RAKER PP FOKAL IMM: Dorong Peran Alumni Kawal KUHAP Baru dan Akuntabilitas Penegakan Hukum

Publish

24 December 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
136
Foto Istimewa

Foto Istimewa

JAKARTA, Suara Muhammadiyah — Pimpinan Pusat Forum Keluarga Alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PP FOKAL IMM) Periode 2023–2028 menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional Tahun 2025 yang dirangkaikan dengan Diskusi Panel Nasional bertema “KUHAP Baru dan Akuntabilitas Penegakan Hukum Indonesia”. Kegiatan ini diikuti lebih dari 200 peserta secara luring dan daring dari berbagai wilayah Indonesia, yang terdiri atas unsur pimpinan Muhammadiyah, akademisi, praktisi hukum, aparat penegak hukum, serta aktivis masyarakat sipil.

Rangkaian acara dibuka secara khidmat dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an, dilanjutkan laporan Ketua Panitia, Dr. Auliya Khasanofa, S.H., M.H. Dalam laporannya, ia menegaskan bahwa rapat kerja ini merupakan agenda strategis Bidang Hukum dan HAM PP FOKAL IMM dalam merespons pemberlakuan KUHAP Baru yang akan efektif bersamaan dengan berlakunya KUHP Nasional pada 2 Januari 2026. Menurutnya, perubahan besar dalam sistem hukum pidana Indonesia tersebut menuntut peran aktif alumni IMM untuk turut mengawal implementasi hukum yang adil, transparan, dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia.

Sejalan dengan hal tersebut, Ketua Umum PP FOKAL IMM, Prof. Dr. Ma’mun Murod Al-Barbasy, M.Si., dalam sambutannya menilai bahwa KUHAP Baru mengandung sejumlah kemajuan penting, antara lain penguatan perlindungan HAM, penguatan peran advokat sejak tahap awal proses hukum, serta peningkatan transparansi melalui mekanisme pengawasan, termasuk penggunaan CCTV dalam proses pemeriksaan. Namun demikian, Prof. Ma’mun menegaskan bahwa penetapan Polri sebagai penyidik utama dalam KUHAP Baru harus diiringi dengan komitmen kuat terhadap akuntabilitas, profesionalitas, dan keterbukaan terhadap kritik publik. Ia mengingatkan bahwa keadilan tidak boleh bergantung pada viral atau tidaknya suatu perkara, melainkan harus ditegakkan secara konsisten sebagai amanat negara hukum. Oleh karena itu, KUHAP Baru beserta regulasi kepolisian yang menyertainya harus menjadi instrumen reformasi kelembagaan guna memulihkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.

Komitmen tersebut juga ditegaskan oleh perwakilan Kapolri, Brigjen Pol. Ahmad Yusepgunawan, S.H., S.IK., M.H., M.Han., yang hadir menyampaikan keynote speech. Dalam paparannya, ia menekankan pentingnya sinergi antara aparat penegak hukum dan elemen masyarakat sipil, termasuk organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan PP FOKAL IMM. Ia menegaskan bahwa Polri terbuka terhadap masukan konstruktif serta menjadikan nilai integritas, profesionalisme, dan penghormatan terhadap ulama serta nilai-nilai keagamaan sebagai bagian penting dalam menjalankan tugas penegakan hukum di era reformasi.

Acara ini menghadirkan sejumlah narasumber, di antaranya Dr. Yusuf Warsyim, M.H. (Anggota Kompolnas RI), Prof. Dr. Suparji Ahmad, S.H., M.H. (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia), serta Muhammad Isnur, S.H.I., M.H. (Ketua Umum YLBHI). Diskusi panel tersebut dimoderatori oleh Dr. Septa Candra, S.H., M.H.

Dalam pemaparannya, Prof. Dr. Suparji Ahmad menilai KUHAP Baru sebagai tonggak penting dalam sejarah hukum pidana nasional. Meski demikian, ia mengingatkan bahwa keberhasilan KUHAP tidak hanya ditentukan oleh norma tertulis, melainkan sangat bergantung pada perubahan budaya hukum aparat penegak hukum. Ia mendorong pendekatan penegakan hukum yang lebih humanis, proporsional, dan berorientasi pada keadilan substantif, terutama bagi kelompok rentan. Menurutnya, pembaruan KUHP–KUHAP harus dimaknai sebagai momentum perubahan paradigma penegakan hukum, dari yang represif dan punitif menuju pendekatan yang lebih berkeadilan, restoratif, dan berpihak pada masyarakat kecil.

Lebih lanjut, Prof. Suparji menekankan pentingnya kolaborasi fungsional antaraparat penegak hukum polisi, jaksa, dan hakim dalam satu ekosistem peradilan pidana yang sehat dan terintegrasi. Ia juga mengingatkan bahwa KUHAP Baru masih memerlukan banyak peraturan pelaksana yang harus dikawal secara kritis agar tidak menyimpang dari nilai keadilan dan HAM yang telah dirumuskan dalam KUHP. Dalam konteks inilah, peran alumni dan masyarakat sipil menjadi sangat krusial, baik melalui pengawasan, masukan kebijakan, maupun keterlibatan langsung dalam struktur kekuasaan.

Sementara itu, Dr. Yusuf Warsyim menegaskan bahwa pengesahan KUHAP Baru merupakan momentum penting yang menuntut partisipasi aktif masyarakat sipil dalam mengawal akuntabilitas penegakan hukum. Ia menyoroti penegasan Polri sebagai penyidik utama dalam KUHAP Baru yang harus diimbangi dengan pengawasan lebih ketat, mengingat tingginya pengaduan masyarakat terkait kinerja kepolisian. Data pengaduan menunjukkan bahwa mayoritas keluhan berkaitan dengan tahap penyelidikan dan penyidikan, khususnya pelayanan laporan masyarakat serta dugaan penyalahgunaan kewenangan. Oleh karena itu, aturan pelaksana KUHAP harus memastikan seluruh tindakan upaya paksa—mulai dari penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, hingga pemblokiran rekening—dilakukan secara akuntabel, jelas batasannya, dan tidak membuka ruang diskresi berlebihan.

Ia juga menegaskan bahwa persoalan utama penegakan hukum di Indonesia bukan semata pada norma tertulis, melainkan pada praktik di lapangan yang kerap melahirkan kekerasan, penyiksaan, kriminalisasi, dan impunitas aparat. Pengalaman panjang masyarakat sipil menunjukkan bahwa kelompok rentan tanpa pendampingan hukum paling sering menjadi korban, sementara pelanggaran aparat jarang berujung pada sanksi pidana. Karena itu, pengawalan KUHAP Baru tidak boleh berhenti pada diskusi, tetapi harus dilanjutkan dengan keterlibatan aktif dalam proses kebijakan, pengawasan institusional, serta keberpihakan nyata kepada korban.

Dari perspektif masyarakat sipil, Muhammad Isnur menyampaikan kritik tajam terhadap sejumlah ketentuan KUHAP Baru yang dinilai masih membuka ruang penyalahgunaan kewenangan. Ia menegaskan bahwa KUHAP merupakan instrumen hukum yang sangat menentukan kebebasan seseorang, karena melalui KUHAP negara diberi kewenangan untuk menangkap, menahan, menggeledah, menyita, hingga membatasi hak-hak warga negara. Oleh karena itu, kualitas KUHAP mencerminkan apakah Indonesia benar-benar menjalankan prinsip negara hukum yang beradab atau justru membiarkan aparat memiliki kekuasaan yang berlebihan.

Menurutnya, proses pembaruan KUHAP masih menyisakan persoalan serius, mulai dari kurang transparannya naskah undang-undang hingga problem dalam proses legislasi. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembaruan hukum acara pidana belum sepenuhnya diarahkan untuk melindungi hak asasi manusia, melainkan masih diwarnai kompromi kekuasaan dan lemahnya akuntabilitas.

“Pengawasan publik dan partisipasi aktif organisasi masyarakat sipil menjadi kunci agar KUHAP Baru tidak mengulang problem klasik kekerasan, kriminalisasi, dan ketidakadilan dalam praktik penegakan hukum,” pungkasnya.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Berita

PURWOREJO, Suara Muhammadiyah – Universitas Muhammadiyah Purworejo (UMPwr) kembali menunjukkan....

Suara Muhammadiyah

14 February 2025

Berita

BULUKUMBA, Suara Muhammadiyah - Universitas Muhammadiyah Bulukumba (UM Bulukumba) menjadi tuan ....

Suara Muhammadiyah

12 November 2025

Berita

MEDAN, Suara Muhammadiyah - Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Prof Dr Agussani, ....

Suara Muhammadiyah

10 May 2025

Berita

CILACAP, Suara Muhammadiyah - Rapat Kerja Daerah (Rakerda) LRB - MDMC PDM Cilacap menjadi ajang....

Suara Muhammadiyah

13 May 2024

Berita

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah mengumumkan bahwa Hari Raya....

Suara Muhammadiyah

8 April 2024