Mengapa Aturan Islam Terasa Banyak? (Bagian 1)
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Topik kita hari ini sungguh menarik dan penting: Mengapa Islam seringkali dianggap memiliki segudang aturan? Jawabannya sederhana: Islam hadir sebagai sistem kehidupan yang utuh dan menyeluruh. Berbeda dengan tradisi agama lain di mana hukum negara dan hukum agama seringkali dipisahkan - atau bahkan dibenturkan - di era Islam klasik, semua aturan, baik yang mengatur masyarakat, negara, maupun kehidupan spiritual individu, melebur menjadi satu payung hukum yang tunggal. Tidak ada dikotomi.
Fakta ini bukanlah hal baru. Jika kita menengok ke dalam Perjanjian Lama dalam Alkitab Kristen - yang dikenal sebagai Tanak bagi umat Yahudi - kita akan menemukan kombinasi serupa. Taurat adalah bukti bahwa hukum Tuhan tidak hanya berbicara tentang ritual pribadi. Di dalamnya terdapat regulasi rinci mulai dari tata cara pelaksanaan hukuman mati oleh negara, aturan kepemilikan tanah, hingga hal-hal detail seperti cara membersihkan rumah dari jamur. Jelas, ini adalah kumpulan hukum yang benar-benar mencakup seluruh aspek kehidupan.
Bahkan para sarjana Yahudi telah memperluasnya. Rabi Musa Maimonides pada Abad Pertengahan, misalnya, mencatat total 613 Perintah. Rinciannya: 365 adalah larangan (apa yang tidak boleh dilakukan), dan 248 adalah anjuran (apa yang wajib dilakukan). Dengan kata lain, Islam bukan satu-satunya tradisi yang mengatur secara detail.
Banyak umat Kristen hanya mengenal Sepuluh Perintah dalam Perjanjian Lama, padahal seperti yang kita lihat, para ahli telah menghitung hingga 613 perintah. Ini menunjukkan bahwa jika Kekristenan tetap menjadi agama negara seperti awalnya, sangat mungkin ia akan mengembangkan sistem hukum yang menyeluruh, serupa dengan yang ada dalam Alkitab, yang mengatur setiap sisi kehidupan manusia.
Namun, di sinilah Islam mengambil jalan yang berbeda. Islam tetap mempertahankan pandangan tentang sistem hukum yang terintegrasi ini. Seiring berjalannya waktu, Kekristenan berada di bawah dominasi kekuatan eksternal. Contoh paling jelas adalah ketika berada di bawah Kekuasaan Romawi. Akibatnya, yang berkuasa adalah Hukum Romawi, bukan hukum kitab suci. Umat Kristen lantas berpegangan pada ajaran Alkitab hanya untuk urusan pribadi dan spiritual. Sementara itu, ranah publik dan kemasyarakatan diatur oleh hukum sekuler. Inilah kondisi yang masih kita saksikan hingga kini di banyak belahan dunia, bahkan di negara-negara mayoritas Kristen.
Sekarang, mari kita kembali ke awal mula Islam, 1400 tahun yang lalu. Di masa itu, konsep hukum modern belum eksis. Islam datang dan harus membangun kerangka hukum dari nol. Dengan cerdas, Al-Qur'an mengambil norma-norma sosial yang sudah ada dan mengintegrasikannya menjadi sebuah sistem yang utuh dan komprehensif di bawah bimbingan ilahi.
Sistem hukum Al-Qur'an mencakup segalanya. Pertama, hukum politik: Mengatur hubungan antar kelompok atau entitas politik (cikal bakal negara-bangsa). Kedua, hukum sosial dan keluarga: Menentukan bagaimana masyarakat harus berfungsi, bagaimana garis hukum keluarga (pernikahan, perceraian) ditetapkan. Ketiga, hukum pribadi. Pedoman bagi individu untuk mengatur diri mereka sendiri demi keridaan Tuhan, demi manfaat terbesar bagi sesama manusia, dan demi menghindari kerugian.
Di dunia modern, semua aspek yang saya sebutkan di atas (politik, sosial, keluarga, pribadi) memang diatur oleh hukum, tetapi hukum tersebut dilabeli "hukum negara" atau "hukum sekuler," bukan "hukum agama." Namun, faktanya tetap sama: setiap masyarakat membutuhkan hukum.
Tanpa aturan yang jelas, bagaimana kita bisa berfungsi? Bagaimana saya bisa tahu batas hak milik atau properti tetangga? Di mana seharusnya pagar saya berdiri? Hukum, baik sekuler maupun agama, adalah fondasi yang mutlak diperlukan untuk tatanan sosial. Hukum harus ada. Dalam pandangan Islam, hukum ini idealnya harus bersumber dari pencipta kita, Tuhan.
Dalam pemahaman Islam, ada satu prinsip dasar yang harus kita pegang: Hukum sepenuhnya adalah milik Tuhan. Karena Dia adalah Pencipta kita, hanya Dia-lah yang berhak menetapkan batasan dan pedoman hidup. Jadi, ketika kita mendengar ada larangan, itu adalah otoritas ilahi yang sedang berbicara, membatasi tindakan kita demi kebaikan yang lebih besar.
Poin penting yang sering terlewat adalah: Tujuan dari semua hukum Islam, tanpa kecuali, adalah demi kemaslahatan publik dan manfaat setiap individu. Tuhan tidak mengambil untung sedikit pun dari ketaatan kita, atau kerugian sedikit pun dari dosa kita. Tuhan tidak membutuhkan ibadah kita atau dijauhi dari kejahatan. Sebaliknya, kita-lah yang menuai manfaat saat kita beribadah dan menjauhi keburukan. Hukum-hukum ini adalah anugerah, bukan beban.
Para sarjana Muslim telah mengkaji dan menyimpulkan bahwa hukum Islam memiliki lima tujuan fundamental yang menjadi inti dan semangatnya, dikenal sebagai Maqasid Syariah (Tujuan Syariah)
1. Pemeliharaan Kehidupan (Hifzh al-Nafs)
2. Pemeliharaan Akal (Hifzh al-'Aql)
3. Pemeliharaan Agama (Hifzh al-Din)
4. Pemeliharaan Properti/Harta (Hifzh al-Mal)
5. Pemeliharaan Kehormatan/Keturunan (Hifzh al-Nasl).
(Vivi)
 
                             
                                    

 
                                    
