Salam Hormat untuk Bapak Ibu Guru
Prof. Dr. Imam Sutomo, Ketua PDM Salatiga 2010-2022, Rektor IAIN Salatiga 2006-2014.
"My father brought me down from heaven to earth. My teacher lifts me up from earth to heaven".
"Ayahku menurunkanku
dari surga ke bumi. Guruku mengangkatku dari bumi ke surga".
(Alexander Agung)
Sejak zaman dahulu masyarakat membutuhkan kehadiran guru, karena ketidakmampuan para orang tua untuk mendidik putra putrinya sendiri sepanjang waktu. Ketika sumber belajar sangat terbatas (belum ada alat tulis dan buku), maka posisi guru sebagai pendidik sekaligus sumber pengetahuan. Penghormatan kepada guru adalah mutlak agar siswa dapat memperoleh ilmu dari mulut sang guru secara tatap muka.
Murid yang sengaja membolos atau tidak memperoleh restu dari guru, secara otomatis ia tidak mendapatkan pengetahuan. Dari awal peradaban sampai temuan teknologi komunikasi yang melahirkan revolusi pendidikan ke Empat (versi Eric Ashby) masyarakat tetap membutuhkan kehadiran profil guru sebagai simbol kepemilikan ilmu dan keberlangsungan aktivitas pendidikan.
Kini, masyarakat modern di era digital (revolusi kelima) hidup dalam keberlimpahan sumber informasi dan teknologi komunikasi canggih, tetap membutuhkan sosok guru, profesi yang belum tergantikan dalam lintasan zaman.
Senin (14/07/2025) awal siswa Indonesia masuk sekolah tahun pelajaran 2025/2026. Kesibukan luar biasa para orang tua yang putra-putrinya masuk Pendidikan Pra Sekolah dan Sekolah Dasar. Imbauan kepada orang tua untuk mengantar putra-putri terbaiknya ke sekolah bermakna jamak, tidak hanya pemenuhan tugas antar-jemput. Kunjungan on the spot (di tempat lokasi) Prof. Abdul Mu’ti, M.Ed. (Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah) di hari pertama memperkuat komitmen bidang kependidikan serta pengakuan potensi signifikan orang tua dan sekolah untuk mendukung keberhasilan anak dalam pembelajaran. Tidak diragukan, profil Prof. Abdul Mu’ti dalam Kabinet Merah Putih punya daya magnet berterima di masyarakat karena terpenuhinya persyaratan kualifikasi akademik, kapasitas keilmuan, kapabilitas, dan kepiawaian retorika di depan publik dengan gaya santun bermartabat.
Gayung bersambut, Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Bapak Dr. Wihaji, S.Ag., M.Si) meluncurkan "Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI)" yang mengajak para bapak mengantar putra putrinya ke sekolah. Makna tersiratnya para orang tua diberi 'warning' (peringatan) untuk mendampingi putra putrinya lebih dari sekadar antar-jemput, tetapi kesadaran menghidupkan tradisi penyerahan tanggung jawab kepada sekolah untuk mendidik anak-anak. Sekolah, lebih spesifik para guru, mempunyai otoritas penuh memberikan bimbingan, pengarahan, pengajaran kepada sejumlah anak dalam kurun waktu yang terbatas (jam belajar normal), sedangkan para orang tua (seharusnya) lebih banyak waktu mendampingi anaknya sendiri.
Cara berpikir praktis akan menolak segala bentuk kemubaziran waktu, apalagi mengantar ke sekolah jelas benturan dengan ritme kerja orang tua. Kebijakan dua menteri menggugah kesadaran orang tua untuk mempererat hubungan ayah-anak, sekaligus hubungan sekolah-orang tua yang terjalin melalui komunikasi efektif menumbuhkan trust (kepercayaan) makin meningkat. Manakala orang tua sudah meragukan sekolah dalam menjaga kualitas pendidikan, maka kepercayaan akan berkurang dan pada waktunya sekolah akan ditinggalkan atau kekurangan murid.
Masyarakat mempunyai hak penuh memilih sekolah suka-suka hati, sehingga tidak dapat digiring untuk masuk sekolah/madrasah tertentu. Meningkatnya akses informasi dan kebebasan berekspresi, masyarakat mencermati tampilan guru di bawah standar kelayakan. Protes dan demo tidak lagi aneh, bahkan murid pun berani melawan guru yang dianggap tidak becus mengajar.
Ungkapan “Those who can, do; those who can’t, teach” secara literal (harfiah) orang yang tidak punya keterampilan apa-apa bisa masuk profesi guru (mengajar) dapat dibuktikan dari tampilan guru yang sekenanya dan seenaknya melaksanakan formal administrasi mengajar. Tugas asal-asalan, tidak peduli dengan produk pembelajaran, bisa jadi guru lebih suka memperbanyak hari libur sekolah agar berlama-lama rileks di rumahnya. Ejekan terhadap *profesi guru akan terpinggirkan oleh perkembangan teknologi digital* bisa dibenarkan untuk para guru yang tidak mempunyai daya tarik bagi murid-muridnya. Realitanya, memang banyak guru yang tidak kompeten dari aspek keilmuan, moralitas, etos kerja sebagai pendidik, dan tampilan lesu darah saat mengajar di depan kelas.
Steele (2022:13) menggambarkan suara batin siswa, “Sebagian besar anak-anak mengetahui isi hati Anda. Mereka dapat mengetahui apakah Anda benar-benar peduli pada mereka. Mereka dapat mengetahui apakah Anda tulus... dan mereka menghargai keaslian itu.” Nada sumbang mendendangkan rendahnya kualitas guru sering diberitakan, tetapi pada sisi lain masyarakat di belahan dunia mana pun tetap menjunjung tinggi profesi guru. Pemerhati pendidikan sejati pasti menolak aforisme bernada negatif terhadap kemuliaan tugas mendidik. Para pemimpin dunia yang sukses tidak akan melupakan jasa guru yang telah mengantarkan pada karier puncaknya.
Kalimat indah Alexander Agung bermakna sangat dalam dan masih relevan dengan konteks masa sekarang. Penghargaan tinggi Alexander terhadap guru, bukan berarti merendahkan posisi orang tua yang telah melahirkannya. Pemaknaan kontekstual dan menelaah substansi yang tersembunyi di balik kalimat menjadi penting untuk disingkap agar mengenal lebih dalam pesan yang disampaikannya. Pernah pada masanya masyarakat sangat menghargai profesi guru, setidaknya punya strata sosial tersendiri di lingkungannya.
Panggilan "Pak Guru" sebagai bentuk prestise (wibawa) yang dimiliki melekat sampai akhir hayatnya. Simpelnya, para guru adalah insan terdidik pertama dalam lingkungan sosial yang menghidupinya.
Sejarah perjalanan guru Indonesia belum dapat mencapai target memuaskan secara ekonomi sejak zaman kemerdekaan. Barisan Oemar Bakri masih "ngos-ngosan" mengejar nasib keberuntungan untuk menyejahterakan keluarganya secara finansial. Cerita guru "nyambi" kerja serabutan sebagai dalih tak terbantahkan bahwa profesi idealnya belum menjanjikan bonus material. Watak dasar alami manusia yang selalu resah menghadapi kompleksitas kehidupan jelas-jelas dirasakan para guru. Senyum ceria guru di depan siswa bukan basa basi atau dipaksakan, tetapi sungguh tragis setelah keluar dari ruang kelas berubah lesu dan cemberut merasakan tekanan kebutuhan harian rumah tangganya. Apa pun tuntutan idealita profil guru profesional akan berbalik pada titik rendah jika kebutuhan dasar minimum tidak terpenuhi secara layak.
Profesi mulia yang disematkan kepada guru perlu upaya 'spiritual healing' (pemulihan spiritual), khususnya individu-individu yang memendam penderitaan batin dalam menunaikan tugas sebagai guru. Stabilitas rohani perlu dijaga dalam menghadapi aneka ragam tantangan di ruang kelas dan belum terpenuhinya kebutuhan rumah tangganya. Beban berat para Nabi melayani provokasi musuh, tidak berpengaruh terhadap kinerja dakwah rutin kepada kaumnya. Kelelahan fisik dan kesumpekan batin para guru diharapkan tidak kendor semangat melayani anak didik dengan ikhlas, sebagaimana yang diperankan para nabi.
Jika manusia lumrah tidak seimbang disejajarkan dengan strata nabi, maka upaya *sublimasi* (mengubah emosi dan dorongan negatif) perlu ditumbuhkan kepada para guru pada jenjang KB/TK/SD/SMP/SMA sebenarnya sama-sama membawa misi dakwah Rasul. Tugas guru TK tidak segampang yang diduga, karena butuh keterampilan khusus untuk melayani kebutuhan psikologis anak-anak. Meskipun pada level pra sekolah, guru TK punya misi suci mendidik anak bangsa, produk pembelajaran disesuaikan dengan tingkat berpikir anak.
Awal pembelajaran 2025/2026 menandai gerakan pembaruan tekad perbaikan proses pendidikan, minimal penyadaran kepada orang tua, guru, sekolah untuk berkomitmen membuhul niat memerhatikan "anak" secara sungguh- sungguh, bahwa pendidikan kepada anak benar-benar harus dipersiapkan untuk investasi di masa mendatang. Tiga unsur utama (orang tua, sekolah, dan masyarakat) sebagai fondasi kekuatan aktivitas pendidikan harus diberdayakan secara konsisten berkelanjutan, sehingga terjamin bagi anak didik kelangsungan belajar secara nyaman.
Selama enam tahun penuh, anak-anak merasa _enjoy_ pergi ke sekolah (SD/MI), guru diminta pertanggungjawaban untuk mengawasinya, dan orang tua leluasa memanfaatkan waktu efektif bekerja. Anak dan orang tua tidak harus memahami KTSP, Kurtilas, Merdeka Belajar, P5, _Deep Learning_ dan lainnya, cukuplah para guru saja yang dibuat pusing untuk menyampaikan bahan pelajaran dalam ruang tertutup.
Anak usia Sekolah Dasar dan Menengah sangat membutuhkan pembimbing belajar, panutan moral, dan teladan kehidupan yang idealnya diperankan oleh para guru di sekolah. Dinamika zaman menuntut kerja ekstra guru yang mencintai anak didik dan komitmen untuk mendampinginya dalam ruang pembelajaran. Pandemi _Covid-19_ di Indonesia adalah sebuah episode yang menggambarkan kesulitan luar biasa orang tua berperan sebagai guru (tidak digaji) mendidik anaknya sendiri di rumah. Tanpa iklan, pandemi tersebut mempromosikan peran vital guru dalam mendidik anak-anak, sekaligus keluhan massal orang tua melayani anak.
Ekspektasi tinggi terhadap profesi guru mempunyai dasar argumen bahwa hanya para guru hebat yang niat bekerja mendidik anak, bukan orang tua yang konsentrasinya lebih condong untuk bekerja dan bekerja tanpa anak di sisinya.
Danny Steele dalam rangkaian tulisan ringan satu tahun (365 hari) menggambarkan problem anak sekolah, harapan, cita-cita, juga pribadi guru, etos kerja, yang keseluruhannya bagian dari pengalaman pribadi. Harapan Steele kepada para guru: _"Saya berharap Anda akan melihat diri Anda sendiri --bahwa Anda akan terhubung kembali dengan inti pengajaran-- bahwa Anda akan merasa didukung dan didorong untuk melanjutkan profesi mulia Anda. Kutipan-kutipan ini dimaksudkan untuk memotivasi Anda, menantang Anda, dan membantu Anda menjaga perspektif pekerjaan Anda.
Saya harap Anda menikmatinya. Saya harap kutipan-kutipan ini memelihara "jiwa guru" Anda.