YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Eks Narapidana Terorisme (Eks-Napiter) selama ini masih memiliki stigma negatif di kalangan masyarakat, mengakibatkan sulitnya mereka untuk diterima di lingkungan sosial. Perlu ada mediasi yang dilakukan antara kedua belah pihak, dan tidak hanya itu, para Eks-Napiter pun dirasa penting untuk mendapatkan pembinaan dan pembekalan keterampilan agar dapat mandiri secara finansial. Hal ini dikemukakan oleh Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan, Prof. Dr. Zuly Qodir, M.Ag., setelah melakukan dialog kebangsaan dengan Eks-Napiter wilayah DIY.
Menurut Zuly, masyarakat perlu bersikap terbuka bahwa Eks-Napiter tidak serta merta dilepas begitu saja, tetapi juga telah mendapatkan pembinaan dari lembaga pemerintah yang bekerja sama dengan instansi terkait seperti perguruan tinggi. Pembinaan tidak hanya terhadap nilai-nilai nasionalisme dan keagamaan, namun juga dari sisi akademis sebagai bekal mereka begitu dinyatakan bebas dari bui. Zuly menganggap sinergi antar instansi dan elemen masyarakat menjadi hal yang penting dalam membentuk karakter Eks-Napiter yang mencintai bangsanya.
“Sebenarnya, program seperti ini sudah mulai dilakukan di beberapa daerah. Misalkan di Jawa Timur, terdapat Eks-Napiter yang mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah, salah satunya oleh Universitas Muhammadiyah Malang. Eks-Napiter ini sempat terlibat dalam kasus Bom Bali 2, dan setelah keluar dari Nusa Kambangan ia dibina oleh BNPT dan Universitas Muhammadiyah Malang bahkan disekolahkan hingga S3,” ujar Zuly.
Guru Besar UMY di bidang Sosiologi ini pun membuka peluang bagi UMY untuk turut membina dan memberikan bantuan pendidikan bagi para Eks-Napiter di wilayah DIY. Sebagai perguruan tinggi yang dekat dengan masyarakat, UMY dapat memberikan fasilitas keringanan biaya pendidikan kepada Eks-Napiter atau keluarganya yang ingin berkuliah. Ia menegaskan bahwa program tersebut dapat menjadi bentuk dakwah bagi UMY dan secara tidak langsung menjadikan Eks-Napiter masuk ke dalam bagian yang tidak terpisahkan dari warga negara biasa.
Dialog kebangsaan antara Zuly Qadir dengan para Eks-Napiter ini difasilitasi oleh Kepolisian Daerah DIY, dan banyak membahas cara bermasyarakat yang inklusif dan cinta damai. Agenda ini berbarengan dengan momen Idul Adha 1446 H sebagai momentum untuk merefleksikan ketulusan dan keikhlasan dalam menjadi warga negara. Dalam kesempatan tersebut, Zuly menegaskan bahwa tidak ada satupun ketentuan dalam Islam yang mempertentangkan kecintaan terhadap negara.
“Sebagai warga negara, kita semua punya hak yang sama untuk mencintai negara atas kondisi apapun atas pesan dari agama. Saya melihat para Eks-Napiter di Yogyakarta ini orang-orang yang tulus. Terlepas dari masa lalu mereka, kita harus dapat saling menerima dengan baik dan terbuka sebagai bentuk rekonsiliasi yang harus terus dikembangkan,” imbuhnya.
Korelasi antara nilai-nilai keagamaan dan nasionalisme pun menjadi aspek yang harus terus dipupuk oleh seluruh pihak, termasuk perguruan tinggi sebagai pusat pendidikan di masyarakat. Hal ini juga yang ditegaskan oleh Zuly, bahwa sama sekali tidak ada pertentangan antara pesan kebangsaan, nasionalisme dan agama. (ID)