Masjid Baitul Mukhlisin Ponorogo: Dari Ranting untuk Ummat
Di Kampung Nologaten, Ponorogo, berdiri sebuah masjid dua lantai yang juga rumah bagi beragam aktivitas sosial, ekonomi, dan spiritual. Masjid Baitul Mukhlisin milik Pimpinan Ranting Muhammadiyah Nologaten telah menjadi poros kehidupan warga sejak pertama kali didirikan pada tahun 1969. Kini, di usia lebih dari setengah abad, semangat tajdid atau pembaruan yang diwarisi dari Muhammadiyah terus berdenyut di setiap sudutnya.
Bangunan seluas 750 meter persegi itu menampung sekitar 300 jamaah. Lantai pertamanya menjadi ruang utama untuk ibadah, lengkap dengan serambi, dapur, ruang tamu, dan kantor kecil yang hangat menyambut tamu. Di sisi lain, berdiri ruang produksi air minum “AIRKU”, salah satu amal usaha kebanggaan masjid. Tak jauh dari situ, sebuah klinik kesehatan sederhana hadir melayani masyarakat sekitar. AC, wifi, dan LCD tak hanya menunjukkan modernitas fasilitas, tetapi juga bagaimana masjid ini merangkul jamaah muda yang hidup di era digital.
Lantai dua menjadi pusat kegiatan lain: tempat shalat Jumat, ruang media sosial, ruang rapat, dan perpustakaan kecil yang menghidupkan tradisi literasi. Bahkan musafir pun dapat beristirahat di ruang khusus yang disediakan dengan ramah. Semua berjalan di bawah budaya kerja takmir yang dikenal dengan semboyan “RCTI”—Ramah, Cepat, Tuntas, dan Ikhlas.
Masjid ini tak hanya sibuk saat azan berkumandang. Hampir setiap hari ada kegiatan yang menghidupkan suasana. Dari pengajian malam Ahad, ngaji Al-Kahfi setiap malam Jumat, hingga program “Jumat Berkah” yang menyajikan prasmanan bagi jamaah dan masyarakat sekitar. Tradisi ngopi bareng di Rabu Subuh menghadirkan nuansa keakraban antarwarga, seolah masjid ini menjadi ruang sosial yang hangat dan terbuka.
Namun, denyut kehidupan Baitul Mukhlisin tidak berhenti di bidang ibadah. Melalui gerakan ekonomi umat, mereka mendirikan Baitul Mukhlisin Sejahtera Mart (BMS Mart) dan unit produksi air minum “AIRKU” berbasis reverse osmosis. Hasilnya bukan hanya menumbuhkan kemandirian finansial masjid, tapi juga membuka lapangan kerja bagi warga sekitar. Setiap dua minggu sekali, masjid ini menggelar bazar UMKM dalam program “Gerakan Subuh Belanja”, menghadirkan suasana ekonomi yang menggeliat sejak pagi buta.
Kreativitas jamaah terus mengalir. Ada joging club dan senam STI yang memperkuat ukhuwah sekaligus menumbuhkan gaya hidup sehat. Program PAS (Pendidikan Anak Sholeh) dan kajian parenting memperlihatkan kepedulian terhadap generasi muda. Saat Ramadan, suasana semakin hidup dengan kegiatan tadarus, santunan, dan buka bersama yang melibatkan semua lapisan masyarakat.
Dari segi pendanaan, masjid ini memiliki model yang mandiri. Selain dari kotak amal dan donatur tetap, sumber dana juga datang dari amal usaha masjid seperti toko, unit air minum, dan berbagai kerja sama dengan warga. Bahkan wifi, terop, dan kursi yang digunakan jamaah merupakan hasil donasi kreatif dari mitra lokal.
Masjid Baitul Mukhlisin kini menjadi contoh bagaimana tempat ibadah mampu bertransformasi menjadi pusat pemberdayaan. Di bawah kepemimpinan takmir yang solid dan semangat gotong royong jamaah, masjid ini membuktikan bahwa dakwah tidak harus kaku. Ia bisa hadir dalam bentuk senyum pelayan toko, botol air minum yang menyejukkan, hingga langkah-langkah kecil anak-anak yang berlari riang menuju pengajian sore.
Bagi masyarakat Nologaten, masjid bukan hanya ruang ibadah. Ia adalah simbol kebersamaan, kemandirian, dan keikhlasan. Di sinilah Islam hadir bukan hanya dalam bentuk ritual, tetapi juga dalam kerja nyata yang menghidupkan ekonomi, menyehatkan jasmani, dan menumbuhkan akhlak. Baitul Mukhlisin benar-benar menjadi rumah bagi mereka yang ingin memaknai ibadah sebagai jalan menuju kemajuan bersama, dengan hati yang ramah, kerja yang cepat, hasil yang tuntas, dan niat yang ikhlas.


