Kehendak Bebas Manusia dalam Genggaman Ilahi
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Apakah manusia sungguh-sungguh memiliki kehendak bebas, ataukah jalan hidup kita telah ditetapkan sejak awal oleh takdir ilahi? Pertanyaan filosofis yang mendalam ini menemukan akarnya dalam penafsiran ayat-ayat suci, khususnya dalam Surah Hud, ayat 118-119 dari Al-Qur'an. Ayat ini berbunyi, pada intinya, bahwa seandainya Allah menghendaki, Dia bisa saja menyatukan seluruh umat manusia dalam satu komunitas beriman. Namun, karena kehendak-Nya yang lain, perbedaan dan perselisihan terus-menerus muncul di antara mereka.
Ayat ini sering kali menjadi titik fokus perdebatan antara pandangan tradisional dan modern tentang takdir. Mari kita selami lebih dalam penafsiran yang beragam ini untuk menemukan pemahaman yang lebih kaya dan relevan.
Selama berabad-abad, banyak ulama klasik terkemuka telah menafsirkan ayat ini melalui lensa predestinasi. Dalam pandangan mereka, keragaman dan perselisihan yang terjadi di antara manusia bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari ketetapan ilahi. Mereka berpendapat bahwa Tuhan telah membagi manusia menjadi dua kelompok utama sejak awal penciptaan: satu kelompok yang ditakdirkan untuk surga dan yang lainnya untuk neraka.
Menurut narasi ini, mereka yang menyimpang dari ajaran para nabi dan menolak kebenaran melakukannya bukan karena pilihan bebas, melainkan karena takdir yang telah digariskan untuk mereka. Sebaliknya, mereka yang menerima petunjuk ilahi dan mendapat rahmat adalah individu yang telah ditakdirkan untuk menerima berkah tersebut. Dengan kata lain, pilihan manusia seakan-akan hanyalah ilusi—sebuah jalan yang sudah diatur—dan bukan manifestasi dari kehendak yang mandiri.
Namun, seperti yang banyak ahli modern tunjukkan, penafsiran ini menghadapi tantangan serius. Pandangan predestinasi ini tampaknya bertabrakan langsung dengan pilar-pilar fundamental ajaran Islam lainnya. Bagaimana mungkin manusia dapat diuji dan bertanggung jawab atas perbuatan mereka jika takdir mereka telah ditetapkan? Al-Qur'an berulang kali menekankan pentingnya amal, niat, dan pilihan moral sebagai penentu nasib akhir seseorang. Seluruh konsep Hari Kiamat, dengan pengadilan ilahi yang adil, akan kehilangan maknanya jika hasil akhir setiap individu sudah ditentukan dari awal.
Konsep pertanggungjawaban personal—bahwa setiap jiwa akan menanggung beban perbuatannya sendiri—adalah inti dari pesan Islam. Jika takdir mengendalikan setiap tindakan, maka baik hukuman maupun pahala menjadi tidak adil. Konflik internal ini mendorong para pemikir modern untuk mencari penafsiran yang lebih koheren dan logis.
Alih-alih melihat ayat ini sebagai bukti takdir, para cendekiawan modern menawarkan sebuah perspektif yang lebih memberdayakan: bahwa keragaman pandangan adalah hasil langsung dari pilihan bebas yang diberikan oleh Allah. Jika Allah memang menghendaki, Dia bisa saja menciptakan seluruh manusia sebagai robot yang secara otomatis taat. Namun, Dia memilih untuk memberikan hadiah berupa kehendak bebas, yang membuat ketaatan menjadi sebuah pilihan yang memiliki nilai luar biasa.
Dengan kata lain, Allah menciptakan manusia dengan potensi untuk memilih antara jalan yang benar dan yang salah. Merekalah yang memilih jalan kebenaran yang akan menerima rahmat dan bimbingan ilahi. Rahmat ini bukanlah takdir yang telah ditentukan, melainkan sebuah hadiah yang diberikan sebagai balasan atas pilihan mereka. Sebaliknya, mereka yang memilih untuk menolak dan menyimpang akan menghadapi konsekuensi yang juga merupakan hasil dari pilihan mereka. Dengan demikian, ayat ini bukan berbicara tentang takdir yang mengikat, melainkan tentang realitas konsekuensi dari kebebasan memilih.
Perspektif ini tidak hanya menyelesaikan kontradiksi yang mengganggu dalam penafsiran klasik, tetapi juga memberikan makna yang lebih dalam pada ujian hidup. Setiap keputusan, setiap tindakan, dan setiap perjuangan memiliki nilai, karena itu adalah manifestasi dari kehendak bebas yang telah dianugerahkan. Dengan demikian, ayat dari Surah Hud ini menjadi pengingat yang kuat akan pentingnya pilihan dan tanggung jawab personal dalam perjalanan spiritual kita.
Ada interpretasi yang berbeda. Menurutnya, ayat ini justru mendukung gagasan bahwa manusia memiliki pilihan bebas. Jika Allah menghendaki, Dia bisa saja menjadikan semua manusia beriman. Namun, Dia tidak melakukannya. Sebaliknya, Dia menciptakan manusia dengan kemungkinan nyata untuk memilih jalan yang benar atau yang salah. Inilah esensi dari ujian hidup.
Karena pilihan bebas inilah, sebagian orang menyalahgunakan kebebasan mereka dan menentang para nabi. Merekalah yang disebut "berbeda" dalam ayat ini. Sebaliknya, orang-orang yang tidak menolak ajaran nabi adalah mereka yang dipilih Allah untuk mendapat rahmat. Dr. Shabir menegaskan bahwa rahmat ini tidak diberikan secara acak atau karena takdir awal, melainkan sebagai balasan karena mereka memilih jalan yang benar. Dengan kata lain, mereka yang berkorban di jalan Allah dan melakukan perbuatan baik adalah orang-orang yang pantas menerima rahmat-Nya.
Jadi, ketika ayat tersebut menyatakan bahwa "firman Tuhanmu telah terbukti benar," itu tidak berarti Tuhan telah menakdirkan mereka untuk neraka. Sebaliknya, ini berarti bahwa orang-orang yang memilih jalan yang salah akan menerima konsekuensi yang telah Tuhan tetapkan bagi mereka. Ini adalah hasil alami dari pilihan mereka, bukan takdir yang tidak bisa dihindari.
Kita perlu menekankan pentingnya menavigasi warisan intelektual Islam dengan hati-hati. Ia mengajak untuk menghormati dan belajar dari para ulama klasik, tetapi pada saat yang sama, kita tidak boleh mengulangi kesalahan masa lalu. Ia memberikan contoh beberapa sarjana modern seperti Muhammad Assad, Abul A'la Maududi, dan Mufti Muhammad Shafi, yang telah mengadopsi penafsiran yang lebih logis dan masuk akal mengenai ayat ini.
Ini juga tampak pada Maulana Wahiduddin Khan, yang dalam beberapa terjemahan Al-Qur'annya terkesan dipengaruhi oleh interpretasi klasik. Namun, dalam catatan kakinya yang lebih rinci, ia justru memberikan argumen yang sejalan dengan gagasan pilihan bebas. Hal ini menunjukkan betapa sulitnya melepaskan diri dari pengaruh pemahaman yang telah ada selama berabad-abad.
Kita harus berani berpikir kritis dan terbuka terhadap interpretasi baru yang lebih sesuai dengan prinsip-prinsip Al-Qur'an. Ini adalah sebuah tugas yang membutuhkan keseimbangan antara menghargai tradisi dan berani melakukan pembaruan demi pemahaman Islam yang lebih dalam dan relevan.