Raja Penentu Masa Depan: Tafsir Reflektif QS. Al-Fatihah

Publish

5 November 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
137
Foto Ilustrasi

Foto Ilustrasi

Raja Penentu Masa Depan: Tafsir Reflektif QS. Al-Fatihah [1]: 4 dan Relevansinya dengan Visi Kehidupan di Era Digital

Oleh: Piet Hizbullah Khaidir, Ketua STIQSI Lamongan; Sekretaris PDM Lamongan; dan Ketua Divisi Kaderisasi dan Publikasi MTT PWM Jawa Timur

Allah Swt. memperkenalkan diri-Nya dalam surah pembuka al-Qur’an bukan hanya sebagai Rabb al-‘Ālamīn dan ar-Rahmān ar-Rahīm, melainkan juga sebagai “Māliki Yawm al-Dīn”—Raja yang menguasai hari pembalasan, pengendali masa depan eksistensial seluruh makhluk. Ayat ini menyiratkan bukan semata keyakinan eskatologis, tetapi juga struktur epistemik dan etis kehidupan manusia: bahwa seluruh perjalanan sejarah, ilmu, dan teknologi bermuara pada satu orientasi—kedaulatan Ilahi atas masa depan.

Di tengah derasnya gelombang era digital, ketika manusia merasa berkuasa atas waktu dan masa depan melalui algoritma, kecerdasan buatan, dan inovasi tanpa batas, QS. Al-Fatihah [1]:4 menjadi pengingat agung: masa depan bukan milik mesin, melainkan milik Tuhan yang menjadi Raja atas setiap detik kehidupan.

Hari akhir bukan sekadar hari pembalasan, tetapi hari masa depan hakiki—puncak dari seluruh visi hidup manusia. Karenanya, kesadaran akan Māliki Yawm al-Dīn adalah kesadaran visioner, yang menuntut manusia membangun masa kini dengan pandangan jauh ke depan, namun tetap tunduk di bawah ketetapan Sang Raja.

Dengan demikian, ayat ini tidak hanya berbicara tentang akhirat, tetapi juga menanamkan etos visioner, pilar epistemologi masa depan, dan arah spiritual dalam mengarungi dunia digital yang penuh disrupsi.

Allah sebagai Orientasi Kehidupan

Ayat Māliki Yawm al-Dīn menegaskan bahwa Allah adalah orientasi ontologis kehidupan—titik mula, arah tengah, dan tujuan akhir dari segala eksistensi. Dalam kerangka epistemologi Islam, hal ini membangun apa yang disebut pandangan dunia dengan basis tauhid (tauhidic worldview), yaitu pandangan hidup yang menyatukan seluruh dimensi ilmu dan amal dalam keesaan Tuhan.

Filsafat Islam memandang ontologi Ilahi ini bukan sebagai konsep metafisis yang abstrak, melainkan realitas aktif yang menggerakkan sejarah. Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din menjelaskan bahwa penyebutan Allah sebagai Malik mengandung dua dimensi: mulk (kekuasaan faktual atas alam semesta) dan milk (kepemilikan absolut atas setiap konsekuensi amal manusia). 

Dengan demikian, seluruh tindakan manusia, sekecil apa pun, berada di bawah domain penilaian dan takdir Ilahi.

Dalam konteks modern, orientasi ini menegaskan kembali pusat gravitasi moral umat manusia di tengah kehilangan arah akibat sekularisasi ilmu. Teknologi dan sains modern sering mengklaim kemandirian mutlak dari Tuhan, seolah masa depan dapat direkayasa tanpa keterlibatan transendensi. Padahal, sebagaimana ditegaskan oleh ayat ini, masa depan sejati adalah domain ketuhanan, bukan algoritma.

Orientasi kepada Allah sebagai Raja masa depan menanamkan nilai-nilai tanggung jawab eksistensial—bahwa inovasi, teknologi, dan pengetahuan bukan alat dominasi, melainkan instrumen ibadah dan pengabdian. Manusia menjadi khalifah bukan karena otonomi, tetapi karena amanah.

Etos Spiritual dalam Tauhidic Worldview

Tauhidic Worldview tidak berhenti pada kesadaran intelektual, tetapi berbuah pada etos spiritual yang menjiwai seluruh aspek kehidupan. Etos ini merupakan kekuatan batin yang menyatukan pengetahuan, moral, dan keimanan menjadi satu harmoni kesadaran: bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, bergerak dengan izin Allah, dan kembali kepada Allah.

Al-Raghib al-Asfahani menyebut etos ini sebagai al-‘ubūdiyyah al-ma‘rifiyyah—penghambaan yang lahir dari pengetahuan, bukan dari ketakutan. Inilah fondasi dari mentalitas mukmin yang beradab: berilmu tanpa takabur, berkuasa tanpa angkuh, berinovasi tanpa menafikan Sang Pencipta. Dalam pandangan ini, spiritualitas bukan penarikan diri dari dunia, tetapi keterlibatan aktif dalam dunia dengan kesadaran ilahiah.

Etos spiritual ini juga menjadi antitesis terhadap sekularisme digital, yang memisahkan nilai dari teknologi, dan makna dari inovasi. Ketika manusia memandang bahwa Tuhanlah Raja masa depan, maka setiap langkah sains dan teknologi berubah menjadi ibadah ilmiah—penyingkapan rahasia Ilahi dalam jagat semesta. Seperti diungkapkan oleh al-Razi: “Barangsiapa mengenal hukum-hukum alam, sesungguhnya ia sedang membaca ayat-ayat Allah dalam kitab ciptaan.”

Dengan demikian, tauhidic worldview melahirkan spiritualitas produktif—iman yang tidak pasif, tetapi menggerakkan; ibadah yang tidak ritualistik, tetapi transformatif. Etos inilah yang menuntun manusia agar tidak menjadi budak teknologi, melainkan pemakmur bumi dengan kesadaran langit.

Hari Akhir: Worldview Masa Depan

Konsep Yawm al-Dīn dalam pandangan mufassir klasik dan modern mencakup dua makna utama: hari pembalasan dan hari kejelasan makna kehidupan. Al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menegaskan bahwa penyebutan “hari agama” berarti hari ketika nilai-nilai kebenaran kembali menjadi ukuran absolut; semua ilusi dunia sirna, dan yang tersisa hanya hakikat.

Sementara itu, al-Sha‘rawi melihat ayat ini sebagai bentuk didikan spiritual tentang kesadaran masa depan: "Manusia hendaknya menakar setiap langkahnya dengan ukuran hari itu—hari ketika seluruh amal, ilmu, dan gagasan diuji kebenarannya di hadapan Allah". Dalam konteks modern, kesadaran ini membangun visi hidup yang futuristik namun berbasis moral.

Filsuf kontemporer Muhammad Iqbal mengaitkan Yawm al-Dīn dengan the dynamic self—kesadaran diri yang tumbuh dari keyakinan pada hari pertanggungjawaban. Iqbal menulis: “The Day of Judgment is not a cosmic finale, but the awakening of the self to the infinite responsibility before the Eternal.” 

Oleh karena itu, hari akhir bukan hanya doktrin teologis, tetapi kesadaran epistemologis dan etis tentang masa depan.

Worldview ini menjadi fondasi peradaban berorientasi eskatologis, di mana masa depan bukan sekadar hasil perencanaan strategis, melainkan hasil dari ketundukan dan kesadaran ilahiah.

Mengarungi Masa Depan di Era Digital

Era digital telah mengubah struktur kesadaran manusia. Masa depan kini terasa dekat, bahkan hadir di genggaman tangan melalui layar ponsel. Dunia seakan berpindah dari ruang real ke ruang algoritmik, dari interaksi nyata ke interaksi data. Dalam situasi ini, QS. Al-Fatihah [1]:4 menjadi kompas spiritual untuk menavigasi dunia baru yang serba cepat dan tanpa arah moral yang pasti.

Digitalisasi membuka peluang inovasi luar biasa, tetapi juga menimbulkan krisis makna. Manusia modern mengejar masa depan dengan kecepatan tinggi, namun tanpa panduan transendensi. Maka, mengembalikan kesadaran bahwa Allah adalah Raja masa depan berarti menanamkan prinsip spiritual responsibility dalam setiap aktivitas digital.

Dalam kerangka ini, tafsir reflektif atas ayat tersebut mengandung tiga pesan besar bagi era digital:

Pertama, Kesadaran Ketuhanan atas Masa Depan—masa depan bukan milik teknologi, melainkan berada di bawah ketentuan Māliki Yawm al-Dīn.

Kedua, Etika Akhirat dalam Dunia Virtual—dunia digital tidak bebas nilai; setiap ujaran dan data akan menjadi jejak pertanggungjawaban.

Ketiga, Visi Transendental dalam Teknologi—teknologi harus menjadi perpanjangan dari misi kemanusiaan Qur’ani, bukan sekadar alat ekonomi.

Dengan menanamkan kesadaran ini, manusia digital dapat mengubah dunia virtual menjadi ruang spiritual—tempat ilmu, etika, dan iman bersinergi membangun peradaban berbasis tauhid.

QS. Al-Fatihah [1]:4 mengajarkan bahwa masa depan sejati berada dalam genggaman Sang Raja, bukan dalam kendali manusia atau mesin. Dalam kalimat singkat Māliki Yawm al-Dīn, terkandung filsafat yang mendalam: Tuhan adalah pemilik waktu, penguasa sejarah, dan penentu masa depan.

Kesadaran ini harus menjadi fondasi bagi visi peradaban Islam di era digital. Di tengah krisis makna dan percepatan tanpa arah, umat Islam harus menanamkan kembali orientasi eskatologis dalam berpikir, meneliti, dan berinovasi. Masa depan bukan hasil kebetulan algoritmik, tetapi buah dari kesetiaan pada nilai-nilai Ilahi.

Sebagaimana diungkapkan oleh Ṭabaṭabā’ī: “Keberhasilan sejati bukan pada mempercepat masa depan, melainkan pada memastikan masa depan berjalan di bawah cahaya petunjuk Tuhan.”

Manusia modern yang beriman harus menjadi pionir masa depan yang bertakwa—menjadikan iman sebagai algoritma moral dan al-Qur’an sebagai navigasi digital kehidupan. Karena hanya dengan kesadaran akan Raja Penentu Masa Depan, manusia dapat menapaki jalan kemajuan tanpa kehilangan arah menuju keabadian.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Menghidupkan Ranting Muhammadiyah dengan Bahagia Oleh: Ahsan Jamet Hamidi – Ketua PRM Legoso ....

Suara Muhammadiyah

13 May 2024

Wawasan

Pengembangan Bisnis Muhammadiyah Oleh: Saidun Derani Berbisnis itu adalah kegiatan di mana seseora....

Suara Muhammadiyah

28 May 2024

Wawasan

Meninjau Ulang Syarat Mencari Ilmu Menurut Imam Syafii Oleh: Al-Faiz MR Tarman, Dosen Universitas M....

Suara Muhammadiyah

1 April 2024

Wawasan

Puasa dan Ketahanan Keluarga Oleh: Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I., Dosen UM Metro Hari pertama Rama....

Suara Muhammadiyah

11 March 2024

Wawasan

Meluruskan Persepsi: Mengapa Islam Adalah Agama Perdamaian dan Keadilan, Bukan Agresi Oleh: Donny S....

Suara Muhammadiyah

20 October 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah