Teologi Al-Ma'un dan Masyarakat Lingkar Tambang

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
132
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Oleh: Herman Oesman, Dosen Sosiologi FISIP UMMU

Tanggal 30 Juni - 01 Juli 2025, Ketua PP Muhammadiyah, Dr Busyro Muqaddas, MH., beserta pimpinan LHKP, MHH, dan MPKSDI PP Muhammadiyah, ditemani LAZISMU PP Muhammadiyah, MLH PWM, MHH PWM, dan MDMC Maluku Utara, berkesempatan melakukan kunjungan ke Halmahera Tengah, melewati PSN Kawasan Industri IWIP Lelilef, Gemaf, dan berakhir di Sagea.

Sebelum menuju Sagea, terlebih dahulu rombongan Muhammadiyah diterima Bupati/Wakil Bupati Halmahera Tengah, serta PDM  Halmahera Tengah. Makan siang dan berbincang pengembangan Muhammadiyah di Halmahera Tengah.

Dalam perjalanan, rombongan Muhammadiyah sempat berbincang dengan beberapa tokoh masyarakat di Lelilef Waebulan tentang dampak kehadiran proyek industri ekstraktif.
Rombongan juga  sempat menyaksikan kondisi sungai Lukulamo yang berwarna coklat keruh.

Perjalanan berakhir di Desa Sagea, tepat jelang sore. Busyro Muqaddas sempat menyampaikan petuah dan pesan terkait keutamaan menjaga silaturrahim antara sesama, dan juga dengan lingkungan.

Sebelum shalat maghrib, melalui Lazismu Muhammadiyah diserahkan bantuan rendangmu, produksi UMKM binaan Muhammadiyah.

Kepedulian Sosial

Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modernis di Indonesia tidak hanya dikenal melalui aktivitas dakwah dan pendidikan, tetapi juga dalam kepedulian sosial terhadap kelompok-kelompok marginal, termasuk masyarakat lingkar tambang.

Di tengah ekspansi industri ekstraktif yang merambah wilayah-wilayah pedesaan dan pesisir, Muhammadiyah tampil sebagai aktor penting dalam membela keadilan sosial dan ekologis. Kepedulian ini termanifestasi dalam berbagai program advokasi, pendidikan, pemberdayaan ekonomi, hingga penyadaran lingkungan hidup. Melalui teologi Al-Ma'un, Muhammadiyah membangun respons terhadap tantangan yang dihadapi masyarakat lingkar tambang, baik dalam aspek sosial, ekonomi, maupun spiritual.

Masyarakat lingkar tambang merupakan kelompok masyarakat yang hidup di sekitar wilayah konsesi pertambangan. Mereka merupakan komunitas paling terdampak oleh operasi tambang, baik secara langsung melalui kehilangan lahan, polusi, maupun secara tidak langsung melalui perubahan sosial-budaya. Dalam banyak kasus, perusahaan tambang membawa janji kesejahteraan namun berujung pada konflik agraria, degradasi lingkungan, kemiskinan struktural, dan ketimpangan gender.

Menurut studi Walhi (2021), lebih dari 60% konflik agraria di Indonesia terkait dengan kegiatan ekstraktif, termasuk pertambangan. Dalam kasus Halmahera Tengah misalnya, keberadaan industri nikel berskala besar telah merubah struktur sosial masyarakat (termasuk masyarakat adat), mengganggu ketahanan pangan, serta menimbulkan berbagai masalah kesehatan akibat pencemaran (WALHI Maluku Utara, 2022).

Respons Muhammadiyah terhadap masyarakat lingkar tambang berakar pada semangat teologi Al-Ma’un, yang mengajarkan pentingnya pembelaan terhadap kaum dhuafa, anak yatim, dan kelompok miskin (Rakhmat, 1995 : 85). Teologi ini menekankan bahwa keberislaman seseorang tidak cukup dinilai dari ibadah ritual, tetapi harus tercermin dalam kepedulian sosial yang nyata.

Dalam konteks masyarakat lingkar tambang, teologi ini memberi dasar moral bagi Muhammadiyah untuk melakukan pembelaan terhadap mereka yang terdampak ketidakadilan struktural akibat industri tambang. Teologi Al-Ma’un inilah yang kemudian melahirkan praksis gerakan sosial dalam bentuk advokasi hukum, penguatan pendidikan alternatif, hingga pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal.

Muhammadiyah telah mengembangkan berbagai program strategis untuk mendampingi masyarakat di sekitar tambang. Melalui majelis dan lembaga yang dimiliki dan bergerak secara dinamis, Muhammadiyah lalu meluncurkan program Community Empowerment Based on Local Wisdom, yaitu penguatan kapasitas masyarakat berbasis pengetahuan lokal dan kearifan tradisional.

Tak hanya itu, Muhammadiyah juga terus melakukan pelatihan pertanian ekologis, pengelolaan air bersih, hingga pembangunan koperasi petani sebagai alternatif dari ketergantungan ekonomi pada industri tambang. Muhammadiyah juga aktif dalam edukasi lingkungan hidup di pesantren dan sekolah-sekolah Muhammadiyah, menanamkan nilai Islam rahmatan lil ‘alamin yang selaras dengan keadilan ekologis.

Advokasi Keadilan Ekologis

Di banyak wilayah tambang, Muhammadiyah juga terlibat dalam advokasi kebijakan. Misalnya, dalam Kasus Rempang, Kasus PIK 2, Kasus Wadas, dan lain-lain, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, melalui UPP-nya turut menyuarakan keresahan warga atas kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat. Hal ini menunjukkan bahwa kepedulian Muhammadiyah tidak terbatas pada layanan sosial, tetapi juga keberanian untuk menyuarakan keadilan dalam ruang publik dan kebijakan.

Muhammadiyah juga mendesak negara untuk mengatur ulang model pembangunan yang terlalu eksploitatif. Dalam Muktamar ke-47 di Makassar (2015), Muhammadiyah menegaskan pentingnya “ekonomi hijau yang berkeadilan” sebagai arah baru pembangunan nasional (Dokumen Resmi Muktamar Muhammadiyah, 2015). Ini menjadi pijakan teologis sekaligus ideologis untuk mengkritisi model ekonomi ekstraktif yang tidak berpihak pada masyarakat bawah.

Meski telah berbuat banyak, kiprah Muhammadiyah di masyarakat lingkar tambang tidak lepas dari tantangan. Salah satunya adalah resistensi dari pihak perusahaan tambang dan elit lokal yang memiliki kepentingan. Selain itu, keterbatasan sumber daya dan akses informasi menjadi kendala dalam memperluas program pendampingan.

Namun demikian, potensi Muhammadiyah sebagai gerakan berbasis umat dengan jejaring nasional tetap sangat besar. Dengan lebih mengintegrasikan isu keadilan ekologis ke dalam agenda dakwah dan pendidikan, Muhammadiyah berpeluang memainkan peran strategis dalam menciptakan transformasi sosial yang lebih adil dan lestari.

Kepedulian Muhammadiyah terhadap masyarakat lingkar tambang merupakan bukti konkret bahwa Islam dapat menjadi kekuatan emansipatoris yang membela kehidupan. Melalui pendekatan teologi pembebasan, pendidikan alternatif, dan pemberdayaan ekonomi, Muhammadiyah tidak hanya merespons penderitaan, tetapi juga membangun masa depan baru yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Dalam konteks global krisis iklim dan eksploitasi sumber daya alam, gerakan seperti Muhammadiyah perlu terus diperkuat. Sebab, masa depan masyarakat lingkar tambang, dan umat manusia secara keseluruhan, bergantung pada keberanian kolektif untuk melawan ketidakadilan dan menegakkan martabat kehidupan.

Sebelum kembali ke Weda, ba'da Isya, Busyro Muqaddas berkesempatan memberikan pesan dalam tauziyahnya kepada jamaah masjid di Sagea, bahwa saling menjaga silaturrahim antar sesama, dan merawat alam merupakan bagian dari nilai-nilai Islam yang perlu  dikuatkan. 

Rombongan kembali ke Weda tepat pukul 22.05, melewati kawasan industri IWIP yang begitu bercahaya, bak kota besar, di tengah hutan dan pegunungan yang sunyi.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Humaniora

Mudik dan Indahnya Silaturrahmi Oleh: Mahli Zainuddin Tago Pulau Sangkar-Kerinci, awal Juni 1979. ....

Suara Muhammadiyah

31 May 2024

Humaniora

SM Tower dan Semangat Pemberdayaan "Business is Business",  memang demikianlah ekosistem sebua....

Suara Muhammadiyah

15 October 2023

Humaniora

Melihat Identitas Tengahan Muhammadiyah dari Kuburan Kiai Ahmad Dahlan  Oleh: Aan Ardianto, Ka....

Suara Muhammadiyah

22 July 2024

Humaniora

Totok haryono (kanan) duduk di samping pendekar besar sudjono. Saat itu pada tanggal 4 Mei totok ber....

Suara Muhammadiyah

1 June 2025

Humaniora

Cerpen Hamdy Salad Kalau saja seluruh media masa di negeri antah barantah itu tidak pernah menulis ....

Suara Muhammadiyah

20 October 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah