Resonansi Biophilic Menyembuhkan Jiwa yang Kering di Era Digital
Oleh: Ratna Arunika, Anggota LLHPB PWA Jawa Timur
Pada orang-orang yang tinggal di perkotaan, dikelilingi himpitan hutan-hutan beton yang menjulang tinggi, deru kendaraan, layar-layar digital, dan ritme waktu yang selalu tergesa. Di tengah layar ponsel yang tak pernah mati, apakah otak kita masih ingat bagaimana rasanya hidup? Otak kita seperti baterai yang terus bekerja tanpa sempat diisi ulang. Otak bekerja dalam mode bertahan hidup, tegang, waspada, dan cepat lelah. PFC (prefrontal cortex) terus aktif untuk memproses informasi berlebihan, hingga muncul gejala kelelahan mental (cognitive fatigue). Muncul insomnia, kecemasan, dan rasa kosong yang tak bisa dijelaskan.
Ada sesuatu yang selalu berdenyut di dalam diri manusia, sesuatu yang lebih tua dari peradaban, lebih dalam dari logika, dan lebih halus dari suara pikirannya sendiri. Itulah Biophilia, cinta naluriah terhadap kehidupan dan segala yang hidup.
Biophilia pertama kali dipopulerkan oleh biolog Edward O.Wilson (1984), yang menyebut biophilia sebagai the innate tendency to focus on life and lifelike processes. Kecenderungan bawaan manusia untuk mencintai, tertarik, dan terhubung dengan bentuk-bentuk kehidupan lain. Dengan kata lain, biophilia bukan sekedar perasaan senang terhadap alam, tetapi sebuah bentuk kecerdasan emosional dan spiritual tersembunyi, yang membuat manusia mampu merasa utuh saat berada di tengah semesta.
Kita sering berbicara tentang IQ, EQ, bahkan SQ. Tapi ada satu kecerdasan yang jarang dibahas, kecerdasan ekologis. Kemampuan untuk mengenali, merasakan, dan berinteraksi secara harmonis dengan kehidupan di sekitar. Inilah wajah lain dari biophilia, kecerdasan tersembunyi yang tidak diukur oleh angka, tetapi terasa dalam kepekaan hati. Kecerdasan ini membuat kita merasa damai saat menatap laut atau mendengar hujan, menenangkan diri saat menyentuh tanah, atau tiba-tiba rindu aroma bumi setelah hujan turun.
Otak bereaksi seolah menemukan rumah yang lama hilang. Bagian otak yang disebut Prefrontal Cortex , pusat kendali logika, perhatian, dan perencanaan akan merasa tenang, seperti mesin yang perlahan menurunkan kecepatan. Penelitian neuropsikologi menunjukan bahwa aktivasi PFC menurun ketika seseorang berada di ruang hijau. Dimana, otak berhenti dari mode “On” terus menerus, dan beralih ke mode pemulihan.
Sementara, amigdala sebagai pusat emosi yang berperan dalam merespon rasa takut dan stres, juga mengalami penurunan aktivitas yang signifikan. Efeknya? Denyut jantung melambat, tekanan darah menurun, hormon stres (kortisol) berkurang, sehingga pikiran menjadi lapang. Gelombang otak melambat dari frekuensi beta (fokus tinggi) ke alpha dan theta (relaksasi dan imajinasi). Dopamin dan serotonin meningkat lembut, memberikan sensasi bahagia. Alam menjadi terapi neurosensorik alami. Kontak dengan lingkungan alami juga meningkatkan aktivitas pada anterior cingulate cortex dan insula, dua bagian otak yang berhubungan dengan empati, kesadaran diri, dan rasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.
Efek Relaksasi Fisiologis dan Psikologis dari Senyawa dan Partikel yang Dilepaskan Pohon
Beberapa penelitian menunjukan bahwa jenis partikel dan senyawa yang dilepaskan oleh pohon dapat memberikan efek relaksasi fisiologis dan psikologis pada manusia. Pohon pinus, cemara Jepang, oak dan Ginko biloba menghasilkan BVOCs (Biogenic Volatile Organic Compounds) senyawa organik volatil alami seperti α-pinene dan limonene yang dapat membantu menurunkan kadar kortisol, memperlambat detak jantung, dan meningkatkan aktivitas parasimpatik (Penelitian di Jepang bidang Foresth bathing atau Shinrin-yoku).
BVOCs yang dilepaskan pohon dapat bereaksi dengan ozon dan senyawa atmosfer lain membentuk partikel halus alami yang memiliki aroma khas hutan, dan memiliki efek potensial meningkatkan persepsi kualitas udara alami serta memberikan efek psikologis relaksasi melalui stimulasi sensorik penciuman.
Beberapa pohon, terutama yang tumbuh di lingkungan lembap seperti hutan pinus dan cemara melepaskan ion negatif dan fitoncida. Senyawa antimikroba volatil ini memberikan efek meningkatkan mood, mengurangi stres, menstimulasi sistem kekebalan tubuh, dan meningkatkan aktivitas otak gelombang alfa.
Biophilia dalam aktivitas keseharian
Namun biophilia tidak harus selalu berarti mendaki gunung atau berlibur ke pantai jauh.
Ia bisa dimulai dari hal-hal kecil yang sederhana seperti membuka jendela di pagi hari, menatap langit selama beberapa menit, menyentuh daun di halaman, atau sekadar menanam tanaman kecil di meja kerja. Dalam penelitian fMRI, seseorang yang berjalan di taman selama 20 menit menunjukan peningkatan konektivitas jaringan default mode network (DMN), sistem otak yang menyalakan kesadaran reflektif.
Menambahkan unsur alami seperti cahaya alami, tanaman, air, atau bahan alami di ruang kerja meningkatkan rasa nyaman dan keterhubungan dengan alam. Ruang yang memiliki unsur biophilic design terbukti meningkatkan produktivitas dan mengurangi stres (Kellert, 2018).
Setiap interaksi kecil dengan alam adalah “kode rahasia” yang mengembalikan otak pada keseimbangannya. Sebuah riset dari Journal of Environmental Psychology (2021) menunjukkan bahwa hanya dengan menatap foto lanskap alami selama lima menit, seseorang sudah mengalami penurunan aktivitas amigdala dan peningkatan perasaan rileks.
Anthropocene dan Gejala Hilangnya Biophilia
Beberapa peneliti menyebut bahwa defisit biophilia (hilangnya cinta dan empati terhadap alam) adalah akar penyebab munculnya era Anthropocene (Soga & Gatson, 2016). Anthropocene menandai krisis hubungan manusia dengan alam, perubahan iklim, deforestasi, kepunahan spesies, dan pencemaran adalah bukti keterputusan manusia dan keseimbangan ekologis.
Biophilia bisa menjadi antitesis sekaligus solusi moral dan psikologis terhadap dampak Anthropocene. Melalui peningkatan kesadaran ekologis, praktik berkelanjutan, dan biophilic design, manusia dapat menata kembali relasinya dengan alam.
Manusia sebagai Khalifah dan Penjaga Alam
Islam menegaskan bahwa manusia diberi tanggung jawab untuk memelihara keseimbangan ekosistem dan tidak merusak ciptaan Allah. Seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur'an:
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya." QS. Al-A‘raf [7]: 56
"Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi..." QS. Fāṭir [35]: 39
Dalam ayat lain Al-Quran menggambarkan alam sebagai “ayat Allah”, yaitu tanda-tanda kebesaran-Nya yang mengundang manusia untuk merenung, mengagumi, dan mencintainya.
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal." QS. Ali ‘Imran [3]: 190–191.
Ayat ini menggambarkan kontemplasi dan keterhubungan spiritual manusia dengan alam, serupa dengan dimensi biophilic mindfulness dalam psikologi modern, merasakan kehadiran Tuhan melalui ciptaan-Nya.
Dalam pandangan Islam, seluruh makhluk hidup bukan sekadar benda mati, tetapi juga berdzikir dan bertasbih kepada Allah.
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمٰوٰتُ السَّبْعُ وَالْاَرْضُ وَمَنْ فِيْهِنَّۗ وَاِنْ مِّنْ شَيْءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهٖ وَلٰكِنْ لَّا تَفْقَهُوْنَ تَسْبِيْحَهُمْۗ اِنَّهٗ كَانَ حَلِيْمًا غَفُوْرًا
"Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah; dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak memahami tasbih mereka." QS. Al-Isra [17]: 44
Ayat tersebut memberikan pemahaman bahwa manusia memiliki hubungan spiritual dan emosional dengan alam, bukan hanya hubungan fungsional atau ekonomi. Menurut para mufassir (seperti Al-Razi dan Ibn Kathir), setiap makhluk memiliki “getaran” atau frekuensi dzikir tersendiri, yakni bentuk kesadaran mereka terhadap Sang Pencipta. Ketika manusia berinteraksi dengan alam dalam keadaan tafakkur , ia sejatinya ikut terhubung dengan harmoni dzikir universal ini.
Menurut para ulama sufi seperti Jalaludin Rumi dan Imam Al Ghazali menafsirkan bahwa ketenangan batin yang muncul saat seseorang berada di alam merupakan resonansi ruhani terhadap tasbih makhluk hidup. Rumi bahkan menulis bahwa “setiap daun berdesir dalam dzikir, dan siapa yang mendengarnya dengan hati akan ikut berdzikir bersamanya.”
Rasulullah Muhammad SAW bersabda:
“Tidaklah seorang Muslim menanam pohon atau menabur benih, lalu burung, manusia, atau hewan memakan darinya, kecuali itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini sebagai bukti nilai spiritual dan sosial merawat alam, dimana tindakan ekologis seperti menanam pohon dipandang sebagai ibadah dan amal jariyah.
Dalam pandangan Islam, biophilia sejalan dengan konsep khilafah - tanggung jawab manusia menjaga bumi. Tafakur -merenungkan ciptaan Allah. Tasbihul makhluqat - pengakuan bahwa seluruh alam hidup bertasbih, dan Mizan - menjaga keseimbangan ekologis.
Anthropocene mencerminkan fase ketika manusia melampaui batas tanggung jawabnya sebagai khalifah fil ardh, krisis akibat dominasi manusia atas alam. Islam menolak karakter Antropocentric destructiveness dan mendukung konsep biophilic stewardship (pengasuhan ekologis).
Bergabung dengan kegiatan seperti penanaman pohon, bersih-bersih sungai, atau edukasi lingkungan dapat memperkuat rasa tanggung jawab ekologis. Kegiatan sosial yang melibatkan alam memperkuat dimensi kolektif biophilia dan meningkatkan kesejahteraan sosial (Mayer & Frantz, 2004).
Pada akhirnya, biophilia bukan hanya teori tentang cinta manusia pada alam, ia adalah cermin dari ingatan spiritual yang terlupakan. Di dalam tubuh manusia, alam masih hidup, mengalir dalam darah, bernafas dalam paru-paru, berdenyut dalam jantung. Ketika kita kembali kepada alam, sebenarnya kita sedang kembali kepada diri kita sendiri.
Neuropsikologi telah membuktikan bahwa koneksi dengan lingkungan alami menumbuhkan keseimbangan sistem saraf, menajamkan empati, dan memperkuat daya tahan mental terhadap stres. Namun di atas semua itu, biophilia adalah panggilan kesadaran agar kita tidak hanya menyelamatkan planet ini, tetapi juga menyelamatkan jiwa yang perlahan kering di dalam tubuh manusia modern.
Jangan biarkan otak kita menjadi padang tandus tanpa hijau kehidupan. Hubungkan kembali kesadaran kita dengan alam, karena di sanalah kebahagiaan sejati tumbuh. Sebab, dalam cinta terhadap alam, kita menemukan diri kita yang sejati. Biophilia mencerminkan kesadaran tauhid ekologis. Mencintai dan merawat alam bukan sekadar perilaku etis, tetapi ibadah dan manifestasi tauhid ekologis dalam Islam. (Vivi)


