Oleh : dr. Wiwik Rahayu, Mkes
Belum lama ini, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengumumkan program baru: pendidikan militer untuk remaja bermasalah. Tawuran, mabuk-mabukan, hingga perilaku melawan orang tua akan "ditangani" lewat pelatihan militer intensif di fasilitas TNI. Selama enam bulan hingga setahun, para remaja ini akan digembleng fisik, mental, dan sosial, dengan harapan mereka berubah menjadi pribadi yang lebih disiplin dan bertanggung jawab.
Program ini tentu menuai banyak respons. Bagi sebagian orang, ini terlihat sebagai langkah progresif: remaja nakal dibina, bukan sekadar dihukum. Namun, jika kita jujur bertanya, benarkah masalah kenakalan remaja bisa selesai hanya dengan latihan fisik dan disiplin ala militer?
Mari kita telaah lebih dalam.
Kenakalan remaja tidak lahir tiba-tiba. Ia tumbuh dari lingkungan: dari keluarga yang rapuh, sekolah yang gagal membentuk karakter, masyarakat yang permisif, hingga negara yang abai memberi arah pendidikan berbasis nilai luhur. Sayangnya, seluruh pilar ini selama ini berdiri di atas pondasi kapitalisme sekuler—sebuah sistem yang menyingkirkan peran agama dalam mengatur kehidupan, menggantikannya dengan orientasi semata-mata pada materi dan kesenangan duniawi.
Dalam sistem sekuler, pendidikan pun lebih banyak mendorong anak-anak mengejar nilai akademik, prestasi lahiriah, dan pencapaian materi. Spirit moral, akhlak, dan kesadaran akan tujuan hidup hakiki menjadi kering dan nyaris tak tersentuh. Akibatnya, lahirlah generasi yang kehilangan arah, mencari pelarian lewat pergaulan bebas, kekerasan, atau pelanggaran norma.
Di sinilah letak masalah utamanya: salahnya bukan semata di anak-anak itu, tapi pada sistem yang mendidik mereka.
Dalam situasi ini, pendidikan militer hanya akan menjadi solusi tambal sulam. Mungkin saja, selama dalam tekanan pelatihan keras, mereka tampak berubah. Tapi, tanpa perubahan cara pandang hidup mereka, perubahan itu rapuh. Begitu kembali ke lingkungan lama, kebiasaan buruk bisa saja muncul lagi.
Jika kita ingin sungguh-sungguh membentuk generasi kuat dan bermartabat, bukan sekadar menambal perilaku mereka, tapi mengubah paradigma pendidikan dari akarnya.
Islam menawarkan solusi yang lebih mendalam. Dalam sistem Islam, pendidikan tidak sekadar membentuk keterampilan atau kedisiplinan lahiriah. Pendidikan membangun kesadaran: bahwa hidup punya tujuan mulia, yaitu menjadi hamba Allah dan khalifah di bumi. Bahkan pendidikan militer dalam Islam bukan semata soal baris-berbaris atau kekuatan fisik, melainkan bagian dari membentuk generasi pejuang yang sadar tugas sucinya: menegakkan keadilan dan menyebarkan rahmat ke seluruh dunia.
Anak-anak dalam sistem ini belajar bahwa kemuliaan hidup bukan diukur dari gelar atau harta, tapi dari seberapa besar kontribusi mereka bagi kebaikan umat manusia.
Maka, beda landasan, beda pula hasil akhirnya. Sistem sekuler kapitalistik hanya melahirkan generasi pemburu dunia, sementara sistem Islam melahirkan generasi pejuang peradaban.
Karena itu, program militer untuk remaja nakal mungkin terlihat baik di permukaan, tapi tidak cukup untuk menyentuh akar masalah. Kita butuh perubahan lebih besar: reorientasi total sistem pendidikan dan kehidupan, berbasis pada aqidah Islam, yang membawa anak-anak kita kembali pada fitrahnya—menjadi manusia yang sadar arah hidup, bertanggung jawab, dan mulia di dunia dan akhirat.
Itulah solusi sejati yang kita butuhkan. Bukan hanya tambal sulam, tapi perubahan mendasar.
Penulis: Mahasiswa doktoral Farmasi UAD Yogyakarta