SURAKARTA, Suara Muhammadiyah - Dalam rangka menyambut musim haji tahun 2025, Biro Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menyelenggarakan Kajian Tarjih secara daring pada Selasa (6/5), dengan tema “Tuntunan Manasik Haji berdasarkan Munas Tarjih Muhammadiyah”.
Kajian ini menghadirkan Yayuli, SAg., MPI., yang juga merupakan Kabid Pengalaman AIK dan Kaderisasi Pondok Lembaga Pengembangan Pondok Islam dan Kemuhammadiyahan (LPPIK) UMS.
Dalam paparannya, Yayuli menegaskan pentingnya manasik haji dilakukan sesuai tuntunan syariat, bukan berdasarkan kebiasaan turun-temurun yang belum tentu berdasar.
“Tarjih Muhammadiyah berupaya membersihkan ibadah dari unsur bid’ah yang menyimpang,” tegasnya.
Kajian ini juga menyoroti peran penting para pembimbing haji dalam membekali jamaah dengan pengetahuan yang benar dan mendalam. Pemahaman yang dangkal dapat menyebabkan kekeliruan dalam menjalankan ibadah haji.
Ia mengajak peserta untuk membaca dan memahami buku “Manasik Haji dan Umrah” terbitan Majelis Tarjih dan Tajdid yang disusun berdasarkan pendekatan tarjih dan istinbath yang mendalam.
Yayuli mencontohkan beberapa praktik manasik yang biasa dilakukan masyarakat namun tidak memiliki landasan dalil yang kuat, seperti ritual simbolik yang ditambahkan tanpa dasar dari Nabi.
Menariknya, sesi tanya jawab di akhir kajian turut memberikan dinamika tersendiri. Salah satu peserta, Prof Dr Kuswaji Dwi Priyono, MSi, yang juga sebagai dosen UMS, mengangkat pertanyaan kritis terkait pelaksanaan ibadah Tarwiyah yang menjadi bagian dari sunnah dalam manasik haji.
Ia mempertanyakan alasan Muhammadiyah tidak mengusulkan secara formal kepada pemerintah untuk memberikan fasilitas kepada jamaah yang berkeinginan melaksanakan Tarwiyah.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Yayuli menjelaskan bahwa Muhammadiyah sejatinya mendorong pelaksanaan Tarwiyah sesuai sunnah Rasulullah, namun tetap mengedepankan asas kemaslahatan.
“Secara tarjih, Muhammadiyah tidak melarang Tarwiyah, bahkan menganjurkan jika mampu. Namun pemerintah memiliki pertimbangan logistik dan keamanan, terutama untuk menghindari kemacetan atau risiko lainnya,” jelasnya.
Yayuli menambahkan bahwa Majelis Tarjih mengembalikan keputusan Tarwiyah kepada kebijakan masing-masing pembimbing haji dan kesiapan jamaah. Menurutnya, pelaksanaan Tarwiyah memang diserahkan kepada kesanggupan fisik dan kondisi riil di lapangan.
“Karena ini bagian dari sunnah, maka tidak boleh mengalahkan kewajiban. Jika menyebabkan mudarat, maka lebih utama ditinggalkan,” pungkasnya. (Yusuf/Humas)