Milad ke-113 Muhammadiyah yang Berkemajuan

Publish

28 October 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
152
Istimewa

Istimewa

Milad ke-113 Muhammadiyah yang Berkemajuan

Oleh: Sukron Abdilah, Peneliti Pusat Studi Media Digital Universitas Muhammadiyah Bandung

Setiap kali Muhammadiyah merayakan miladnya, kita tidak sekadar mengenang perjalanan panjang organisasi ini, tetapi juga menegaskan kembali makna “berkemajuan” yang menjadi napas geraknya. 

Pada usia ke-113 tahun, semangat berkemajuan Muhammadiyah menemukan relevansinya di tengah perubahan zaman yang serba cepat dan tantangan baru yang terus bermunculan. Usia 113 tahun bukan sekadar angka panjang. Ia adalah tanda kedewasaan gerakan. Tantangan ke depan semakin kompleks—disrupsi teknologi, krisis lingkungan, hingga degradasi moral. 

Semangat berkemajuan harus diterjemahkan dalam praksis yang nyata: riset yang solutif, ekonomi umat yang berdaya saing, serta pendidikan yang membentuk generasi berkarakter dan berwawasan global. Di titik inilah Muhammadiyah dapat terus menjadi pemandu arah bagi bangsa, sebagaimana api pembaruan yang tak pernah padam sejak Kiai Ahmad Dahlan menyalakannya lebih dari satu abad lalu.

Kota Bandung memiliki posisi istimewa dalam sejarah panjang perjalanan Muhammadiyah. Selain dikenal sebagai kota pendidikan dan pusat pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, Bandung juga pernah menjadi tuan rumah Muktamar Muhammadiyah—perhelatan tertinggi organisasi yang menjadi ajang refleksi, konsolidasi, dan pembaruan gerakan.

Bandung, Kota Berkemajuan

Kota Bandung, dengan sejarah intelektual dan semangat pembaruannya, menjadi cermin yang menarik untuk merefleksikan makna itu. Bandung bukan sekadar kota dengan pemandangan yang menawan. Ia adalah ruang ide, tempat gagasan modernisme tumbuh dan berkembang. Sejak masa kolonial, Bandung dikenal sebagai pusat pendidikan, sains, dan gerakan sosial. Dari kota inilah banyak tokoh Muhammadiyah menimba ilmu, berdiskusi, dan kemudian kembali mengabdi pada masyarakat.

Kehadiran perguruan tinggi Muhammadiyah di Bandung—seperti Universitas Muhammadiyah Bandung—merupakan wujud konkret dari cita-cita pembaruan pendidikan yang rasional, terbuka, dan berakar pada nilai keislaman. Semangat berkemajuan itu terlihat dalam upaya memadukan antara iman dan ilmu, antara etika dan inovasi. 

“Islam berkemajuan” bukan jargon kosong. Ia menuntut umat untuk berpikir kritis, berbuat nyata, dan menatap masa depan dengan optimisme berbasis ilmu. Dalam konteks Bandung—kota kreatif dengan ekosistem teknologi yang berkembang—etos ini menemukan lahan subur. Muhammadiyah di Bandung tidak hanya hadir melalui lembaga pendidikan, tetapi juga lewat kegiatan sosial, filantropi, hingga dakwah digital yang responsif terhadap kebutuhan zaman.

Gerakan ini menunjukkan bahwa berkemajuan berarti adaptif terhadap perubahan tanpa kehilangan akar moral dan spiritual. Di tengah derasnya arus globalisasi, Muhammadiyah tetap menjaga orientasinya: memajukan peradaban manusia yang berkeadilan, berpengetahuan, dan berkeadaban. Bandung, sebagai kota muda dan dinamis, membutuhkan peran organisasi seperti Muhammadiyah untuk terus menghidupkan nalar kritis dan etika sosial di tengah masyarakat urban.

Muktamar ke-47 Tahun 1968

Salah satu momen penting adalah Muktamar Muhammadiyah ke-37 (menurut penomoran lama, kini dikenal sebagai Muktamar ke-47 berdasarkan perhitungan sesungguhnya), yang diselenggarakan di Bandung pada tahun 1968. Muktamar ini menjadi tonggak penting karena berlangsung dalam masa transisi politik nasional pasca-1965, saat Indonesia memasuki era Orde Baru.

Di tengah perubahan sosial-politik tersebut, Muhammadiyah berupaya menegaskan kembali jati dirinya sebagai gerakan Islam yang berorientasi pada pencerahan dan kemajuan. Bandung, dengan atmosfer akademik dan semangat rasionalitasnya, menjadi tempat yang tepat untuk merumuskan arah baru organisasi di tengah tantangan modernisasi dan pembangunan nasional.

Muktamar di Bandung tidak hanya membahas persoalan internal organisasi, tetapi juga menyoroti peran Muhammadiyah dalam membangun bangsa yang baru saja berusaha menata diri setelah masa pergolakan politik. Di kota ini, gagasan tentang “Islam Berkemajuan” mulai mendapatkan bentuk konseptual yang lebih jelas—sebuah sintesis antara nilai keislaman, kemodernan, dan kebangsaan.

Bandung pada masa itu dikenal sebagai salah satu pusat gerakan mahasiswa dan diskursus intelektual Islam. Tokoh-tokoh muda Muhammadiyah banyak berinteraksi dengan lingkungan akademik di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Padjadjaran (Unpad), melahirkan generasi cendekia yang berpikiran terbuka dan rasional. Hal ini turut memberi warna pada dinamika Muktamar dan arah pembaruan Muhammadiyah berikutnya.

Hasil-hasil Muktamar Bandung menegaskan pentingnya pendidikan, dakwah, dan amal usaha sosial sebagai pilar utama gerakan Muhammadiyah. Di sinilah semangat “berkemajuan” diperkuat melalui pendekatan yang lebih ilmiah dan sistematis. Muktamar juga mempertegas posisi Muhammadiyah sebagai mitra strategis pemerintah dalam pembangunan bangsa, tanpa kehilangan independensinya sebagai gerakan masyarakat sipil.

Warisan Muktamar Bandung terasa hingga kini, terutama dalam tradisi intelektual Muhammadiyah di kota tersebut. Lahirnya lembaga pendidikan seperti Universitas Muhammadiyah Bandung dan berkembangnya berbagai amal usaha sosial di bidang kesehatan, ekonomi, dan kebudayaan menjadi bukti kesinambungan semangat pembaruan yang berakar dari momentum sejarah itu.

Lebih dari sekadar tempat penyelenggaraan muktamar, Bandung menjadi simbol keterbukaan dan keberanian berpikir dalam tubuh Muhammadiyah. Kota ini mengingatkan bahwa Islam tidak boleh berhenti pada romantisme masa lalu, melainkan harus hadir dalam realitas modern dengan wajah yang rasional, empatik, dan solutif.

Kini, di usia ke-113 tahun, semangat berkemajuan yang pernah digelorakan di Bandung tetap relevan. Muktamar di kota ini menjadi pengingat bahwa Muhammadiyah bukan hanya organisasi keagamaan, melainkan gerakan peradaban yang terus menyalakan obor pencerahan bagi umat dan bangsa.

Bandung dan Muhammadiyah sama-sama memiliki DNA pembaruan. Keduanya mengajarkan bahwa kemajuan tidak lahir dari retorika, melainkan dari kerja keras, kolaborasi, dan keberanian untuk berpikir maju. 

Semangat berkemajuan yang terpateri dalam diri warga Muhammadiyah bukan hanya warisan, melainkan kompas moral untuk melangkah menuju Indonesia yang tercerahkan—cerdas, berdaya, dan berperadaban. Wallahua’lam.

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Dinamika Geopolitik Global dan Tantangan Dunia Islam  Oleh: A. Junaedi Karso, Guru Besar FISIP....

Suara Muhammadiyah

21 February 2025

Wawasan

Oleh: Drh H Baskoro Tri Caroko LPCRPM PP Muhammadiyah, Pemberdayaan Ekonomi Seni Dan Budaya Memenu....

Suara Muhammadiyah

22 March 2024

Wawasan

Muhammadiyah dan Bonus Demografi: Mempersiapkan Generasi Emas  Oleh Bayu Madya Chandra, SEI, p....

Suara Muhammadiyah

19 August 2025

Wawasan

Oleh: Ahmad Fatoni, Lc., MAg, Pengajar Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang   ....

Suara Muhammadiyah

19 May 2025

Wawasan

Menakar Janji Calon Presiden Oleh : Ahsan Jamet Hamidi Muhammadiyah berhasil menghadirkan seluruh ....

Suara Muhammadiyah

26 November 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah