YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Wakil Menteri Luar Negeri RI, Arif Havas Oegroseno, S.H., LL.M., menegaskan bahwa politik luar negeri Indonesia tidak boleh berjalan di tempat. Menurutnya, Indonesia harus berani menampilkan diri sebagai kekuatan kawasan yang diperhitungkan di kancah global, sekaligus tetap setia pada prinsip “bebas aktif” yang diwariskan sejak awal kemerdekaan.
Pesan tersebut ia sampaikan dalam kuliah umum Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang digelar di Student Dormitory UMY, Jumat (22/8). Di hadapan mahasiswa, Havas memaparkan sejumlah poin penting yang menjadi fondasi diplomasi Indonesia ke depan.
Ia menekankan bahwa sejak 1945, politik luar negeri Indonesia berpijak pada prinsip “bebas aktif”: Bebas menentukan sikap sesuai kepentingan nasional, serta aktif memperjuangkan perdamaian dunia. Prinsip ini, menurutnya, tidak pernah kehilangan relevansi.
“Bebas aktif bukan berarti netral pasif. Justru kita harus berani bicara, hadir, dan terlibat dalam penyelesaian konflik,” tegasnya.
Havas menjelaskan, posisi geografis Indonesia yang strategis, di persimpangan dua benua dan dua samudra, membuat bangsa ini tidak bisa menutup diri dari dinamika global. “Kapal lewat kita, pesawat lewat kita, bahkan polusi pun lewat kita. Artinya, kita tidak bisa hanya berpikir ke dalam negeri,” ujarnya.
Karena itu, Indonesia perlu memproyeksikan diri sebagai kekuatan kawasan. Diplomasi yang dijalankan Presiden ke berbagai negara, lanjutnya, adalah bukti nyata bagaimana Indonesia berusaha membangun jejaring, kekuatan, dan pengaruh yang semakin diakui dunia.
“Begitu juga tamu-tamu negara yang datang ke Indonesia. Itu menunjukkan bahwa kita tidak hanya hadir, tetapi juga didatangi, artinya kita dihargai. Inilah wujud proyeksi kekuatan yang harus kita teruskan sesuai amanat konstitusi,” imbuhnya.
Havas kemudian menganalogikan politik luar negeri Indonesia seperti burung Garuda. Cakar kakinya menancap di tanah air, dadanya berada di ASEAN, sayap kiri merentang ke Asia Selatan, Timur Tengah, dan Eropa, sayap kanan ke Pasifik dan Amerika Serikat, sementara kepalanya menatap ke Asia Timur.
“Garuda itu tegak, kokoh, dan percaya diri. Diplomasi kita pun harus begitu: berani terbang tinggi, tapi tetap membawa nilai-nilai yang kita yakini,” katanya.
Dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia, tegas Havas, sudah semestinya tampil percaya diri sebagai negara demokrasi besar di dunia.
“Inti dari foreign policy kita tetap sama, DNA-nya adalah bebas aktif. Yang kita lakukan hari ini adalah mendefinisikan kepentingan nasional kita, lalu memperjuangkannya,” pungkasnya. (Mut)