Mosi Integral Mohammad Natsir: Sebuah Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia
Oleh: Abdul Rahman A.Ghani, Dosen Sekolah Pascasarjana UHAMKA
Mohammad Natsir, yang lahir pada 17 Juli 1908 di Alahan Panjang, Sumatera Barat, dan meninggal pada 6 Februari 1993 di Jakarta dalam usia 84 tahun, merupakan seorang ulama, politisi, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia juga dikenal sebagai pendiri dan pemimpin Partai Masyumi. Dalam kancah domestik, Natsir pernah menjabat sebagai menteri serta perdana menteri Indonesia, sementara di tingkat internasional, ia menjabat sebagai Presiden Liga Muslim Se-Dunia (World Muslim Congress) dan Ketua Dewan Masjid Se-Dunia. Natsir menghabiskan masa kecil dan awal pendidikannya di Solok sebelum pindah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan di tingkat SMA dan kemudian memperdalam ilmu Islam di perguruan tinggi. Ia memulai keterlibatannya dalam dunia politik pada pertengahan 1930-an dengan bergabung dalam partai politik yang mengusung ideologi Islam. Pada 5 September 1950, Natsir diangkat menjadi Perdana Menteri Indonesia yang kelima. Namun, pada 26 April 1951, ia mengundurkan diri dari jabatannya setelah terjadi perbedaan pendapat dengan Presiden Sukarno. Setelah itu, ia semakin vokal dalam menyuarakan pentingnya peran Islam di Indonesia, yang menyebabkan ia dipenjarakan. Setelah dibebaskan pada 1966, Natsir terus mengkritik pemerintahan berikutnya, yang mengakibatkan ia dikenakan tindakan cekal.
Mohammad Natsir banyak menghasilkan karya tulis mengenai pemikiran Islam. Ia aktif menulis di berbagai majalah Islam sejak karya pertamanya diterbitkan pada tahun 1929, dan hingga akhir hayatnya, Natsir telah menulis sekitar 45 buku serta ratusan artikel lainnya. Ia memandang Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari budaya Indonesia. Natsir, sepanjang hidupnya, ia menerima tiga gelar doktor honoris causa, satu dari Lebanon dan dua dari Malaysia. Pada 10 November 2008, Natsir dikenal sebagai seorang menteri yang sederhana, dan dikenang sebagai sosok yang tidak memiliki pakaian mewah, dengan jas yang bertambal, tidak memiliki rumah pribadi, dan menolak diberikan hadiah berupa mobil mewah. Ia juga banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pemikir Islam terkemuka, seperti Agus Salim. (Sayoga, et al. 2015).
Pada pertengahan dekade 1930-an, Natsir dan Agus Salim secara intensif berdiskusi mengenai hubungan antara Islam dan negara untuk merumuskan arah pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan Sukarno. Pada tahun 1938, Natsir bergabung dengan Partai Islam Indonesia (PII) dan diangkat sebagai pimpinan cabang Bandung dari tahun 1940 hingga 1942. Selain itu, ia juga menjabat sebagai Kepala Biro Pendidikan di Bandung hingga tahun 1945. Selama masa pendudukan Jepang, Natsir bergabung dengan Majelis Islam A'la Indonesia, yang kemudian berganti nama menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), dan diangkat sebagai salah satu ketua organisasi tersebut pada periode 1945 hingga pembubaran Masyumi serta Partai Sosialis Indonesia oleh Presiden Sukarno pada tahun 1960. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Sebelum menduduki jabatan sebagai Perdana Menteri, Natsir terlebih dahulu menjabat sebagai Menteri Penerangan.
Pada tahun 1956, dalam konteks dinamika politik Indonesia pasca-kemerdekaan, Mohammad Natsir, seorang tokoh politik dan intelektual terkemuka, mengusulkan konsep Mosi Integral sebagai langkah strategis untuk memperkuat integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Usulan ini muncul di tengah tantangan internal dan eksternal yang mengancam stabilitas negara, setelah Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari penjajahan Belanda. Meskipun telah melewati periode revolusi, negara masih dihadapkan pada berbagai permasalahan yang memerlukan solusi yang komprehensif dan inklusif.
Pada tahun yang sama, penerapan Mosi Integral memberikan dampak signifikan terhadap stabilitas politik dan sosial Indonesia. Secara keseluruhan, Mosi Integral memainkan peran penting dalam memperkuat otoritas pemerintahan, konsolidasi kekuasaan politik, serta menciptakan kerangka kerja politik yang lebih stabil. Dengan mendapatkan dukungan mayoritas dari parlemen, pemerintah berhasil memperkokoh legitimasi politiknya dan menghadapi tantangan baik dari dalam maupun luar negeri dengan lebih percaya diri. Proses yang terkait dengan Mosi Integral juga berperan dalam meredakan ketegangan politik dan sosial, menciptakan ketenangan serta kepastian di tengah masyarakat.
Sebagai instrumen politik yang diperkenalkan dalam sistem pemerintahan demokratis, Mosi Integral turut mengukuhkan otoritas pemerintah dan memberikan dasar yang lebih kuat untuk stabilitas politik. Dengan memperoleh dukungan mayoritas di parlemen, pemerintah mampu memperkuat legitimasi politiknya dan memperoleh mandat yang lebih solid dari wakil rakyat, sekaligus menghadapi berbagai tantangan internal dan eksternal dengan lebih mantap. Dalam konteks ini, Mosi Integral berfungsi sebagai sarana konsolidasi kekuasaan politik yang esensial bagi kelangsungan dan keutuhan negara.
Mosi Integral yang diajukan oleh Mohammad Natsir tidak hanya merupakan respons terhadap kompleksitas dinamika politik pada masa itu, tetapi juga mencerminkan upaya untuk mengatasi perpecahan yang mengancam persatuan bangsa. Konsep ini mengedepankan gagasan bahwa seluruh elemen masyarakat, tanpa memandang perbedaan politik, agama, atau etnis, harus berperan secara integral dalam pembangunan dan perlindungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan demikian, Mosi Integral bertujuan untuk menciptakan keharmonisan antara kepentingan nasional dan kepentingan politik yang beragam, sehingga memperkuat dasar-dasar kesatuan bangsa.
Namun, pelaksanaan Mosi Integral tidak berjalan mulus. Pada masa tersebut, Indonesia masih dilanda perpecahan politik dan ideologis yang dalam. Persaingan politik antarpartai dan konflik sosial antarkelompok masyarakat seringkali menghalangi tercapainya kesepakatan bersama dalam mewujudkan Mosi Integral. Selain itu, adanya tekanan dari faktor eksternal juga memperumit proses ini, dengan berbagai pihak yang berusaha memanfaatkan ketegangan internal untuk kepentingan mereka.
Meskipun demikian, penting untuk mengakui bahwa konsep Mosi Integral mencerminkan semangat inklusivitas dan komitmen terhadap keutuhan NKRI. Upaya untuk menciptakan keselarasan dan pemahaman bersama di antara berbagai pihak merupakan langkah krusial dalam membangun fondasi negara yang kuat dan bersatu. Meskipun terdapat berbagai kendala dan tantangan dalam perjalanan menuju pencapaian tujuan tersebut, semangat serta nilai-nilai yang terkandung dalam Mosi Integral tetap relevan dan perlu dijaga sebagai bagian dari sejarah dan identitas bangsa Indonesia. (Hasan, et al., 2024)
Mohammad Natsir memandang bahwa keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan fondasi utama bagi kemajuan dan kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Namun, pada masa tersebut, negara dihadapkan pada tantangan serius, seperti gerakan separatis di beberapa daerah dan peningkatan polarisasi politik. Dalam konteks ini, Natsir menyadari bahwa diperlukan langkah-langkah strategis untuk memperkuat kembali fondasi kesatuan dan keutuhan negara (Anderson, 2022).
Mosi Integral yang diusulkan oleh Natsir menawarkan solusi yang holistik dan komprehensif, yang tidak hanya mencakup aspek politik, tetapi juga sosial, budaya, dan ekonomi dalam upaya memperkuat integrasi nasional. Natsir berpendapat bahwa kesatuan Indonesia harus berlandaskan pada semangat persatuan dan kesetaraan antara seluruh elemen yang ada di dalamnya, baik itu suku, agama, maupun budaya.
Penerapan strategi Mosi Integral pada tahun 1956 memiliki dampak signifikan terhadap stabilitas politik dan sosial Indonesia. Dalam konteks politik yang masih berkembang, Mosi Integral memainkan peran yang sangat penting dalam mengukuhkan otoritas pemerintah dan konsolidasi kekuasaan politik. Dengan memperoleh dukungan mayoritas di parlemen, pemerintah dapat memperkuat legitimasi politiknya, memperkokoh posisinya, serta menghadapi tantangan baik internal maupun eksternal dengan lebih percaya diri.
Selain itu, proses Mosi Integral tidak hanya memengaruhi stabilitas politik, tetapi juga memberikan dampak positif terhadap stabilitas sosial. Dengan menciptakan kerangka kerja politik yang lebih stabil, Mosi Integral turut meredakan ketegangan politik dan sosial yang mungkin muncul. Keberhasilan pemerintah dalam memperoleh dukungan mayoritas di parlemen melalui Mosi Integral memberikan rasa ketenangan dan kepastian kepada masyarakat, menciptakan iklim yang lebih kondusif untuk pembangunan serta pertumbuhan ekonomi dan sosial.
Selain itu, Natsir juga menyadari pentingnya peran pendidikan dan kesadaran nasional dalam membangun rasa kebangsaan yang kuat di kalangan masyarakat. Dalam konsep Mosi Integral yang dia ajukan, Natsir menekankan pentingnya reformasi pendidikan yang berfokus pada pembentukan karakter dan penanaman nilai-nilai kebangsaan yang kokoh.
Dalam aspek politik, Natsir menggarisbawahi urgensi menjaga stabilitas politik dan memperkuat sistem demokrasi sebagai dasar utama negara. Ia berpendapat bahwa konflik politik dan polarisasi yang terjadi dapat mengancam kesatuan negara jika tidak ditangani dengan bijaksana dan hati-hati.
Lebih lanjut, Natsir juga menekankan perlunya memperkuat perekonomian nasional sebagai sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Baginya, ketidaksetaraan ekonomi antarwilayah dapat menjadi sumber konflik internal yang membahayakan keutuhan NKRI, sehingga diperlukan upaya yang konkret untuk menyeimbangkan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam konteks hubungan internasional, Natsir juga menekankan pentingnya menjaga hubungan baik dengan negara-negara tetangga serta berperan aktif dalam forum internasional. Dengan cara ini, Indonesia dapat memperkuat posisinya sebagai negara yang berdaulat dan memainkan peran konstruktif dalam menciptakan perdamaian dan stabilitas regional.
Secara keseluruhan, Mosi Integral yang diusulkan pada tahun 1956 mencerminkan dinamika politik yang kompleks dan tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam menjaga stabilitas politik dan sosial pascakemerdekaan. Meskipun menimbulkan pro dan kontra, strategi ini berhasil memainkan peran penting dalam mengokohkan fondasi demokrasi dan stabilitas politik di masa mendatang. Dengan demikian, Mosi Integral tidak hanya menjadi bagian dari sejarah politik Indonesia, tetapi juga memberikan dasar yang kuat untuk pembangunan demokrasi yang lebih kokoh dan berkelanjutan di masa depan. Oleh karena itu karna besar dampak kaum muslim dalam membentuk NKRI, tidak hanya Mosi integral, seperti cara jendral Sudirman memimpin, Sampai hari ini Muhamad Natsir belum dikukuhkan sebagai pahlawan Nasional.