SURAKARTA, Suara Muhammadiyah - Di hari terakhir Rakornas Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani (MPKSDI), ada sesuatu yang tak biasa di aula utama Hotel Syariah Surakarta (26/10). Forum yang dihadiri seluruh kader inti persyarikatan itu menjelma ruang perkuliahan dengan menghadirkan seorang pakar sekaligus praktisi perkaderan. Ia adalah Raja Juli Antoni, Menteri Kehutanan RI, yang secara biologis merupakan kader yang lahir langsung dari rahim Muhammadiyah. Dalam paparannya, ia berpesan agar arena pengabdian kehidupan keumatan dan kebangsaan setiap kader Muhammadiyah semakin diperluas. Bukan malah menyempit dan kemudian hanya menghasilkan jago kandang.
"Soal perkaderan, saya tidak ingin menggarami lautan. Mungkin yang akan saya sampaikan ini terkait personal reflection saya sebagai kader Muhammadiyah yang menjadi bagian dari kehidupan saya," ucapnya.
Baginya, idealnya, proses kaderisasi perlu mengacu pada pandangan hidup dan keyakinan Muhammadiyah yang terkristal. Lalu, dari pandangan itu seluruh kader dapat melakukan eksplorasi dalam menghasilkan langkah-langkah strategis untuk kehidupan keumatan semesta.
"Meski ada beberapa pandangan yang bersifat statis, namun perlu dimodifikasi di sana-sini agar terus relevan dengan nilai-nilai kehidupan yang berlaku," tegasnya.
Berislam ala Muhammadiyah menurutnya sangat berbeda dengan cara berislam organisasi atau gerakan keagamaan lain.
"Dalam konteks ini kita tidak tidak ingin berpecah belah dengan saudara kita yang ada di organisasi berbeda. Tapi kita punya world view dan nilai khas organisasi yang harus dipegang teguh," jelasnya.
Ada dua hal yang menjadi akar perbedaan Muhammadiyah dan non Muhammadiyah. Pertama, terkait bagaimana organisasi keagamaan meletakkan hubungan antara dunia dan akhirat. Berdasar pengalaman pribadinya, Raja Juli menegaskan bahwa kesalehan orang Muhammadiyah itu lebih bersifat amaliyah konkrit dan tidak bersifat personal. Mereka menjadikan agama untuk menghadirkan perubahan secara nyata. "Melalui kata-kata dapat diwujudkan dalam aksi sosial yang konkrit," ungkapnya.
Berbicara hubungan antara warga Muhammadiyah dengan Tuhannya ini, Raja menilai cukup simpel dan sederhana. Sebagai contoh, setelah melakukan ibadah fardhu, mereka tidak berdoa lama-lama. Tapi langsung bergegas ke tempat-tempat yang berimplikasi komplek kepada masyarakat. "Inilah makna kesalehan bagi Muhammadiyah," ucap mantan Ketua Pimpinan Pusat IPM periode 2000-2002 itu.
"Memori kecil saya terhadap Muhammadiyah itu adalah gerakan sosial," tambahnya.
Di belahan dunia manapun, ia memuji kiprah Muhammadiyah yang terus menjadi gerakan dan organisasi yang unik karena kesalehan sosialnya. Perilaku dan peran sosial yang ditunjukkan oleh kader sekaligus warga Muhammadiyah inilah yang membedakannya dengan kader lain di jagat persilatan. Bukan hanya soal menghafal ayat-ayat Al-Qur'an, tapi juga mengimplementasikan ayat-ayat tersebut ke dalam kehidupan sosial.
"Tradisi kesalahan orang Muhammadiyah bukan dalam menghafal, tapi bagaimana dari ayat-ayat yang dihafalnya tersebut kemudian berdampak kepada kehidupan sosial," paparnya.

Kedua, terkait bagaimana konteks hubungan Muhammadiyah dengan politik. Pengalaman Muhammadiyah secara historis, Muhammadiyah adalah gerakan yang kolaboratif dengan kekuasaan. Dalam banyak hal, Muhammadiyah bekerja sama dengan setiap penguasaan untuk mewujudkan dakwah yang berdampak luas kepada sesama. Kemampuan kolaborasi dan adaptasi inilah yang membuat Muhammadiyah terus besar dan secara konsisten memberikan dampak sosial kehidupan yang tak sedikit kepada masyarakat dan bangsa.
"Akhir-akhir ini politik tidak dijadikan sebagai fikih siasah, tapi sebagi akidah yang memandang benar dan salah. Di saudara kita yang lain, mereka memandang politik sebagai fikih, dan pandangan ini membuat mereka lebih fleksibel. Bahwa untuk menjadi pemenang, politik itu harus ditempatkan sebagai fikih, bukan akidah," tutupnya. (diko)


