Prahara Politik Putusan MK: Antara Horor dan Humor

Publish

25 August 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
351
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Prahara Politik Putusan MK: Antara Horor dan Humor

Oleh: Immawan Wahyudi,  Immawan Wahyudi Dosen Fakultas Hukum UAD

Baru saja masyarakat merasa lega atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas kepesertaan dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang usia peserta Pilkada minimal harus berusia 30 tahun. Putusan  60/PUU-XXII/2024 merupakan putusan atas Penggugat I Partai Buruh dan Penggugat II Partai Gelora. Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 adalah perkara  yang diajukan oleh Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah, A. Fahrur Rozi dan Mahasiswa Podomoro University Anthony Lee.   

Tiba-tiba muncul berita horor yakni DPR RI akan melakukan perubahan UU yakni UU yang mengatur  pemilihan kepala daerah untuk melepaskan diri dari Putusan MK. Secercah cahaya demokrasi sebagai kegembiraan demokrasi ini tiba-tiba musnah begitu saja dengan berita-berita tentang sikap Pemerintah dan DPR RI. Inilah horror politik itu.   Horor ini menjadi-jadi jika ditengok latar belakang politik hukum yang tersembunyi yakni pada satu sisi memuluskan seseorang diberi fasilitas hukum untuk mendaftar sebagai calon kepala daerah, namun pada sisi lain merampas hak demokrasi dengan mengatasnamakan threshold yang sangat tinggi yakni syarat 20% perolehan dukungan terhadap partai yang akan mengusung calon kepala daerah. Syarat ini memang terlalu berat. Itulah sebabnya  putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70 layaknya pembebasan dari  jerat hukum yang terlampau berat.

Bersatunya Berbagai Demonstran 

Demonstrasi hari kamis tanggal 22 Agustus dapat disebut sebagai demo yang tidak biasa-biasa saja. Selain pada awalnya  mendapat mendapat dukungan dari Kampus-kampus besar UI, ITB, UGM, Unpad dan juga UII.  Para Guru Besar juga berbaur dengan mahasiswa bahkan para seniman Komika pun sangat antusias untuk berorasi. Diantara komika yang terdapat Reza Rahadian aktor yang memerankan Presiden Habibie dalam film Ainun.  Demonstrasi ini juga diwarnai dengan simbol Garuda Biru dan pesan kedaruratan yang menarik media asing untuk menyoroti dan menguak apa latar belakang demonstrasi yang tidak biasa ini. 

Demonstrasi kali ini juga mendapat support statemen politik dari   organisasi-organisasi mahasiswa, dari organisasi-organisasi profesi dan tokoh-tokoh penting termasuk Gunawan Muhammad yang sangat geram dengan kelakuan DPR RI. Nama terakhir ini secara spesifik penulis ungkap untuk menggambarkan bahwa pendukung Pak Jokowi yang demikian gigih pun sudah kehilangan kepercayaan kepada presiden.

Demonstrasi kali ini menunjukkan membuncahnya kegeraman dan kemuakan yang meletup. Contoh, robohnya pintu gerbang DPR diambrukkan mahasiswa. “Awalnya,  demonstran berhasil menyingkirkan kawat penghalang yang dipasang oleh petugas. Namun,  demonstran tetap merangsek ke dalam dan menjebol pagar gedung DPR. "Buka, buka, buka pintu, buka pintunya, sekarang juga," pekik mahasiswa. https://nasional.kompas.com/read/2024/08/22/14485451    

Demonstrasi tanggal 22 Agustus 2024 tepat kiranya disebut sebagai prahara politik.  Praharanya bukan terletak pada jebolnya gerbang DPR RI –yang sering dilabeli dengan istilah anarkis. Tetapi anarkismenya terletak pada ketidak patuhan Pemerintah dan DPR  dalam menyikapi putusan MK.  Perilaku politik yang mengabaikan  sumber kekuasaan dan  penyerahan kedaulatan rakyat melalui Pemilu inilah yang disebut prahara. Sesuai undang-undang yang dibentuk oleh Pemerintah bersama DPR RI, normalnya  DPR RI mendengarkan dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Inilah praharanya, DPR menggunakan kekuasaannya justru untuk melawan aspirasi dan kepentingan rakyat. Ini prahara yang tidak boleh terus menerus dilakukan dan meneror rakyat dengan kekuasaan yang melenceng. 

Politik Horor 

Sejalan dengan judul prahara politik, penulis Meara perlu mengaitkan dengan politik horor. Yaraf A. Piliang (2005: 128-129) memberikan gambaran yang memadai tentang politik horor. Meski background-nya sedikit berbeda dengan apa yang dijadikan reasoning dalam tulisan ini,  namun substansinya tentang politik horor sejalan dengan apa yang penulis maksudkan. Secara singkat ditegaskan, ketika efek ketakutan, kengerian, dan trauma dirasakan telah meluas, sehingga menjadi trauma global maka pelaku dan aktor intelektual di balik teror berharap akan mendapatkan keuntungan politik yang lebih besar dari peristiwa horor tersebut. Inilah politik dalam wujud mutakhirnya politik teror atau politik horor demi memperoleh laba politik. Kira-kira demikianlah situasi politik nasional kita, semakin hari semakin menunjukkan kecenderungan kehororan.

Suhu udara malam tanggal 21 Agustus terasa lebih panas. Menurut filing politik penulis situasi ini terkait dengan   bertemunya antara horor dan humor.  Begitu MK mengabulkan gugatan Partai Buruh dan Partai Gelora serta gugatan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah dan mahasiswa Podomoro University,  ada pihak yang benar-benar sangat terkejut. Sebegitu besar guncangan keterkejutannya muncullah gagasan untuk menolak sekaligus membentuk norma baru yang terkait dengan ambang batas dan usia calon kepala daerah dalam  Pilkada. Mengapa keterkejutan bisa bermuara pada humor karena kepanikan itu memunculkan sikap DPR menolak Putusan MK Nomor 60. Artinya, DPR yang membentuk UU tentang MK mestinya amat sangat tahu bahwa Putusan MK itu bersifat final dan mengikat secara hukum. Lalu ide   menganulir atau melawan inilah yang pantas  dikategorikan sebagai humor politik dari Senayan. 

Humor menjadi lebih konkret, jika kita ingat bahwa di Gedung DPR ada 560 Anggota DPR RI yang terhormat. Masa 560 orang semuanya dalam  khilaf, lupa, lupa fungsi, lupa janji dan lupa dari mana kekuasaan yang sedang mereka nikmati diperoleh. Ini betul2 humor, sebab hal ini tidak masuk akal. Bahkan ada tokoh legislatif memasalahkan karena ada orang yang bukan orang partai ikut-ikutan dalam pemilu atau pilkada. Ini juga humor. Bagaimana tidak, UU tentang Pemilu mereka yang buat membuat dan menetapkan kok bisa-bisanya mempertanyakan orang berpartisipasi dalam event politik Pemilu / Pilkada. Artinya prahara itu muncul sebenarnya karena tumbuhan kebiasaan emosi politik yang lebih mengemuka daripada rasional-formal politik untuk menjaga kondusifitas politik dan tujuan negara hukum. 

Akibat sikap tersebut muncullah tebaran horor yang dirasakan masyarakat. Bisa kita rasakan, baru saja beberapa jam mendengar “angin surga” Putusan MK tiba-tiba mendengar “humor” dan “horror” dari Senayan.  Horor ini tidaklah seburuk yang bisa kita bayangkan, sebab horor itu ternyata lebih menakutkan daripada yang bisa kita bayangkan. Segera semua elemen yang sudah merasakan kekuatan politik nasional seperti dipanggil dengan terompet Malaikat. Mereka bergerak dengan berbagai ide, dari membuat pernyataan, demos dan berbagai ekspresi politik yang intinya menolak humor Senayan dan sekaligus mengajukan berbagai tuntutan.  

Singkatnya politik horror dan humor itu diwakili oleh pernyataan Ketua Umum Golkar yang saja ditetapkan, Bahlil Lahadalia bahwa Presiden Jokowi adalah Raja Jawa. Makna Raja Jawa bia diartikan sebagai ancaman dan penghinaan demokrasi karena presiden dipilih dalam pemilihan presiden, lalu disebut raja untuk menakut-nakuti rakyat. Sisi lain dari pernyataan ngawur ini menurut penulis adalah humor yakni saking seringnya presiden menggunakan pakaian kebesaran raja, yang artinya merupakan sindiran berat terhadap presiden. Humornya adalah orang kepercayaan presiden menyindir presiden.  

Tesis politik horor akan meraih keuntungan ternyata tumbang persis sebagaimana tumbangnya pohon beringin oleh politik humor. Karena diakui atau tidak Baleg DPR RI dan DPR RI secara keseluruhan Nampak bermain setengah. Alangkah nistanya Lembaga yang membuat Undang Undang  (UU)  jika sampai melawan Putusan MK. Ebab itu artinya melawan substansi konstitusi dan Amanah moral dalam UU. Maka bermainlah DPR RI dengan politik humor: seolah-olah sendiko dawuh. Padahal mereka bersikap e ge pe (emangnya gue pikirin).  

Inkonsistensi Sikap Politik

Putusan MK tentang Pilpres 2024 tidak bisa dipungkiri bahwa putusan itu sangat kontroversial. Secara formal terdapat 3 (tiga) orang Hakim MK yang mengambil sikap dissenting opinion dari 8 (delapan) orang Hakim. Ini fakta yang menjadi dasar orang mengatakan bahwa putusan MK Nomor 90 tentang Pilpres penuh kontroversi. Secara emosional Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan dengan menangis. Tentu hal ini bisa diartikan sebagai pernyataan batiniah beliau yang tidak sepenuhnya yakin akan putusan yang akan dibacakannya.

Namun realita kontroversi ini direspon oleh semua Pasangan Calon Presiden dan Tim Pemenangan menerima. Bahkan masyarakat juga tidak melakukan perlawanan sebagaimana terjadi pasca Pilpres 2019. Saat ini, tiba gilirannya sikap negarawan dari Eksekutif (Presiden) dan Legislatif (DPR RI) diminta untuk menunjukkan sikap politik konstitusional mereka. Jika mereka bersikap melawan putusan MK bisa jadi pintu pembuka masyarakat dan Capres-cawapres beserta Tim Pemenangannya mempermasalahkan Putusan MK sebagaimana sikap Eksekutif dan Legislatif saat ini. Ini bisa menjadi prahara politik sepanjang tidak ada titik temu, bagaimana situasi politik saat ini diselesaikan dengan sikap negarawan dan taat konstitusi. Dalam di suatu kanal TV swasta, dua orang peserta menyatakan inti tuntutan yang sama intinya: jangan sampai setiap kali ada aturan yang akan dibentuk oleh Pemerintah dan DPR menunggu respon negatif dari masyarakat, untuk kemudian merevisi sikap politik.*


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Mendorong Praktik Baik Merdeka Belajar Oleh: Rizki P. Dewantoro Program Merdeka Belajar merupakan ....

Suara Muhammadiyah

17 March 2024

Wawasan

Berdaya di Peradaban Ekonomi Digital Oleh: Budi Utomo, M.M., Dosen Manajemen Bisnis Syariah FE....

Suara Muhammadiyah

1 August 2024

Wawasan

Nilai Keharusan Intelektualitas dalam Islam Oleh: Moch. Muzaki, Kader IMM IMM adalah organisasi i....

Suara Muhammadiyah

2 September 2024

Wawasan

Oleh : Drs M Jindar Wahyudi, MAg  Perjalanan hidup manusia tak ubahnya perjalanan waktu yang b....

Suara Muhammadiyah

19 September 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Surah Al-Fatihah bukanlah surah....

Suara Muhammadiyah

12 January 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah