Perlindungan Pengetahuan Tradisional Indonesia Dalam HKI

Publish

26 July 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
58
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Perlindungan Pengetahuan Tradisional Indonesia Dalam HKI

Oleh: Yeski Putri Utami

Indonesia adalah negara dengan kekayaan budaya dan sumber daya alam yang luar biasa. Dari Sabang sampai Merauke, kita memiliki ribuan tradisi, bahasa daerah, pengobatan tradisional, kerajinan tangan, dan sistem pengetahuan lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Semua itu merupakan bagian dari pengetahuan tradisional (traditional knowledge/TK) atau dalam Kekayaan Intelektual dikenal sebagai Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisonal (PTEBT) yang memiliki nilai ekonomi, sosial, dan kultural yang sangat tinggi. Namun sayangnya, sistem hukum kita belum sepenuhnya mampu melindungi kekayaan ini dari eksploitasi oleh pihak asing maupun dalam negeri.

Di tengah era globalisasi dan digitalisasi, pengetahuan tradisional Indonesia menghadapi tantangan serius. Banyak produk budaya lokal yang diklaim oleh pihak luar, atau dikomersialisasikan tanpa seizin komunitas pemiliknya. Kasus klasik seperti klaim batik oleh negara tetangga atau eksploitasi tanaman obat asli Indonesia oleh perusahaan multinasional, menjadi bukti lemahnya perlindungan hukum atas pengetahuan tradisional kita. Namun sayangnya, perlindungan hukum terhadap warisan budaya takbenda ini masih sangat terbatas. Akibatnya, berbagai kasus klaim sepihak, eksploitasi, hingga pencurian budaya oleh pihak asing terjadi berulang kali.

Gambar 1. Kekayaan Intelektual

Sumber: Yulia (2021) dalam Hukum Hak Kekayaan Intelektual

HAKI dan Kesenjangan Perlindungan terhadap Pengetahuan Tradisional

Sistem Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) yang berlaku saat ini pada dasarnya dirancang untuk melindungi karya perseorangan atau badan usaha dengan prinsip "first to file". Artinya, siapa yang lebih dulu mendaftarkan, dialah yang mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini tidak cocok diterapkan secara langsung pada pengetahuan tradisional, yang biasanya diwariskan secara lisan, kolektif, dan tidak didaftarkan dalam bentuk formal. Sistem ini tidak cocok untuk pengetahuan yang bersifat kolektif, tidak terdokumentasi secara formal, dan diwariskan secara lisan seperti yang terjadi dalam masyarakat adat di Indonesia.

"Sistem HAKI konvensional terlalu sempit untuk menjangkau kekayaan tradisional yang bersifat kolektif. Kita perlu pendekatan yang berbasis komunitas dan rekognisi hak adat."
ujar Prof. Sinta Dewi Rosadi, pakar hukum siber dan HAKI dari Universitas Padjadjarandalam  Seminar Nasional Perlindungan Pengetahuan Tradisional, UNPAD, 2023. Komunitas adat, yang merupakan pemilik asli pengetahuan tersebut, sering kali tidak menyadari bahwa mereka memiliki nilai komersial tinggi. Tanpa perlindungan hukum yang memadai, mereka rawan menjadi korban biopiracy—praktik pencurian dan paten atas sumber daya hayati atau pengetahuan tradisional oleh pihak asing tanpa kompensasi atau persetujuan.

Menurut data dari WIPO (World Intellectual Property Organization), lebih dari 200 kasus biopiracy di negara berkembang telah tercatat hingga 2022. Indonesia termasuk dalam daftar negara yang paling rentan karena minimnya dokumentasi dan perlindungan hukum terhadap kekayaan tradisional. Contoh paling terkenal adalah kasus klaim batik oleh Malaysia pada 2009, yang memicu kemarahan publik Indonesia. Belum lagi kasus paten tempe oleh perusahaan Jepang, klaim atas sambal ulek, hingga penggunaan tanaman obat seperti kunyit dan jati belanda oleh perusahaan asing dalam produk farmasi mereka tanpa kompensasi kepada masyarakat lokal.

Perlindungan Kolektif: Jalan ke Depan

Upaya pemerintah untuk mendata dan melindungi pengetahuan tradisional sudah mulai berjalan. Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) tengah menyusun database nasional pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional, agar kekayaan ini tidak bisa diklaim atau dipatenkan secara sepihak oleh negara atau korporasi lain. DJKI telah mendata lebih dari 13.000 pengetahuan tradisional, tetapi belum cukup kuat untuk mencegah eksploitasi oleh pihak asing. 

Indonesia memang telah memiliki Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014, serta terlibat dalam Konvensi UNESCO 2003, namun keduanya belum menjamin hak ekonomi yang adil dan pengakuan hukum eksklusif kepada komunitas pemiliknya. Sudah saatnya Indonesia memiliki Undang-Undang khusus perlindungan pengetahuan tradisional, serta membentuk Badan Nasional Perlindungan Kekayaan Tradisional. Tak kalah penting, masyarakat adat perlu didampingi secara hukum agar dapat mendokumentasikan dan melindungi kekayaan bangsa. Tidak bisa lagi HKI hanya menyesuaikan diri dengan logika pasar modern; sistem hukum kita harus memberi ruang bagi kearifan lokal dan hak-hak tradisional.

Langkah konkret lainnya adalah mendorong edukasi hukum dan pelatihan bagi komunitas adat, agar mereka memahami cara melindungi kekayaan mereka secara legal. Perguruan tinggi, LSM, dan tokoh adat dapat bersinergi dalam pendokumentasian, penyusunan kontrak perlindungan tradisional, dan negosiasi hak guna atau lisensi. 

Saatnya Bangkit dan Melindungi Warisan Budaya

Jika kita tidak bertindak sekarang, generasi mendatang hanya akan mengenang kekayaan budaya kita sebagai cerita yang direbut dan dimiliki orang lain. Perlindungan pengetahuan tradisional bukan hanya soal hukum, melainkan soal martabat dan identitas bangsa. Seperti kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly dalam pidatonya di Hari Kekayaan Intelektual Sedunia 2024 "Kita tidak boleh menjadi penonton ketika budaya kita diklaim bangsa lain. Pengetahuan tradisional adalah kedaulatan budaya kita."

Jika kita tidak segera bertindak, maka kita akan terus kehilangan warisan budaya dan pengetahuan tradisional yang tak ternilai harganya. Indonesia bisa saja menjadi penonton atas kejayaan produk yang sebenarnya berasal dari tanah dan budaya kita sendiri. Sebagai bangsa yang besar dan kaya akan warisan leluhur, sudah seharusnya kita memiliki sistem perlindungan hukum yang adil, inklusif, dan berbasis komunitas. Perlindungan pengetahuan tradisional bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga soal kedaulatan budaya dan harga diri bangsa. 

Sudah waktunya Indonesia memperkuat posisi dalam forum internasional untuk memperjuangkan hak-hak komunitas adat atas pengetahuan mereka. Dalam negeri, peran akademisi, pembuat kebijakan, dan masyarakat sipil juga sangat penting untuk mendukung sistem perlindungan yang lebih baik. Jika tidak, warisan leluhur kita akan terus tergerus oleh arus globalisasi yang tak mengenal batas, dan kita akan kehilangan lebih dari sekadar identitas budaya.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Menakar Manfaat Rakernas APSI PTMA 2025 dan Strategi Masa Depan Oleh: Rusydi Umar, S.T. M.T., Ph.D.....

Suara Muhammadiyah

13 February 2025

Wawasan

Memahami Konteks Sejarah Al-Qur'an Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Anda....

Suara Muhammadiyah

1 April 2024

Wawasan

Menulis Babad Sejarah Desa Oleh: Rimini Zulfikar, Penasehat PRM Troketon Pedan, Klaten "Sebuah per....

Suara Muhammadiyah

29 June 2025

Wawasan

Menggali Potensi Wakaf Uang untuk Mewujudkan Keadilan Sosial  Oleh: Achmad Fauzi/Anggota BWI D....

Suara Muhammadiyah

15 April 2025

Wawasan

Ekonomi Berdikari Muhammadiyah Oleh: Dr Masud HMN Berdirinya gedung SM delapan tingkat yang terlet....

Suara Muhammadiyah

5 October 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah