Langit dan Kotak Suara

Publish

30 October 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
48
Sumber Foto: Pinterest

Sumber Foto: Pinterest

Langit dan Kotak Suara

Oleh: Suko Wahyudi

Di antara langit dan kotak suara, manusia menegosiasikan nasibnya. Di satu sisi, ia menatap ke atas—mencari petunjuk dari Tuhan, berharap arah dari wahyu. Di sisi lain, ia menunduk ke bumi, menorehkan tanda di selembar kertas, memilih siapa yang dianggap pantas mengatur hidup bersama. Di antara dua ruang itu—langit dan kotak suara—berjalanlah demokrasi: sistem yang percaya pada suara manusia, namun tak boleh kehilangan cahaya ilahi.

Demokrasi adalah anak dari kesadaran manusia akan kebebasan dan kesetaraan. Tapi, kebebasan dan kesetaraan tanpa nilai dapat menjelma menjadi kebingungan. Al-Qur’an datang untuk menuntun manusia agar kebebasan itu tidak berubah menjadi keangkuhan, dan kesetaraan tidak tergelincir menjadi anarki. Dalam firman-Nya, Allah menyeru manusia untuk bermusyawarah dalam urusan bersama, menegakkan keadilan, dan menolak kezaliman—nilai-nilai yang menjadi jiwa sejati demokrasi.

Namun dalam praktiknya, demokrasi sering terperangkap dalam ruang yang bising. Suara rakyat menggema di mana-mana, tapi gema itu kerap kehilangan arah. Politik menjadi arena perebutan kuasa, bukan pertemuan gagasan. Kotak suara menjadi tempat menuangkan emosi, bukan pertimbangan nurani. Maka, di tengah hiruk-pikuk itu, suara langit terdengar semakin lirih—tergeser oleh slogan, dikalahkan oleh retorika, dan kadang dilupakan oleh mereka yang memegang kuasa atas nama rakyat.

Kita hidup di masa ketika demokrasi sering kali lebih sibuk memuja dirinya sendiri ketimbang menegakkan nilai-nilai yang mendasarinya. Ia berbicara tentang kebebasan, tapi membiarkan kebohongan menjadi bahasa sehari-hari. Ia mengagungkan keadilan, tapi menutup mata terhadap ketimpangan sosial. Ia mengaku berpihak pada rakyat, tapi sering kali tunduk pada uang dan kepentingan. Maka pertanyaannya: di manakah cahaya langit dalam demokrasi yang seperti ini?

Al-Qur’an tidak memberi resep politik yang kaku. Ia tidak menuliskan sistem, tetapi menanamkan nilai. Ia berbicara tentang amanah, ‘adl (keadilan), syura (musyawarah), dan taqwā (ketakwaan). Keempat nilai itu menjadi jantung spiritual bagi setiap tatanan sosial. Tanpa amanah, kekuasaan menjadi alat penindasan. Tanpa keadilan, hukum kehilangan makna. Tanpa musyawarah, keputusan hanya jadi kehendak segelintir orang. Dan tanpa takwa, semua nilai itu tinggal teori yang kosong.

Demokrasi yang tercerabut dari etika Qur’ani akan kehilangan jiwanya. Ia bisa hidup secara prosedural, tapi mati secara moral. Ia memiliki mekanisme, tetapi kehilangan makna. Seperti tubuh yang masih bergerak tanpa roh. Dan disitulah tragedi modernitas politik kita: banyak yang memuja kebebasan, tetapi lupa tanggung jawab; banyak yang mengutip ayat, tapi menafsirnya demi kepentingan.

Ketika Al-Qur’an berbicara tentang keadilan, ia tidak hanya menuntut keadilan hukum, tetapi juga keadilan sosial dan moral. “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah penegak keadilan karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri,” (QS. An-Nisa’: 135). Ayat ini menegaskan bahwa keadilan bukan sekadar prinsip politik, tetapi panggilan nurani yang menembus batas partai, golongan, bahkan diri sendiri.

Namun hari ini, suara keadilan sering kalah oleh suara mayoritas yang mudah diarahkan. Demokrasi, dalam bentuknya yang paling dangkal, berubah menjadi panggung popularitas—bukan ajang kebijaksanaan. Rakyat didorong memilih bukan karena keyakinan, tetapi karena janji, citra, dan godaan sesaat. Dan di tengah sorak sorai itu, suara langit—suara hati nurani yang jernih—semakin sayup terdengar.

Al-Qur’an mengajarkan bahwa manusia adalah khalifah di bumi—pemegang amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Demokrasi, pada hakikatnya, memberi ruang agar amanah itu dijalankan bersama. Tetapi tanpa kesadaran spiritual, amanah berubah menjadi kesempatan, dan kekuasaan menjadi alat untuk memuaskan diri. Maka, tugas umat beriman adalah menjaga agar demokrasi tetap berjiwa: agar setiap suara yang lahir dari kotak suara bergetar dengan tanggung jawab moral kepada langit.

Kita boleh bangga dengan mekanisme demokrasi yang semakin mapan, dengan pemilu yang berjalan rutin, dengan kebebasan berbicara yang luas. Tapi di balik itu, kita harus bertanya: apakah demokrasi kita benar-benar membawa keadilan bagi yang lemah? Apakah kebebasan kita memperkuat akhlak atau justru mengikisnya? Apakah suara rakyat masih menjadi suara nurani, atau sekadar gema dari kepentingan yang lebih besar?

Langit dan kotak suara seharusnya tidak saling berjarak. Demokrasi tidak perlu takut pada wahyu, dan wahyu tidak menolak demokrasi. Yang perlu dihindari adalah ketika manusia menempatkan keduanya di dua ruang yang tak bersentuhan—ketika agama ditarik hanya ke wilayah privat, dan politik dibiarkan berjalan tanpa arah moral.

Masa depan demokrasi bukan ditentukan oleh seberapa sering rakyat memilih, tetapi oleh seberapa jujur mereka menggunakan kebebasannya. Demokrasi yang berjiwa Qur’ani bukanlah demokrasi yang menolak perbedaan, tetapi yang memuliakan perbedaan dengan adab. Ia bukan meniadakan kritik, tetapi menghidupkannya dengan etika. Ia bukan demokrasi yang bebas tanpa batas, tetapi kebebasan yang bertanggung jawab di bawah pandangan Tuhan.

Langit dan kotak suara tidak harus bertentangan. Di antara keduanya, manusia harus belajar menyeimbangkan iman dan akal, moral dan rasionalitas, nilai dan kepentingan. Sebab jika langit ditinggalkan, demokrasi kehilangan nuraninya; jika kotak suara diabaikan, iman kehilangan wujud sosialnya.

Dan pada akhirnya, tugas manusia hanyalah menjaga keseimbangan itu—agar suara dari bumi tetap berpijak pada cahaya dari langit. Sebab, tanpa cahaya itu, kotak suara hanya akan berisi tanda-tanda kehampaan, bukan pilihan yang bermakna. (hanan)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Drh. H. Baskoro Tri Caroko Bekerja adalah suatu keadaan yang diinginkan oleh semua orang. Kar....

Suara Muhammadiyah

13 November 2023

Wawasan

Revisi UU Polri, antara Legal Formal dan Substansi Hukum Oleh Sobirin Malian, Dosen FH UAD  D....

Suara Muhammadiyah

15 June 2024

Wawasan

Meningkatkan Kebermaknaan ‘Idul Adha Oleh: Mohammad Fakhrudin Bersyukurlah kita! Pada saat i....

Suara Muhammadiyah

31 May 2024

Wawasan

Prangko Amal Muhammadiyah: Wakaf Literasi Zaman Kolonial Oleh: Khafid Sirotudin Ada satu tayangan ....

Suara Muhammadiyah

7 March 2025

Wawasan

Sinematografi Kultumsinema: Sebuah Wakaf Literasi Oleh: Khafid Sirotudin Seniman dan budayawan ter....

Suara Muhammadiyah

18 March 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah