Amal Usaha Muhammadiyah: Antara Dakwah dan Korporatisasi

Publish

28 December 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
72
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Amal Usaha Muhammadiyah: Antara Dakwah dan Korporatisasi

Oleh: Mohammad Nur Rianto Al Arif, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah/ Ketua PDM Jakarta Timur

Bagi banyak orang, mengenal Muhammadiyah hari ini tidak lagi lewat pengajian atau ceramah, melainkan lewat sekolah, universitas, rumah sakit, dan layanan sosialnya. Ketika seorang anak bersekolah di SD Muhammadiyah, ketika pasien dirawat di RS Muhammadiyah, atau ketika korban bencana menerima bantuan relawan Muhammadiyah, di situlah wajah persyarikatan paling nyata dirasakan publik.

Inilah yang disebut Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yaitu suatu jaringan besar lembaga pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sosial yang tumbuh sejak awal abad ke-20. Amal usaha bukan sekadar pelengkap dakwah, melainkan jantung gerakan Muhammadiyah itu sendiri. Lewat amal usaha, dakwah tidak berhenti pada kata-kata, tetapi menjelma menjadi tindakan.

Namun, seiring waktu, amal usaha Muhammadiyah berkembang menjadi entitas yang sangat besar. Ribuan sekolah, ratusan perguruan tinggi, rumah sakit, klinik, dan berbagai unit bisnis kini beroperasi dengan skala yang tidak kecil. Di titik inilah muncul pertanyaan kritis yaitu apakah amal usaha masih sepenuhnya menjadi alat dakwah, ataukah perlahan berubah menjadi institusi korporasi yang sibuk mengelola bisnis dan administrasi?

Tulisan ini mencoba mengajak pembaca merenungkan posisi amal usaha Muhammadiyah hari ini yang berada di persimpangan antara misi dakwah dan tuntutan profesionalisme modern.

Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah memiliki pandangan yang khas tentang dakwah. Dakwah tidak cukup dilakukan lewat ceramah dan pengajian. Dakwah harus menyentuh persoalan nyata umat seperti kebodohan, kemiskinan, kesehatan, dan ketertinggalan.

KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, memahami betul bahwa umat Islam saat itu tertinggal bukan karena kurang berzikir, tetapi karena kurang akses pendidikan dan layanan sosial. Maka yang dibangun bukan hanya majelis taklim, tetapi juga sekolah dan rumah sakit. Aksi nyata inilah bentuk dakwah yang membumi dan solutif.

Dalam perspektif ini, amal usaha adalah dakwah itu sendiri. Sekolah Muhammadiyah bukan sekadar tempat belajar, tetapi sarana mencerdaskan umat. Rumah sakit Muhammadiyah bukan sekadar tempat berobat, tetapi wujud kasih sayang dan kepedulian Islam terhadap kemanusiaan.

Karena itu, sejak awal, amal usaha tidak dimaksudkan sebagai lembaga bisnis murni. Amal usaha adalah alat perjuangan. Keuntungan bukan tujuan utama, melainkan sarana agar dakwah bisa berkelanjutan.

Seiring berjalannya waktu, amal usaha Muhammadiyah tumbuh sangat pesat. Pertumbuhan ini tidak lepas dari kepercayaan publik. Sekolah dan rumah sakit Muhammadiyah dikenal relatif terjangkau, disiplin, dan memiliki nilai moral tertentu.

Namun, pertumbuhan ini juga membawa tantangan besar. Mengelola ribuan lembaga dengan ratusan ribu pegawai bukan perkara mudah. Dunia pendidikan dan kesehatan kini sangat kompetitif, regulasi semakin ketat, standar akreditasi semakin tinggi, dan teknologi berkembang cepat. Semua kondisi ini menuntut manajemen profesional.

Di sinilah muncul kebutuhan untuk menerapkan prinsip-prinsip modern seperti efisiensi, target kinerja, standar layanan, dan keberlanjutan finansial. Tanpa itu, amal usaha bisa kolaps dan tidak mampu melayani umat. Masalahnya, ketika logika manajemen modern diterapkan tanpa kehati-hatian, maka bisa bergeser menjadi logika korporasi di mana angka, target, dan keuntungan menjadi ukuran utama keberhasilan.

Salah satu tanda korporatisasi adalah berubahnya bahasa yang digunakan. Dalam banyak amal usaha, kita mulai lebih sering mendengar istilah seperti profit center, market share, branding, dan cost efficiency. Semua istilah ini tidak salah, bahkan diperlukan dalam dunia modern.

Namun persoalannya muncul ketika bahasa dakwah dan nilai persyarikatan semakin jarang terdengar. Pegawai amal usaha lebih fasih berbicara tentang target pendapatan daripada misi dakwah. Rapat lebih sering membahas laporan keuangan daripada dampak sosial.

Dalam konteks ini, muncul kekhawatiran bahwa jangan-jangan amal usaha Muhammadiyah besar secara fisik, tetapi melemah secara ideologis. Bangunan megah berdiri, tetapi ruh dakwahnya menipis. Hal yang penting untuk ditegaskan ialah profesionalisme bukanlah musuh dakwah. Justru sebaliknya, tanpa profesionalisme, amal usaha tidak akan bertahan. Pelayanan yang buruk justru mencoreng citra Islam dan Muhammadiyah.

Masalahnya bukan pada profesionalisme itu sendiri, melainkan pada hilangnya keseimbangan antara profesionalisme dan ideologi. Amal usaha Muhammadiyah seharusnya berbeda dengan korporasi biasa. Amal usaha tidak boleh semata-mata mengejar keuntungan atau pertumbuhan. Profesionalisme harus ditempatkan sebagai alat, bukan tujuan. Profesionalisme harus melayani dakwah, bukan menggantikannya.

Di sejumlah tempat, muncul fenomena yang cukup mengkhawatirkan dimana amal usaha berjalan seperti dunia sendiri, terpisah dari denyut persyarikatan. Tidak sedikit pegawai amal usaha yang tidak mengenal Muhammadiyah lebih dari sekadar nama lembaga. Bahwa ada pegawai amal usaha yang keberatan gajinya dipotong untuk iuran organisasi.

Bagi mereka, bekerja di amal usaha Muhammadiyah tidak berbeda jauh dengan bekerja di institusi lain. Nilai keislaman dan kemuhammadiyahan tidak menjadi bagian dari identitas kerja, melainkan hanya formalitas. Jika kondisi ini dibiarkan, amal usaha berisiko kehilangan fungsi strategisnya sebagai sarana kaderisasi dan dakwah. Amal usaha akan tetap hidup, tetapi tercerabut dari akar ideologisnya.

Padahal, jika dikelola dengan benar, amal usaha Muhammadiyah adalah ladang kaderisasi terbesar. Jutaan siswa, mahasiswa, guru, dosen, tenaga medis, dan pegawai berinteraksi setiap hari di dalamnya. Namun kaderisasi tidak terjadi otomatis. Kaderisasi membutuhkan desain, kesadaran, dan komitmen. Tanpa itu, amal usaha hanya menjadi tempat kerja, bukan ruang pembentukan nilai.

Muhammadiyah perlu bertanya dengan jujur yaitu apakah amal usaha hari ini masih efektif melahirkan kader persyarikatan? Atau justru menjadi ruang netral yang kehilangan ruh gerakan?

Dua sektor terbesar amal usaha Muhammadiyah adalah pendidikan dan kesehatan. Keduanya berada di wilayah sensitif yaitu menyangkut masa depan manusia dan keselamatan jiwa. Di sektor kesehatan, rumah sakit dituntut mandiri secara finansial. Biaya operasional tinggi. Teknologi mahal. Tanpa manajemen bisnis yang baik, rumah sakit bisa bangkrut. Namun ketika orientasi bisnis terlalu dominan, pelayanan terhadap masyarakat miskin bisa terpinggirkan.

Di sektor pendidikan, sekolah dan universitas juga menghadapi tekanan pasar. Biaya operasional meningkat. Persaingan dengan lembaga lain ketat. Godaan untuk menaikkan biaya pendidikan selalu ada.

Di sinilah ujian moral amal usaha Muhammadiyah. Apakah ia tetap berpihak pada misi sosial, atau menyerah pada logika pasar?

Korporatisasi bukanlah takdir yang tidak bisa dihindari. Muhammadiyah masih memiliki peluang besar untuk menata ulang arah amal usahanya. Kuncinya adalah menegaskan kembali bahwa amal usaha adalah instrumen dakwah, bukan tujuan akhir. Keberhasilan amal usaha tidak hanya diukur dari neraca keuangan, tetapi juga dari dampak sosial dan ideologisnya.

Kondisi ini berarti bahwa nilai kemuhammadiyahan harus hidup dalam tata kelola. Selain itu, pimpinan amal usaha harus memahami dakwah, bukan hanya manajemen. Kemudian pegawai perlu dibina, bukan sekadar digaji. Serta keuntungan harus diarahkan untuk memperluas kemaslahatan.

Salah satu faktor kunci adalah kepemimpinan. Amal usaha membutuhkan pemimpin yang tidak hanya cakap mengelola organisasi, tetapi juga memiliki kepekaan ideologis. Jika kepemimpinan hanya diisi oleh teknokrat tanpa pemahaman gerakan, maka amal usaha akan berjalan dingin dan mekanis. Sebaliknya, jika hanya diisi oleh aktivis tanpa kapasitas manajerial, amal usaha akan rapuh.

Muhammadiyah membutuhkan model kepemimpinan yang mampu menjembatani dakwah dan profesionalisme. Pada akhirnya, pertanyaan paling mendasar adalah amal usaha ini untuk siapa? Untuk pasar? Untuk reputasi? Atau untuk dakwah dan kemanusiaan?

Jika jawaban atas pertanyaan ini mulai kabur, maka itulah tanda bahaya. Amal usaha Muhammadiyah boleh besar, modern, dan profesional. Tetapi ia tidak boleh kehilangan jati diri. Amal Usaha Muhammadiyah adalah salah satu aset terbesar umat Islam Indonesia. Amal usaha Muhammadiyah telah berjasa besar dalam mencerdaskan bangsa dan melayani kemanusiaan. Namun kebesaran itu membawa tanggung jawab moral yang tidak ringan.

Di tengah arus korporatisasi dan logika pasar, Muhammadiyah dituntut untuk terus menjaga keseimbangan yaitu menjadi profesional tanpa menjadi materialistis, menjadi modern tanpa kehilangan ruh dakwah. Jika amal usaha berhasil mempertahankan jati dirinya, maka ia tidak hanya akan bertahan, tetapi juga menjadi model bagaimana Islam hadir secara nyata, rasional, dan berkeadilan di tengah dunia modern.

Namun jika ruh dakwah itu memudar, amal usaha akan tetap berdiri, tetapi bukan lagi sebagai gerakan pencerahan, melainkan sekadar institusi besar tanpa jiwa. Dan di situlah tantangan terbesar Muhammadiyah hari ini bagaimana tetap mensinergikan korporatisasi amal usaha Muhammadiyah tanpa mengabaikan misi dakwah yang diembannya.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Nubuwah Era Digital dan Aplikasinya dalam Pembelajaran Oleh: Dr. Samson Fajar, M.Sos.I. Era digita....

Suara Muhammadiyah

28 September 2023

Wawasan

Mengungkap Kebenaran di Balik Perang Badar Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universi....

Suara Muhammadiyah

11 July 2025

Wawasan

Oleh: Furqan Mawardi, Muballigh Akar Rumput Ada sebuah pepatah bijak yang mengatakan: “Waktu ....

Suara Muhammadiyah

25 June 2025

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Mari kita telaah lebih dalam se....

Suara Muhammadiyah

5 May 2025

Wawasan

Bulan Syawal tengah kita jalani. Apa maknanya? Bulan bukan sekadar bergembira karena bisa bersua kel....

Suara Muhammadiyah

11 April 2025