Oleh: Tito Yuwono, PhD, Dosen Jurusan Teknik Elektro-Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Pengurus Korps Muballigh Muhammadiyah (KMM) DIY, Sekretaris Majelis Dikdasmen PCM Ngaglik, Sleman
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Ke tanah suci, mensucikan hati
Menegakkan kewajiban dari Ilahi
Berbekal taqwa disertai tawakal
Bagi orang yang berakal
Seluruh wajib dan rukun telah dijalani
Dengan sepenuh hati
Tanpa rasa berat
Taat
Walaupun badan terasa lelah
Kaki ringan melangkah
Jiwa pasrah
Berserah
Kini saatnya kembali
Menuju ibu pertiwi
Bagi hati, kota suci
Tetap berseri
Semoga keikhlasan sentiasa terjaga
Semangat ibadah tak jauh beda
Akhlaq bercahaya
Sampai kembali kepada-Nya
Jamaah haji kloter-kloter awal sudah mulai kembali ke tanah air. Ibadah yang cukup berat sekaligus merupakan Rukun Islam yang ke-5 telah dilalui. Mulai dari menjaga pantangan-pantangan ihram, wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, dan kembali ke Mina untuk tinggal beberapa hari. Berjalan beberapa KM ke Jamarat untuk melempar jumroh serta tawaf baik ifadhoh maupun wada’. Kesemuanya memerlukan tenaga, fisik dan mental. Lelah, harap, pasrah kepada Allah Ta’ala. Maka tidak mengherankan jika pengalaman spiritual ini menjadi sesuatu yang sangat berkesan mendalam.
Demikian mendalamnya pengalaman spiritual para jamaah ini perlu dijaga. Jangan sampai futur di tengah jalan dan tidak lagi semangat ibadah disebabkan keadaan lingkungan. Karena memang iman seseorang terkadang naik dan terkadang turun. Ketika iman sedang naik, terasa nikmatnya beramal shalih. Sebaliknya ketika iman sedang turun, akan sangat berat beramal kebaikan. Pada tulisan kali ini akan disampaikan ikhtiar-ikhtiar agar para jamaah haji menjaga istiqomah setelah pulang dari tanah haram kembali ke tanah air.
Menjaga niat ikhlas
Niat merupakan salah satu syarat diterimanya amal ibadah. Dan seseorang mendapatkan apa yang dia niatkan. Dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ
Artinya: “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Dalam konteks ibadah haji, penjagaan niat ini dimulai sebelum melakukan ibadah haji, ketika melakukan ibadah haji dan setelah ibadah haji. Saat ini, para jamaah telah selesai melaksanakan ibadah haji. Niat ikhlas harus tetap dijaga. Contoh hal-hal yang akan mengurangi kesempurnaan niat kita adalah sukanya kita menceritakan haji kita dalam rangka dipuji orang lain. Juga perasaan sedih dan geram ketika nama kita tidak disebut ataupun ditambah dengan gelar H(Haji).
Ini merupakan tanda niat kita masih perlu dievaluasi. Maka jika tidak terpaksa dan tidak berfaedah, tidak perlu kita bercerita ataupun mengabarkan kita telah berhaji. Ini salah satu ikhtiar untuk menjaga keikhlasan kita. Namun jika kita bisa menjaga niat, dengan bercerita pengalaman haji, akan menjadi motivasi dan pelajaran bagi yang lain, ini merupakan sesuatu yang bermanfaat dan berpahala.
Menjaga konsistensi ibadah
Dalam proses ibadah haji sekitar 40 hari tinggal di tanah suci tentu banyak ibadah-ibadah yang telah dilakukan dengan disertai kekhusyukan jiwa. Kebiasaan dan semangat sewaktu di tanah suci hendaknya tetap terjaga di tanah air. Menegakkan sholat tepat waktu dan jamaah 5 waktu ke masjid bagi laki-laki, tilawah Quran, membiasakan zikir pagi dan petang, juga sholat dan puasa sunnah.
Ketika hati sudah mulai malas, keimanan menurun, jiwa mulai kering, maka segera beristighfar dan kembali memaksakan diri untuk konsisten dalam ibadah. Untuk menjaga konsistensi dalam ibadah ini ada resep dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam, yaitu dilakukan secara rutin walaupun terlihat sedikit atau ringan. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
Artinya: ”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” (HR Imam Bukhori dan Imam Muslim)
Ketika badan kita merasakan ringannya ibadah, maka akan menjadikan kita semangat beribadah. Tidak cepat jenuh dan tidak berat hati.
Menjaga akhlaq
Jamaah haji telah ditempa dengan ritual ibadah yang tidak ringan. Di tanah suci merasakan betapa lemahnya seorang hamba. Hal ini kan menjadikan hati lembut, rendah hati dan tidak sombong. Maka sifat-sifat ini terus dibawa setelah pulang. Ujian di masyarakat adalah ketika titel haji menjadi titel status sosial akan menjadi godaan tersendiri. Munculnya sifat sombong ataupun takabur dan merendahkan orang lain yang belum haji.
Allah Ta’ala melarang sifat ini, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala dalam Quran Surat Luqman ayat 18:
وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي اللأَرْضِ مَرَحاً إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ
Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman:18)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Artinya: “Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain” (HR Imam Muslim).
Juga nilai kesabaran yang telah ditempa saat ibadah haji terus melekat dalam diri. Jangan setelah menunaikan ibadah haji malah mudah marah dan mudah emosi. Ketika sifat hilm (tenang, tidak mudah emosi, lemah lembut) dan sifat anah (tenang, tidak tergesa-gesa) melekat pada diri akan berdampak pada ketenangan jiwa. Ini merupakan dua sifat yang dicintai Allah Ta’ala.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
إِنَّ فِيْكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالأَنَاةُ
Artinya: "Sesungguhnya padamu ada dua sifat yang disukai Allah: sifat al-hilm (tenang, lemah lembut, sabar) dan al-anah (tenang dan tidak tergesa-gesa)." (HR. Imam Muslim)
Salah satu pantangan ihram adalah menjaga lisan baik tidak berkata kotor maupun jidal/debat. Maka sepulang haji lesan kita jaga dari hal-hal yang dilarang, seperti berkata kotor, ghibah, namimah dan lain-lain.
Meningkatkan kepedulian sosial
Semasa menjalankan haji bersama-sama, tentu sudah dibiasakan saling tolong menolong, empati dan berbuat baik kepada orang lain. Maka kepedulian sosial yang sudah terasah ini diimplementasikan di tanah air. Berusaha aktif dalam kegiatan dakwah dan sosial di masyarakat. Menjadi orang yang lebih bermanfaat ditengah-tengah masyarakat.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain” (HR. Imam Ahmad)
Mengikuti majelis ta’lim
Mengikuti majelis ta’lim akan dapat meningkatkan keistiqomahan seseorang. Dalam majelis ta’lim, selain ilmu kita bertambah juga kita terus diingatkan dan diberi motivasi untuk meningkatkan amal. Lingkungan majelis ta’lim juga sangat mendukung untuk peningkatan ketaatan kita kepada Allah Ta’ala, Saat hati kurang semangat, maka obatnya adalah datang ke majelis ilmu, insyaa Allah akan menjadi obat mujarab. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam yang mulia memberikan motivasi berkaitan dengan datangnya seseorang ke majelis ilmu, akan dimudahkan masuk surga.
Beliau Bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
Artinya: “Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Imam Muslim)
Demikian, tulisan ringan berkaitan menjaga istiqomah pasca ibadah haji. Semoga saudara kita yang telah selesai menunaikan ibadah haji diberikan kesehatan dan keselamatan sampai tanah air kembali.