Oleh: Dr. Otong Sulaeman
Sejak Kiai Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah lebih dari seabad lalu, kita semua tahu bahwa pendidikan adalah urat nadi gerakan ini. Bagi beliau, sekolah bukan sekadar ruang belajar baca-tulis, melainkan wahana untuk melahirkan peradaban baru. Di ruang kelas itulah beliau mengajarkan tafsir al-Qur’an dan fiqh, tetapi pada saat yang sama juga membuka jendela bagi matematika, ilmu bumi, dan pengetahuan modern lainnya. Inilah warisan paling penting Muhammadiyah: keyakinan bahwa agama dan ilmu tidak boleh dipisahkan.
Paradigma integrasi ilmu yang menjadi ciri khas pendidikan Muhammadiyah sesungguhnya adalah gerbang peradaban. Melalui integrasi ini, Muhammadiyah menolak dikotomi sempit antara “ilmu agama” dan “ilmu umum”. Keduanya harus berjalan bersama, saling mengisi, dan saling memperkuat. Sebab tanpa ilmu agama, pendidikan kehilangan ruh dan arah; tetapi tanpa sains dan teknologi, umat Islam akan terus menjadi penonton dalam panggung besar sejarah. Integrasi ilmu adalah filosofi yang menjadikan Muhammadiyah berbeda sejak awal: sebuah ikhtiar menjadikan Islam tidak hanya bimbingan moral, tetapi juga kekuatan penggerak kemajuan zaman.
Namun harus kita akui dengan rendah hati, pekerjaan rumah kita masih besar. Di banyak sekolah dan universitas, semangat integrasi ilmu memang sudah tertulis dalam visi dan misi, tetapi dalam praktik sehari-hari masih terus membutuhkan penguatan. Mahasiswa ilmu-ilmu saintek, misalnya, kadang masih memandang agama hanya sebagai tambahan kecil dalam kurikulum. Di sisi lain, mahasiswa syariah belum sepenuhnya akrab dengan pendekatan ilmu sosial modern.
Tantangan serupa juga kita hadapi dalam pengembangan ilmu-ilmu humaniora, seperti psikologi Islam, yang masih sering terjebak pada pola eklektisisme: teori Barat diambil lalu ditempeli ayat atau hadis, tanpa membangun landasan ontologi dan epistemologi yang benar-benar berakar pada pandangan dunia Islam. Akibatnya, pemahaman tentang hakikat jiwa manusia masih sangat dipengaruhi kerangka Barat yang materialistis, sementara kosmologi spiritual Islam belum mendapat tempat semestinya.
Ilmu kedokteran pun menghadapi tantangan sejenis. Dalam pandangan Islam, profesi dokter sejatinya lahir dari panggilan agama yang luhur: menolong sesama manusia sebagai ibadah. Namun, dalam realitas hari ini, sebagian mahasiswa kedokteran lebih terdorong oleh motivasi ekonomi dan status sosial. Jika orientasi spiritual ini semakin melemah, maka pendidikan medis akan kehilangan dimensi etik yang menjadi ruhnya. Karena itu, perlu kiranya dirancang kurikulum kedokteran Muhammadiyah yang meneguhkan kembali etika Qur’ani dalam praktik medis. Dengan begitu, mahasiswa tidak hanya belajar menyembuhkan tubuh, tetapi juga menghayati profesinya sebagai jalan ibadah dan sarana meraih ridha Allah.
Di titik inilah kita perlu membuka cakrawala lebih luas. Muhammadiyah memiliki tradisi ijtihad dan tajdid yang panjang, selalu siap memperbarui langkah sesuai tuntutan zaman. Salah satu khazanah Islam yang patut kita renungkan adalah filsafat transenden Mulla Sadra, yang di tempat lain, seperti Iran, menjadi landasan filosofis penting bagi gerakan integrasi ilmu. Mulla Sadra mengajarkan bahwa realitas adalah satu kesatuan yang bergradasi, sehingga agama dan sains sesungguhnya adalah cabang-cabang dari pohon kebenaran yang sama. Tidak ada yang rendah, tidak ada yang profan; seluruh ilmu adalah jalan menuju Allah sejauh ia mengantarkan manusia pada kesempurnaan.
Dalam kerangka takhalluq bi akhlaqillah—meneladani sifat-sifat Allah dalam kehidupan—setiap disiplin ilmu sejatinya menjadi sarana memanifestasikan nama-nama Ilahi. Seorang dokter yang baik adalah perpanjangan dari sifat Allah Yang Maha Penyembuh (al-Syafi), seorang advokat adalah manifestasi dari sifat-Nya Yang Maha Penolong (al-Nashir), seorang ekonom adalah cerminan dari sifat-Nya Yang Maha Pemberi Rizki (al-Razzaq), dan seorang guru adalah pancaran dari sifat-Nya Yang Maha Mengetahui (al-‘Alim). Dengan demikian, penguasaan ilmu bukan semata keterampilan duniawi, melainkan bentuk aktualisasi akhlak ketuhanan dalam peradaban manusia.
Tentu saja, Muhammadiyah memiliki khazanah dan tradisinya sendiri yang kaya. Akan tetapi, membuka diri pada warisan filosofis seperti Sadra bisa memperkaya percakapan kita, memberi alternatif kerangka berpikir yang kokoh, dan meneguhkan komitmen Muhammadiyah dalam membangun integrasi ilmu yang hidup.
Masa depan integrasi ilmu Muhammadiyah adalah masa depan peradaban Islam itu sendiri. Kita tidak cukup hanya mendirikan ribuan sekolah dan ratusan universitas; kita perlu memastikan bahwa di dalamnya tumbuh budaya ilmu yang sejati. Budaya yang membuat mahasiswa teknik merasakan nilai etika Islam dalam teknologi yang mereka kembangkan, dan mahasiswa tafsir mampu membaca tanda-tanda Allah yang hadir dalam fenomena sosial maupun ekologi. Inilah wajah integrasi ilmu yang seharusnya kita perjuangkan: perjumpaan yang hidup antara iman dan akal, antara wahyu dan realitas.
Muhammadiyah telah melampaui satu abad sejarahnya, dan tantangan abad kedua semakin kompleks. Namun, jika semangat integrasi ilmu ini terus dihidupkan, Muhammadiyah berpeluang tampil sebagai lokomotif lahirnya peradaban Islam berkemajuan yang memberi rahmat bagi semesta. Inilah arti sejati gerakan kita bersama: Islam yang tercerahkan, Islam yang mencerdaskan, dan Islam yang memimpin dunia dengan ilmu dan akhlak. Inilah juga ekspektasi abadi kaum Muslimin Indonesia terhadap kiprah agung Muhammadiyah.
Otong Sulaeman, Ketua STAI Sadra