Teologi Kasih Universal al-Qur’an: Analisis Terminologi al-Rahman-al-Rahim

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
103
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Teologi Kasih Universal al-Qur’an: Analisis Terminologi al-Rahman-al-Rahim dan Relevansinya terhadap Kemanusiaan Kontemporer

Oleh: Piet Hizbullah Khaidir, Ketua STIQSI Lamongan; Sekretaris PDM Lamongan; dan Ketua Divisi Kaderisasi dan Publikasi MTT PWM Jawa Timur

Al-Qur’an menempatkan rahmah sebagai fondasi utama kosmos dan moralitas manusia. Dua nama agung Allah — al-Rahman dan al-Rahim bukan hanya pembuka surah (dalam basmalah, diulang lagi di ayat ketiga QS. Al-Fatihah), tetapi juga pintu konseptual untuk memahami hakikat keberadaan, relasi antar-manusia, dan kehadiran Tuhan dalam sejarah. 

Teologi Islam berangkat dari prinsip bahwa seluruh ciptaan berdiri di bawah pancaran kasih Ilahi. Namun, dalam realitas modern, makna kasih itu kerap terdistorsi oleh sistem yang menekankan rasionalitas tanpa spiritualitas, efisiensi tanpa empati, dan kemajuan tanpa keseimbangan moral.

Karena itu, kajian atas terminologi al-Rahman dan al-Rahim tidak semata-linguistik, tetapi menjadi pintu menuju konstruksi teologi kasih universal. Pendekatan ini menawarkan paradigma baru: bahwa rahmat Ilahi bukan hanya entitas transendental, melainkan juga energi sosial yang menumbuhkan solidaritas dan kemanusiaan. Dalam konteks ini, teologi rahmah perlu direinterpretasi secara kontekstual untuk menjawab tantangan modernitas yang semakin mengikis nilai kasih dan keadilan sosial.

Secara etimologis, kedua lafal tersebut berasal dari akar kata ر-ح-م (rahima) yang berarti kelembutan, kasih, dan perlindungan yang berakar dari rasa cinta. Ibn Faris dalam Maqāyīs al-Lughah menjelaskan bahwa rahmah mencakup makna lutf (kelembutan) dan ihsan (kebaikan) yang mengalir dari Zat yang Maha Mengasihi kepada yang dikasihi.

Al-Raghib al-Ashfahani dalam al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur’an membedakan makna al-Rahman dan al-Rahim pada aspek keluasan dan keberlanjutan kasih. Al-Rahman menunjukkan rahmat Allah yang bersifat universal, meliputi seluruh makhluk tanpa diskriminasi, sedangkan al-Rahim menunjukkan rahmat khusus yang berkelanjutan kepada orang-orang beriman.

Perbedaan ini menunjukkan dua lapisan makna: al-Rahman sebagai aspek kosmik dan ontologis, sedangkan al-Rahim bersifat etik dan relasional. Dalam Basmalah, keduanya hadir berurutan, menandakan bahwa kehidupan ini bermula dan berproses di bawah payung kasih yang menyeluruh dan berkesinambungan.

Konsep Teologis Rahman–Rahim

Dalam kerangka teologis, al-Rahman dan al-Rahim mencerminkan dua aspek ketuhanan yang saling melengkapi: keuniversalan kasih dan kedalaman perhatian Ilahi. Fakhr al-Din al-Razi dalam Mafātīh al-Ghaib menegaskan bahwa al-Rahman menunjukkan rahmat Allah yang menjadi asas penciptaan, sedangkan al-Rahim menunjukkan rahmat yang menjadi asas hidayah dan ampunan. Artinya, rahmah bukan hanya sifat Tuhan, melainkan prinsip operasional dalam kosmos dan sejarah.

Dari perspektif tafsir falsafi, seperti yang dijelaskan oleh al-Tabāṭabā’ī dalam al-Mīzān, rahmah ilahiyyah adalah energi eksistensial yang menegakkan keteraturan dan harmoni alam. Segala sesuatu bergerak karena kasih Allah. Dalam pandangan ini, rahmah bukan konsep moral belaka, tetapi struktur metafisis dari realitas itu sendiri.

Maka, memahami Allah sebagai al-Rahman al-Rahim berarti memahami bahwa seluruh tatanan keberadaan berdiri di atas prinsip kasih. Teologi rahmah ini menjadi tandingan terhadap teologi kekerasan yang kerap muncul akibat pemahaman sempit terhadap keadilan Ilahi. Keadilan tanpa rahmah melahirkan kekakuan; sebaliknya, rahmah tanpa keadilan menimbulkan kelemahan. Dalam Islam, keduanya berpadu dalam kesempurnaan asma’ al-husna.

Kasih Ilahi bukan hanya hubungan vertikal, tetapi juga berimplikasi sosial. Nabi Muhammad Saw diutus sebagai rahmatan lil-‘ālamīn (QS. al-Anbiyā’: 107), bukan sekadar pembawa risalah, melainkan representasi konkret dari kasih universal itu. Maka, manifestasi al-Rahman dan al-Rahim di bumi adalah tanggung jawab moral manusia untuk menghadirkan rahmah dalam relasi sosial, ekonomi, dan politik.

Dalam sejarah Islam klasik, teologi rahmah melahirkan etika sosial yang progresif. Misalnya, dalam sistem waqf dan zakat, kasih diwujudkan dalam distribusi keadilan; dalam ilmu, diwujudkan melalui penyebaran pengetahuan; dan dalam pemerintahan, diwujudkan dalam kebijakan yang menyejahterakan.

Konsep rahmah juga menjadi dasar inklusivitas Islam terhadap yang lain (al-ākhar). Ibn ‘Arabi, dalam teologi wahdat al-wujūd-nya, menyatakan bahwa rahmah Ilahi meliputi seluruh eksistensi, sehingga intoleransi dan kekerasan atas nama agama sejatinya merupakan bentuk penyangkalan terhadap hakikat rahmah itu sendiri.

Dalam konteks sosial modern, rahman–rahim dapat diartikulasikan sebagai paradigma empati sosial dan solidaritas global. Dunia yang sarat konflik, krisis ekologis, dan disrupsi digital membutuhkan teologi kasih yang menyeimbangkan rasionalitas dengan welas asih, inovasi dengan nilai kemanusiaan.

Relevansi dengan Kemanusiaan Kontemporer

Di era globalisasi, kemajuan teknologi dan material tidak selalu berbanding lurus dengan kedamaian batin dan kemanusiaan. Pola pikir utilitarian—yang mengukur nilai hanya berdasarkan manfaat—mengikis kesadaran spiritual manusia. Di sinilah nilai rahman–rahim menjadi prinsip korektif terhadap peradaban modern yang kehilangan orientasi moral.

Pertama, rahman–rahim menawarkan paradigma etis bagi kemajuan. Teknologi dan ilmu tidak boleh tercerabut dari nilai kasih. Pembangunan yang berkeadaban harus bertumpu pada penghormatan terhadap martabat manusia.

Kedua, rahman–rahim membentuk etika dialog antaragama dan antarperadaban. Spirit kasih universal mendorong umat Islam menjadi agen perdamaian, bukan antagonis sejarah. Hal ini sejalan dengan prinsip Islam sebagai ummatan wasathan (umat penengah) yang menolak ekstremisme dan sekularisme.

Ketiga, rahmah Ilahi mengandung energi rekonsiliasi sosial. Dalam politik, ia menjadi dasar keadilan yang humanis; dalam ekonomi, ia menolak keserakahan dan eksploitasi; dalam pendidikan, ia menumbuhkan kasih sebagai dasar pencarian ilmu. Dengan demikian, rahman–rahim bukan konsep teologis statis, melainkan sistem etika dinamis yang membimbing peradaban menuju keseimbangan spiritual dan sosial.

Al-Rahman dan al-Rahim bukan sekadar nama-nama indah Allah, tetapi sekaligus ontologi kasih dan epistemologi moral bagi kemanusiaan. Keduanya menegaskan bahwa realitas dan kehidupan bersumber dari rahmah Ilahi, dan karena itu seluruh amal manusia harus kembali pada semangat kasih tersebut.

Kesalahan terbesar peradaban modern adalah memisahkan kemajuan dari rahmah. Padahal, kemajuan yang kehilangan kasih akan berubah menjadi kekuasaan yang destruktif. Sebaliknya, rahmah yang diwujudkan tanpa ilmu akan menjadi romantisme tanpa arah. Maka, keseimbangan antara rahmah dan hikmah menjadi syarat tegaknya peradaban Qur’ani.

Dengan demikian, teologi rahman–rahim adalah manifestasi energi kasih universal yang membimbing manusia menuju kedewasaan spiritual dan sosial. Dalam rahmah itulah, Islam mempersembahkan dirinya bukan hanya sebagai agama, tetapi sebagai jalan pencerahan dan kemanusiaan global.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Pendidikan Sepanjang Hayat Dimulai dari Sebuah IqraOleh Noval Sahnitri, Mahasiswa Magister Pendidika....

Suara Muhammadiyah

20 October 2025

Wawasan

Solidaritas Indonesia, Terima Kasih Australia Oleh: Haidir Fitra Siagian, Dosen Fakultas Dakwah dan....

Suara Muhammadiyah

21 March 2025

Wawasan

Sumber Foto Unsplash Difabel itu Normal, Catatan Film ”Jendela Seribu Sungai” Oleh: A....

Suara Muhammadiyah

24 July 2023

Wawasan

Memuliakan Tamu Kondangan (2) Oleh: Mohammad Fakhrudin/Warga Muhammadiyah Magelang     ....

Suara Muhammadiyah

2 May 2025

Wawasan

Menapaki Jejak Wahyu: Menggali Ilmu Al-Qur'an bersama Yasir Qadhi Oleh: Donny  Syofyan, Dosen ....

Suara Muhammadiyah

11 November 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah