Pemakmuran Masjid dan Musala dengan Moderasi dalam Berislam
Oleh: Mohammad Fakhrudin
Boleh jadi faktor penyebab kemandekan proses pencerdasan, pencerahan, dan pemajuan umat Islam, antara lain, adalah sikap dan metode yang digunakan oleh ustaz dan ustazah ketika menyampaikan materi pengajian. Di dalam kenyataan cukup banyak di antara mereka yang lebih senang mengondisikan jamaahnya seperti menonton pertunjukan. Ada ustaz dan ustazah yang mengemas dakwah dengan lawakan dan musik lengkap dengan lagunya.
Islam membolehkan humor. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam senang berhumor. Namun, humornya tidak menumpulkan akal dan tetap menjunjung akhlak mulia.
Sementara itu, dalam hubungannya dengan seni, kiranya kita dapat menggunakan penetapan kaidah umum bahwa segala sesuatu dihukumi boleh (mubah) sampai ada dalil yang melarangnya.
اْلأَصْلُ فِي الشُّرُوْطِ فِي الْمُعَامَلاَتِ الْحِلُّ وَالْإِبَاحَةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ
"Hukum asal menetapkan syarat dalam muamalah adalah halal dan diperbolehkan kecuali ada dalil (yang melarangnya).”
Masih berkaitan dengan hukum seni kiranya HR Muslim berikut ini dapat juga kita jadikan rujukan.
إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ . [رواه مسلم]
“Sesungguhnya, Allah itu Maha Indah, Dia menyukai keindahan.”
Hal yang perlu kita renungkan ulang adalah kelucuan, lirik lagu, dan irama musik. Sering untuk melucu, ada ustaz dan ustazah yang menggunakan kata-kata jorok atau "saru". Di antara lirik lagu, ada yang bertentangan dengan akidah atau setidak-tidaknya perlu kita kaji secara akademis. Di samping itu, ada lirik lagu yang bertentangan dengan akhlak mulia. Tambahan lagi, ada irama lagu yang merangsang jamaah untuk bergoyang, padahal lirik lagunya berisi salawat.
Di dalam Himpunan Putusan Tarjih Jilid 3 (hlm.155) ada lima karakteristik kebudayaan yang diakui dan sesuai dengan syariat Islam, yakni
(1) sesuai dengan nilai-nilai Islam dan tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan as-Sunnah.
(2) dapat meningkatkan keimanan dan tidak mengandung unsur kemusyrikan, bidah, khurafat, dan takhayul.
(3) menimbulkan kebersihan jiwa dan kemaslahatan serta tidak mengandung kezaliman dan kerusakan.
(4) menghasilkan kebajikan dan menambahkan ingat kepada Allah serta tidak mengandung unsur maksiat dan melalaikan.
(5) membuat pencerahan peradaban dan tidak menyebabkan perpecahan, kemunduran, pemborosan, dan hal-hal negatif lainnya.
Keniscayaan dalam Keberagaman Berislam
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah (2):256.
لَآ إِكْرَاهَ فِى ٱلدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشْدُ مِنَ ٱلْغَىِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسْتَمْسَكَ بِٱلْعُرْوَةِ ٱلْوُثْقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَا ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Oleh karena itu, barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Dari ayat tersebut kita ketahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kebebasan kepada manusia dalam beragama. Setelah memberikan kebebasan memilih, Dia menegaskan bahwa sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dan jalan yang salah. Ketegasan tentang jalan yang benar dinyatakan misalnya di dalam surat Ali ‘Imran (3):19,
اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا ۢ بَيْنَهُمْۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ فَاِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ
“Sesungguhnya, agama (yang diridai) di sisi Allah ialah Islam. Orang-orang yang telah diberi kitab tidak berselisih, kecuali setelah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian di antara mereka. Siapa yang kufur terhadap ayat-ayat Allah, sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungan(-Nya).”
Penegasan yang sama terdapat di dalam surat al-Maidah (5):3,
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.”
Perlu kita pahami dengan sebaik-baiknya bahwa keberagaman dalam beragama terjadi karena manusia senantiasa berselisih dalam urusan agama sebagaimana dijelaskan di dalam surat Hud (11):18.
وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلَا يَزَالُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَۙ
“Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia akan menjadikan manusia umat yang satu. Namun, mereka senantiasa berselisih (dalam urusan agama).”
Sementara itu, di dalam surat al-Kafirun (109):6 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِࣖ
“Untukmu agamamu dan untukku agamaku.”
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut tidak dapat diartikan bahwa Dia membenarkan setiap pilihan manusia.
Moderasi adalah Solusi
Di dalam surat al-Imran (3):19 dan surat al-Maidah (5):3 pernyataan Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang agama yang benar sangat jelas. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa pintu dialog tertutup rapat, baik dialog antarumat beragama maupun sesama umat Islam.
Dialog itu diizinkan sebagaimana dinyatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an, antara lain, surat an-Nahl (16):125,
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
"Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya, Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.”
Di dalam ayat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menyeru manusia ke jalan-Nya dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta mendebat mereka dengan cara yang lebih baik. Dalam praktiknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru umatnya pun dengan hikmah dan pengajaran yang baik.
Keberagaman pemahaman tentang akidah dan ibadah pada umat Islam telah ada sejak zaman dulu. Di dalam Islam dikenal ada mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan mahzab Hambali. Malahan, menurut Muhammad Jawad Mughniyah di dalam fikih ada lima mazhab. Di samping keempat mazhab tersebut, ada mazhab Ja'fari.
Di dalam akidah, ada hal menarik yang perlu kita kaji secara akademis, yakni tentang ruh yang "gentayangan". Ada sebagian muslim mukmin yang mempunyai pemahaman bahwa arwah orang yang sudah meninggal tiap Kamis malam pulang ke rumahnya masing-masing.
Mereka percaya bahwa pada malam itu arwah orang yang sudah meninggal berkesempatan mengunjungi rumahnya di dunia. Mereka bercerita bahwa ketika ruh kembali kepada keluarganya berbicara tentang keadaan dirinya sebagaimana dijelaskan berikut ini.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا مَاتَ الْمُؤْمِنُ حَامَ رُوْحُهُ حَوْلَ دَارِهِ شَهْرًا فَيَنْظُرُ إِلَى مَنْ خَلَفَ مِنْ عِيَالِهِ كَيْفَ يَقْسِمُ مَالَهُ وَكَيْفَ يُؤَدِّيْ دُيُوْنَهُ فَإِذَا أَتَمَّ شَهْرًا رُدَّ إِلَى حَفْرَتِهِ فَيَحُوْمُ حَوْلَ قُبْرِهِ وَيَنْظُرُ مَنْ يَأْتِيْهِ وَيَدْعُوْلَهُ وَيَحْزِنُ عَلَيْهِ فَإِذَا أَتَمَّ سَنَةً رُفِعَ رُوْحُهُ إِلَى حَيْثُ يَجْتَمِعُ فِيْهِ اْلأَرْوَاحُ إِلَى يَوْمِ يُنْفَخُ فِى الصُّوْرِ .
“(Diriwayatkan) dari Abu Hurairah radiyalalahu ‘anhu,
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa apabila seorang mukmin meninggal dunia, maka arwahnya berkeliling-keliling di seputar rumahnya selama satu bulan. Ia memperhatikan keluarga yang ditinggalkannya bagaimana mereka membagi hartanya dan membayarkan hutangnya. Apabila telah sampai satu bulan, maka arwahnya itu dikembalikan ke makamnya dan ia berkeliling–keliling di seputar kuburannya selama satu tahun, sambil memperhatikan orang yang mendatanginya dan mendoakannya serta yang bersedih atasnya. Apabila telah sampai satu tahun, maka arwahnya dinaikkan di tempat di mana para arwah berkumpul menanti hari ditiupnya sangkakala.”
Di samping ada muslim mukmin yang mempunyai kepercayaan demikian, ada pula yang sebaliknya. Mereka mengkritisi cerita itu. Mereka meneliti sumber cerita tersebut, baik di dalam Al-Qur’an maupun di dalam as-Sunnah.
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Muhammadiyah telah melakukan penelitian dengan menggunakan Program al-Maktabah asy-Syamilah (edisi 2), Program al-Jami’ al-Akbar (edisi 2), dan Program al-Jami’ al-Kabir (edisi 4, 2007-2008), tetapi tidak menemukan sumber hadis yang dinyatakan tersebut. Dinyatakannya bahwa hadis yang sedang diselidikinya itu tidak tercantum dalam satu pun dari sumber-sumber orisinal hadis yang ada.
Sementara itu, dari Al-Qur’an kita ketahui firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam surat Mukminun (23):100,
وَمِنْ وَّرَاۤىِٕهِمْ بَرْزَخٌ اِلٰى يَوْمِ يُبْعَثُوْنَ
"Di hadapan mereka ada (alam) barzakh sampai pada hari mereka dibangkitkan.”
Akhlak Para Imam Mazhab
Ada empat mazhab masyhur di dalam Islam, yakni mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan mazhab Hambali. Para imam keempat mazhab itu tidak mengklaim dirinya sebagai imam yang paling benar dan paling pintar. Berikut ini sikap mereka.
(Baca juga: “Adab Ikhtilaf dalam Islam” oleh Fajar Rachmadhani, Lc., M.Hum., Universistas Muhammadiyah Yogyakarta)
Abu Hanifah:
إذا قلت قولا يخالف كتاب الله تعالى وخبر الرسول صلى الله عليه وسلم فاتركوا قولي
"Apabila aku mengatakan sesuatu perkataan (pendapat) yang menyelisihi Al-Qura'n dan Sunnah Rasulullah, maka tinggalkanlah perkataanku tersebut."
Imam Malik bin Anas (yang dikutip oleh Ibnu Abdil Barr):
إنما أنا بشر أخطئ وأصيب فانظروا في رأيي فكل ما وافق الكتاب والسنة فخذوه وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه
“Aku ini hanyalah manusia yang terkadang salah terkadang benar. Oleh karena itu, perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, maka ambillah, dan yang tidak sesuai, maka tinggalkanlah.”
Imam as-Syafi’i:
إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا ما قلت
“Jika kalian menemukan dalam kitabku ada pendapat yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah sesuai dengan sunnah tersebut, dan tinggalkanlah perkataanku."
Imam Ahmad bin Hanbal:
لا وتقلدني، ولا تقلد مالكاً ولا الشافعي ولا الأوزاعي، ولا الثوري، وخذ من حيث أخذوا
“Jangan engkau taqlid kepadaku, dan jangan pula kepada Malik, asy-Syafi’i, al-Auza’i, dan ats-Tsauri, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil.”
Ustaz dan ustazah mempunyai peran sentral dalam pemakmuran masjid dan musala. Mereka pasti telah sangat hafal ayat Al-Qur'an yang berisi pernyataan Allah Subhanahu wa Ta'ala bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah rahmat bagi alam semesta, bukan rahmat bagi umat Islam apalagi bangsa atau suku tertentu saja.
Pertanyaan mendasarnya adalah: Apakah para ustaz dan ustazah sebagai penerima amanah pembina muslim mukmin dalam pemakmuran masjid dan musala telah mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para imam mazhab?
Allahu a’lam