Menyelamatkan Krisis Kehidupan Semesta

Publish

2 May 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
110
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Menyelamatkan Krisis Kehidupan Semesta

Oleh: Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si.

Muhammadiyah dalam Milad ke-111 tanggal 18 November 2023 mengusung tema “Ikhtiar Menyelamatkan Semesta”. Momentum Milad mengangkat tema kesemestaan ini sangatlah relevan karena dalam ranah kehidupan terdapat berbagai peristiwa mengerikan seperti Perang Rusia dan Ukraina, serta yang paling ganas agresi Israel yang tiada henti yang telah melenyapkan ribuan nyawa bangsa Palestina sekaligus menunjukkan kedigdayaannya dalam mengobarkan perang dan genosida.

Bersamaan dengan Milad diselenggarakan pula forum internasional “Global Forum for Climate Movement: Promoting Green Culture and Cooperation“ di Kampus Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta kerjasama PP Muhammadiyah dengan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Peserta forum dari berbagai perwakilan negara untuk mencari solusi dalam menghadapi perubahan dan krisis iklim demi penyelamatan masa depan umat manusia dan alam semesta. Forum ini lahir gerakan aksi bersama untuk menanggulangi dampak buruk perubahan iklim serta menbangun ekosistem baru yang menjamin keselamatan hidup umat manusia di alam semesta.

Kedua dimensi tersebut yakni agresi, perang, dan genosida di satu pihak serta perubahan iklim dengan segala dampaknya di pihak lain yang sama-sama berpengaruh dahsyat terhadap ekosistem membuktikan adanya krisis kehidupan semesta yang harus diselamatkan jika seluruh umat manusia ingin hidup di masa depan. Muhammadiyah sangat prihatin sekaligus menempuh segala ikhtiar sebagai solusi atas krisis kehidupan semesta tersebut.

Krisis Ekosistem

Perubahan iklim adalah masalah bersama yang dihadapi seluruh umat manusia dan bangsa-bangsa di dunia. Saat ini dunia mengalami krisis ekosistem akibat perubahan iklim, yang berdampak luas bagi kehidupan semesta. Karenanya diperlukan usaha dan gerakan bersama untuk menghadapi dan mencari solusi yang masif di tingkat global demi menjamin masa depan eksistensi manusia dan lingkungannya.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa, Antonio Guterres, menyampaikan keprihatinan tentang ancaman perubahan iklim terhadap peradaban baru umat manusia di alam semesta. Bumi saat ini tidak sekadar mengalami “global warming” (pemanasan global), namun telah sampai pada kondisi “global boiling” (pendidihan global). Suhu bumi terus meningkat secara ekstrem tanpa dapat dihentikan. Sementara itu usaha bangsa-bangsa untuk mengurangi emisi gas rumah kaca belum sepenuhnya menjadi kesadaran global yang meluas.

Peringatan Antonio Guterres tersebut memperkuat bukti hasil penelitian para ilmuwan dunia sejak tahun 2021, bahwa pemanasan global telah menjadi penyebab krisis iklim yang parah. Dampak yang paling mengerikan ke depan ialah, krisis iklim ini berisiko tinggi yang tidak dapat dikendalikan karena telah mencapai titik kritis yang disebut “red code for humanity” (kode merah untuk kemanusiaan). Kondisi buruk tersebut mengancam peradaban umat manusia di alam semesta.

Perubahan dan krisis iklim yang masif membawa kehidupan pada fenomena “The Unhabitable Earth”. Yakni kisah kehidupan tentang masa depan bumi yang tidak dapat lagi dihuni. Padahal bumi satu-satunya tempat tinggal yang nyaman bagi manusia dan seluruh makhluk hidup lainnya. Krisis perubahan iklim yang terjadi lebih total dan luas ketimbangan ancaman bom nuklir. Berbagai bencana alam yang tidak alami terjadi di mana-mana. Badai, kelaparan, laut yang sekarat, udara yang tidak dapat dihirup, wabah akibat pemanasan, ambruknya ekonomi, dan konflik akibat iklim semuanya terkait dengan perubahan iklim global. Kehidupan ekosistem akibat krisis iklim berada diambang kepunahan menyerupai kiamat. Manusia tidak lagi dapat memilih planet karena inilah tempat satu-satunya di alam semesta yang dapat disebut sebagai rumah (David Wallace-Wells, 2019).

Menurut Muhammadiyah (2015), dampak perubahan iklim sangatlah masif. Akibat perubahan iklim terjadi kepunahan ekosistem dan makhluk hidup, serta menenggelamkan pulau-pulau kecil. Beberapa negara kepulauan terancam tenggelam dan kehilangan pulau-pulau di perbatasan. Berubahnya peta dunia dan hilangnya sebagian wilayah teritorial negara dapat menimbulkan krisis politik dunia, terutama yang terkait langsung dengan kedaulatan wilayah negara.

Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam yang berkemajuan berperan aktif dalam merespon  perubahan iklim dan krisis ekosistem global. Menghadapi masalah global ini diperlukan aksi nyata secara bersama-sama dan berkelanjutan untuk mengurangi dampak pemanasan global melalui usaha-usaha penghijauan hutan, merubah gaya hidup yang boros energi, membersihkan polusi, membangun infrastruktur fisik yang ramah lingkungan, mengurangi penggunaan kertas dengan penghematan, daur ulang, dan meminimalkan penggunaan kertas melalui budaya paperless, dan langkah-langkah nyata lainnya (PP Muhammadiyah, 2015).

Krisis Kemanusiaan

Krisis iklim dan lingkungan maupun problem kemanusiaan semesta secara umum tidak lepas dari paradigma kapitalisme, ideologi liberalisme, dan pandangan hidup sekularisme global. Kapitalisme global mengejar keuntungan uang dan investasi optimum yang melahirkan kerakusan manusia dan sistem tanpa batas. Ideologi liberalisme yang berhimpitan dengan  sekularisme semata-mata meletakkan dunia pada paradigma antroposentrisme yang menihilkan Tuhan, agama, dan nilai-nilai etik yang luhur dalam kehidupan semesta.

Antroposentrisme terkait dengan pandangan hidup manusia modern di era antroposen. Anthropocence adalah kala yang bermula ketika aktivitas manusia memiliki pengaruh global terhadap ekosistem  bumi dan semesta raya. Manusia mengeksploitasi alam dengan seluruh ekosistemnya secara rakus yang menyebabkan kehidupan semesta rusak secara sistemik. Pada era mitis manusia menyatu dengan alam, pada masa ontologis manusia berjarak dengan alam, di era fungsional manusia mengeksploitasi alam (Van Perseun, 2007). Manusia, alam, dan seluruh isinya hanya menjadi objek penderita dari alam pikiran antroposentrisme yang sekular, liberal, dan kapitalistik.

Kini umat manusia hidup di era New-Antrhopocence yang kekuasaannya ditopang penuh teknologi baru yang canggih. Manusia menurut Yuval Noah Harari (2016) menjelma menjadi Homo Deus. Yakni manusia dewa yang sangat digdaya dengan kemampuan teknologi Artificial Intelegence (AI) dan revolusi genetika. Melalui  teknologi super canggih itu konon manusia mampu merekayasa usia sampai 500 tahun dan siap menghuni planet Mars. Boleh jadi di era baru itu manusia makin superpower di alam semesta dengan kerakusan dan daya rusak yang makin dahsyat.

 Akibat kerakusan, kebebasan, kekuasaan, dan daya eksplorasi tanpa batas yang antroposentris itu maka lahirlah prahara kehidupan semesta menyerupai kiamat. Di sinilah kegagalan dan jalan buntu dunia antroposen di era modern abad ke-21. Karenanya krisis iklim tidak cukup diselesaikan dengan langkah-langkah kebijakan politik, ekonomi, dan lainnya secara parsial. Masalah global ini memerlukan rekonstruksi pandangan hidup manusia dalam mendiami dan memperlakukan alam semesta dengan seluruh ekosistemnya.

Krisis iklim dan kehidupan semesta pada dimensi metafisika menjadi masalah dan tantangan filosofis. Yaitu, bagaimana manusia menyadari dan mengerti bahwa peradaban semesta diambang kematian. Pemikiran ini menggambarkan peralihan pemikiran menuju kiamat baik secara harfiah berupa berakhirnya kehidupan maupun dalam konteks profan berupa “kiamat” budaya, politik, dan etika kehidupan manusia. Pilihan alternatif sebagai solusi metafisika masih terbuka, yakni seluruh bangsa-bangsa atau umat manusia melakukan perenungan atau refleksi fundamental menghadapi pergulatan manusia di muka bumi menuju ke arah sebaliknya, yakni “penyelamatan semesta” (Roy Scranton, 2016).

Pemikiran metafisika yang bersifat reflektif atas krisis iklim dan  kehidupan manusia yang berada dalam “kode merah” dan “ancaman kepunahan” saat ini meniscayakan manusia  merenungkan kembali  peringatan Allah dalam Al-Quran yang artinya, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS. Ar-Rum: 41). Allah juga  mengkritik ironi perilaku manusia, mereka “membangun tetapi sejatinya merusak” sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran yang artinya, “Dan bila dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi’. Mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan’. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadarinya.” (QS. Al-Baqarah: 11-12).

Karenanya menghadapi krisis kemanusiaan dan krisis iklim dengan segala akibatnya yang merusak itu diperlukan rekonstruksi pemikiran yang bersifat  profetik dalam perspektif teo-antroposentrik. Yakni menghadirkan pandangan keislaman yang mencerahkan dan memajukan kehidupan yang Rahmatan lil-‘alamin. Bagaimana manusia  membangun kehidupan di alam semesta yang menyelamatkan dan tidak menghancurkan dalam “maqashid asy-syari’ah”  (tujuan syariat) yang holistik. Yaitu  Ajaran Islam untuk menjaga  jiwa (hifdz al-nafs), menjaga keturunan (hifdz al-nasl), menjaga harta (hifdz al-mal), menjaga akal (hifdz aql), menjaga agama (hifdz al-din), serta menjaga alam semesta (hifdz al’alam). Penyelamatan kehidupan manusia dan makhluk Tuhan di alam semesta dengan seluruh ekosistemnya merupakan dimensi penting dari tujuan syariat Islam. Eksistensi manusia di era antroponsen dalam perspektif Islam meniscayakan kewajiban dan tugas manusia sebagai “khalifat fil-ardl” (khalifah di muka bumi) untuk memakmurkan bumi dan tidak merusaknya (QS Hud: 61).

Karenanya suatu paradigma baru yang ditawarkan oleh Muhammadiyah kepada dunia adalah “membangun  yang menyelamatkan kehidupan” (al-islah al-salamat), “membangun yang membawa kemanfaatan” (al-islah al-mufidah), dan “membangun yang membawa kemaslahatan” (al-islah al-maslahat). Bukan paradigma “membangun yang merusak” (al-islah al-fasadat). Seluruh dimensi kehidupan umat manusia dan ekosistemnya mesti dibangun dan diselamatkan dari segala bentuk kerusakan dan pengrusakan menuju peradaban semesta yang Rahmatan Lil-‘Alamin.

Sumber: Majalah SM Edisi 1 Tahun 2024


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Editorial

PENDIDIKAN ANAK DI USIA EMAS Cerita tentang Pendidikan Anak Usia Dini di Jepang kerap membuat kita ....

Suara Muhammadiyah

7 November 2023

Editorial

Masalah dan Tantangan Tabligh Muhammadiyah Oleh Prof DR H Haedar Nashir, M.Si. Majelis tabligh mer....

Suara Muhammadiyah

18 January 2025

Editorial

Buya Hamka: Nasionalisme dan Sedikit Cerita, Wawancara Abdul Hadi Hamka (Cucu Buya Hamka, Penul....

Suara Muhammadiyah

16 April 2024

Editorial

CERDAS DI MEDIA PUBLIK Beberapa minggu terakhir media sosial di tanah air diramaikan dengan ulah &l....

Suara Muhammadiyah

2 October 2024

Editorial

Keluasan Ajaran Islam Oleh Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si Akhir-akhir ini ada kecenderungan berisla....

Suara Muhammadiyah

9 December 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah