kesan yang baik, atau membuat orang lain merasa senang. Dalam konteks politik, kebohongan bisa menjadi alat strategis yang sengaja dipilih ketika keuntungan yang didapat lebih besar daripada kerugian yang mungkin dihadapi. 

Fenomena ini tidak hanya sekadar tindakan spontan, melainkan sebuah keputusan yang diperhitungkan secara cermat. Selain itu, kebohongan dalam politik bisa sangat menular dan menjadi candu, sehingga politisi yang sudah sukses berbohong cenderung mengulanginya lagi__berkali-kali. Masyarakat pun, dalam banyak kasus, sering menerima kebohongan tersebut karena sesuai dengan apa yang ingin mereka dengar. Secara psikologis, manusia juga punya kemampuan alami untuk berbohong dalam berbagai situasi sehari-hari, termasuk dalam politik, yang membuat kebohongan menjadi hal yang lumrah dan terus berulang dalam dunia politik.

Di masa lalu, beberapa filsuf yang pernah menulis tentang kebohongan dan menunjukkan keprihatinan terhadap keadaan itu cukup banyak, antara lain: Lars Svendsen, filsuf Norwegia yang menulis buku "Filsafat Kebohongan." Ia mengulas kebohongan dari sudut pandang etika dan kemanusiaan, mengajak kita merenungkan mengapa manusia sering memilih dibohongi daripada menghadapi kejujuran yang menyakitkan. Svendsen melihat kejujuran sebagai kekuatan yang paling manusiawi meski rentan.

Filofos Socrates, yang menurut beberapa interpretasi, percaya bahwa filsuf mencintai kebenaran, tetapi juga mengakui bahwa kebohongan bisa memiliki kegunaan politik. Namun, cinta pada kebenaran tetap mendasari filsafatnya.

Friedrich Nietzsche yang menulis tentang kebenaran dan kebohongan dalam makna ekstra moral, memperlihatkan bahwa kebenaran dan kebohongan bisa menjadi konteks yang lebih luas dalam pemikiran filosofis.  Kebohongan, kata Nietzsche dapat menjadi alat untuk bertahan hidup dan mencapai tujuan dalam masyarakat yang kompleks.  Moralitas tradisional dapat menjadi bentuk kebohongan yang digunakan untuk mengontrol dan menekan individu. Nietzsche mengkritik moralitas absolut yang dianggapnya sebagai bentuk kebohongan yang tidak mengakui kompleksitas dan nuansa kehidupan manusia.

Implikasi Pandangan Nietzsche, tentang kebohongan dapat mengarah pada relativisme moral, di mana tidak ada nilai moral absolut.Pendapat Nietzsche juga dapat digunakan untuk mengkritik dogmatisme dan fanatisme yang dapat menyebabkan konflik dan kekerasan.

Di Indonesia ada Buya Hamka, yang dari perspektif Islam menyatakan bahwa manusia fitrahnya condong pada kebenaran dan berbohong memiliki dampak negatif yang sangat serius bagi masyarakat. Dalam bukunya "Bohong di Dunia," ia membedakan antara jujur dan bohong secara filosofis, menegaskan pentingnya kejujuran untuk menciptakan masyarakat yang berintegritas.

Dari yang tercatat, Lars Svendsen dan Buya Hamka secara khusus menunjukkan keprihatinan atas kebohongan dan mengajak refleksi mendalam tentang dampaknya bagi manusia dan masyarakat. Socrates dan Nietzsche juga membahas kebohongan dalam konteks filosofis yang lebih luas terkait kebenaran dan politik namun lebih “mengaburkan” secara moral.

Dampak Kebohongan

Dampak kebohongan bagi penguasa atau politisi yang sedang menjabat sangat serius dan luas baik dari sisi sosial maupun politik.

Pertama, kebohongan dapat mengghilangkan kepercayaan publik; pada saat pemimpin berdusta, masyarakat kehilangan kepercayaan yang sulit dibangun kembali. Kepercayaan yang runtuh memicu apatisme dan ketidakpedulian sosial.

Pemimpin atau politisi yang sukia berbohong memberikan contoh buruk kepada masyarakat, terutama generasi muda, sehingga membudayakan kebohongan sebagai sesuatu yang permisif.

Kebohongan, terutama jika memuat diskriminasi kelompok, dapat memicu konflik sosial horizontal yang memperlebar jurang perbedaan di tengah masyarakat.

Kebohongan jelas melemahkan legitimasi politik pemimpin. Rakyat merasa tidak diwakili secara jujur, yang dapat memunculkan tuntutan untuk mundur, demonstrasi, atau bahkan kudeta.

Hal yang lebih parah, jika pemerintahan berlandaskan pada kebohongan, maka sulit baginya untuk mempertahankan stabilitas karena muncul kecurigaan, resistensi oposisi, dan ketidakpercayaan masyarakat.

Sadar atau tidak, kebohongan membuka pintu bagi korupsi, kolusi, nepotisme, dan praktik tidak etis lainnya yang merusak integritas sistem politik dan melemahkan demokrasi.

Dalam konteks internasional, pemimpin yang dikenal tidak jujur sulit dipercaya oleh pemimpin negara lain, menghambat kerja sama internasional dan merugikan posisi negara di dunia.

Secara keseluruhan, kebohongan oleh penguasa tidak hanya meruntuhkan dirinya sendiri, tetapi juga merusak kepercayaan publik, stabilitas sosial-politik, dan tatanan pemerintahan yang sehat. Hal ini mengingatkan bahwa kebenaran mungkin tertunda, tapi kebohongan akhirnya akan terbongkar.

Keteladanan

Saat ini negara kita boleh dikata tengah kehilangan tokoh yang dapat diteladani, padahal tokoh teladan sangat penting. Keteladanan seorang tokoh publik memang sangat penting dalam membentuk karakter dan perilaku individu. Orang yang jujur dan memiliki integritas dapat menjadi contoh yang baik bagi orang lain, sedangkan tokoh yang suka berbohong dapat merusak kepercayaan dan menghancurkan hubungan.

Pentingnya keteladanan, terutama bagi publik dapat membantu membangun kepercayaan dan kredibilitas. Orang yang memiliki keteladanan dapat menginspirasi orang lain untuk berperilaku baik dan memiliki integritas. Akhirnya, keteladanan dapat membentuk karakter individu dan membantu mereka menjadi lebih baik.

Dari berbagai perspektif etika, agama dan filosofi bahwa kebohongan sebaiknya dihindari karena memiliki konsekuensi negatif yang serius, seperti hilangnya kepercayaan, kerusakan integritas moral, dan bahkan dampak sosial yang merugikan. Namun, ada juga pengakuan bahwa dalam situasi tertentu, berbohong dapat diperbolehkan demi menjaga perdamaian, melindungi orang yang tidak bersalah, atau mencapai tujuan yang lebih besar, seperti dalam perspektif Islam. Meski demikian, kebohongan tetap dianggap tercela secara moral dan memiliki risiko kerugian baik di dunia maupun akhirat. Oleh karena itu, sikap jujur lebih dianjurkan sebagai fondasi untuk membangun kepercayaan dan keharmonisan sosial.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Refleksi Miladiah ke-116 Muhammadiyah: Bara yang Tak Boleh Padam Oleh: Agus setiyono, Aktivis Persy....

Suara Muhammadiyah

4 June 2025

Wawasan

BSM Hendaknya Menjadi Model dan Daya Dorong Bank Syariah di Indonesia Oleh: Amidi, Dosen FEB Univer....

Suara Muhammadiyah

8 July 2025

Wawasan

Dilema Keteguhan dan Budaya Berorganisasi Oleh: Amalia Irfani, Sekretaris LPP PWM Kalbar/LPPA PWA K....

Suara Muhammadiyah

27 September 2024

Wawasan

Oleh Faozan Amar, Dosen FEB UHAMKA dan Direktur Eksekutif Al Wasath Institute Indonesia adalah nega....

Suara Muhammadiyah

29 January 2024

Wawasan

Alkitab Berbahasa Arab: Sebuah Perspektif Historis Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Bu....

Suara Muhammadiyah

27 January 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah