Janji Terakhir bagi Bani Israil
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Tulisan ini membahas seputar Bani Israil, yaitu Surah Al-Isra' (17) ayat 104. Ayat ini secara spesifik menyebutkan tentang janji terakhir yang diberikan kepada Bani Israil, dan diskusi berpusat pada pertanyaan utama: apakah janji ini mengacu pada peristiwa yang akan datang di masa depan atau justru telah terjadi di masa lalu?
Saya ingin memulai dengan memaparkan dua terjemahan berbeda dari ayat tersebut. Pertama terjemahan Muhammad Asad: "Dan setelah itu Kami berkata kepada Bani Israil: 'Tinggallah sekarang dengan aman di bumi, tetapi ingatlah bahwa ketika janji Hari Kiamat akan datang, Kami akan membawa kalian sebagai bagian dari kerumunan yang campur aduk.'" Kedua, terjemahan Ali Quri Qara'i: "Setelah dia Kami berkata kepada Bani Israil, 'Ambillah tempat tinggal di tanah itu, dan ketika kesempatan janji yang lain datang, Kami akan mengumpulkan kalian dalam kelompok yang campur aduk.'"
Menariknya, meskipun terjemahan sekilas dari ayat ini tampaknya mengarahkan kita pada sebuah peristiwa masa depan, pandangan para mufassir Muslim klasik menawarkan perspektif yang berbeda dan mendalam. Mereka menafsirkan frasa "wadul akhirah" (janji terakhir) bukan sebagai janji yang akan datang, melainkan sebagai janji tentang kehidupan setelah kematian atau Hari Kiamat.
Dalam pemahaman mereka, ayat ini merupakan deskripsi puitis tentang hari penghakiman universal, di mana seluruh umat manusia dari berbagai bangsa dan zaman akan dikumpulkan di hadapan Allah untuk diadili. Ini memberikan bobot teologis yang sangat besar pada ayat tersebut, mengangkat maknanya dari sebuah janji spesifik untuk satu kaum menjadi sebuah pengingat akan takdir akhir bagi semua makhluk.
Namun, saya mengajak pembaca untuk melihat ayat ini dalam konteks yang lebih luas, yaitu dengan menghubungkannya pada ayat 7 dari surah yang sama. Ayat 7 secara eksplisit berbicara tentang kehancuran kedua yang akan menimpa Bani Israil. Sebagian penafsir modern berargumen bahwa karena ayat 104 tampak merujuk pada peristiwa masa depan, maka janji kehancuran kedua di ayat 7 juga harus ditafsirkan sebagai peristiwa yang belum terjadi. Ini menciptakan sebuah alur narasi yang linear, di mana kedua janji tersebut menunggu untuk digenapi.
Akan tetapi, tapi ada perspektif yang lebih mendalam dan logis. Meskipun urutan narasi dalam surah ini mungkin tampak membingungkan (kisah Firaun di akhir, peringatan kehancuran di awal), kita harus memahami kronologi historisnya. Secara historis, kisah Firaun terjadi jauh sebelum kehancuran Kuil yang kedua. Dengan demikian, ayat 104, yang menyebutkan janji terakhir atau janji akhir, sebenarnya adalah penegasan kembali atau kelanjutan dari peringatan yang sudah disebutkan di ayat 7.
Peringatan tersebut adalah tentang kehancuran kedua atau yang terakhir dari dua kehancuran yang dijanjikan akibat perbuatan Bani Israil sendiri. Jadi, alih-alih merujuk pada peristiwa yang akan datang, ayat 104 justru menegaskan kembali bahwa kehancuran kedua yang dijanjikan—sebuah peristiwa yang telah terjadi di masa lalu—adalah puncak dari serangkaian konsekuensi atas tindakan mereka. Hal ini menunjukkan sebuah pola abadi dalam sejarah: setiap perbuatan akan mendapatkan balasan yang setimpal.
Bagaimana ayat Al-Qur'an menggambarkan Bani Israil sebagai "kerumunan yang campur aduk" jika janji tersebut merujuk pada masa lalu? Jawabannya terletak pada catatan sejarah. Kita bisa menengok ke dalam Perjanjian Baru yang secara detail mencatat berbagai faksi di antara kaum Yahudi pada masa tragis penghancuran Bait Suci oleh Romawi, sekitar tahun 66-70 Masehi. Di sana, terdapat kelompok-kelompok yang sangat beragam, seperti kaum Farisi yang sangat ketat dalam menjalankan hukum, kaum Saduki yang lebih aristokratis dan terikat pada kekuasaan, kaum Zealot yang bersemangat membela kemerdekaan, hingga kaum Sicarii dan Herodian yang memiliki agenda politiknya masing-masing.
Terlepas dari perbedaan ideologi dan cara pandang yang tajam, mereka semua adalah bagian dari Bani Israil yang berkumpul dalam satu wilayah pada masa itu. Keberagaman yang bergejolak inilah yang secara presisi memenuhi deskripsi Al-Qur'an tentang "kerumunan yang campur aduk."
Dengan demikian, penafsiran ini menjadi semakin kuat. Ayat 104, seperti halnya ayat 7, bukanlah ramalan masa depan, melainkan cerminan dari peristiwa masa lalu. Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa Al-Qur'an memiliki kekayaan makna yang berlapis. Artinya, meskipun ayat ini berakar pada sejarah, ia juga memiliki relevansi yang lebih dalam dan berkelanjutan.
Sebagai penutup, ada satu ayat lagi yang memberikan kita sebuah pelajaran abadi: Surah Al-Isra' ayat 8 yang berbunyi, "Dan jika kamu kembali (berbuat kerusakan), maka Kami pun akan kembali (menyiksa)." Ayat ini mengungkap pola universal dalam sejarah. Ketika suatu kaum kembali pada kesombongan dan kezaliman di muka bumi, konsekuensinya akan terulang kembali. Janji Ilahi tentang keadilan dan akibat dari perbuatan manusia bukanlah peristiwa sekali jadi, melainkan sebuah siklus yang terus berulang, menjadi peringatan bagi setiap generasi.