Antara Takdir dan Kelalaian: Cara Kita Menyikapi Tragedi
Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua PRM Legoso, Wakil Sekretaris LPCRPM PP. Muhammadiyah
West Japan Railway (JR West) mengadakan upacara peringatan untuk mengenang kecelakaan anjloknya kereta di Jalur Fukuchiyama pada 25 April 2005. Pagi itu, pukul 09.18, kereta melaju jauh melebihi batas kecepatan, yaitu 116 km/jam di tikungan yang batas kecepatannya hanya 70 km/jam. Akibatnya, gerbong pertama tergelincir, menabrak tiang penyangga kabel, lalu menabrak dinding gedung apartemen dan jatuh ke garasi parkir. Benturan itu menyebabkan kehancuran parah pada dua gerbong terdepan. Tercatat ada 107 penumpang dan masinis yang tewas, serta 562 orang lainnya luka-luka.
Peristiwa itu menjadi salah satu kecelakaan kereta api terburuk di Jepang dalam beberapa dekade terakhir. Oleh sebab itu, otoritas transportasi Jepang segera melakukan penyelidikan serius dan sangat teliti. Mulai dari sekolah masinis, jalur kereta, hingga segala hal yang berhubungan dengan kecelakaan dikaji. Dari hasil penyelidikan terungkap bahwa masinis sudah melakukan kesalahan di stasiun terakhir yang ia lewati sebelum tiba di lokasi kejadian. Ia memacu kereta dengan kecepatan tinggi sehingga kesulitan menghentikannya. Akibatnya, kereta baru bisa berhenti setelah meleset lima gerbong dari tempat perhentian yang seharusnya.
Penyelidik berspekulasi bahwa masinis bernama Ryūjirō Takami (23 tahun) berusaha mengejar waktu yang hilang dengan meningkatkan kecepatan kereta melebihi batas yang ditetapkan. Para penumpang yang selamat melaporkan bahwa kereta bergerak lebih cepat dari kecepatan normal. Masinis diduga stres karena akan dihukum atas keterlambatan tersebut. Sepuluh bulan sebelum kecelakaan, masinis telah ditegur oleh operator kereta JR West karena melewati peron stasiun sejauh 100 meter. Dalam menit-menit menjelang kecelakaan, ia mungkin memikirkan hukuman yang akan dihadapi dan tidak sepenuhnya fokus mengemudikan kereta.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban, Masataka Ide, penasihat JR West yang berperan besar dalam menegakkan aturan ketepatan waktu kereta, mengundurkan diri. Takeshi Kakiuchi, Presiden JR West, juga melakukan hal yang sama, sebuah isyarat dari sikap kesatria yang penuh tanggung jawab. Tidak berhenti di situ, ada beberapa orang yang didakwa atas kelalaian profesional yang mengakibatkan kematian dan luka-luka karena kecelakaan.
Saya sependapat dengan pandangan Bung Hasanudin Abdurakhman, peraih gelar doktor dari Tohoku University, Jepang. Ia menulis bahwa kecelakaan kereta itu dianggap sebagai akibat akumulasi kesalahan manusia dari berbagai sisi. Kesalahan itu diperbaiki dan kecelakaan diupayakan pencegahannya. Tak ada ratapan soal kehendak Tuhan. Apakah ini karena orang Jepang kebanyakan ateis? Tidak. Meski kebanyakan tidak terikat pada suatu agama, orang-orang Jepang adalah orang-orang yang berketuhanan, berbasis pada kepercayaan Shinto dan Buddha. Hanya saja, mereka telah meninggalkan kepercayaan bahwa ada Tuhan yang “maha iseng”, yang suka menguji manusia dengan berbagai kecelakaan dan penderitaan. Kecelakaan dianggap bukan produk kerja Tuhan, melainkan akibat berbagai kelalaian manusia dalam mengantisipasinya.
Di negeri tercinta ini juga sering terjadi tragedi serupa. Ada bangunan roboh yang menimpa para pelajar dan menewaskan puluhan anak-anak, serta melukai banyak lainnya. Selain itu, ada juga musibah dan bencana yang disebabkan oleh kecelakaan transportasi umum, banjir bandang, atau sebaliknya, kekeringan panjang, gunung meletus, tsunami, dan gempa bumi.
Dari berbagai peristiwa tersebut, selalu ada dua sudut pandang yang berbeda. Pertama, ada yang memandang bahwa setiap peristiwa itu terjadi sebagai takdir Tuhan dan manusia tidak mampu menemukan akar musababnya secara pasti. Pengetahuan manusia terbatas hanya sampai pada pembaca pertanda yang mengawalinya, lalu melakukan serangkaian tindakan untuk mampu mencegah dampak buruknya atau bahkan hingga mampu beradaptasi dengan fenomena alamiah tersebut. Sebagai bangsa yang mengedepankan aspek agama, banyak yang menitikberatkan pandangannya bahwa setiap musibah yang menimpa mereka merupakan bagian dari takdir Tuhan yang harus diterima dengan sabar.
Kedua, ada yang berpandangan bahwa bencana bisa terjadi akibat kelalaian manusia. Misalnya, ketika ada hujan lebat atau kekeringan panjang, fenomena alam ini sudah terjadi sejak planet Bumi ada. Ia tidak akan menjadi musibah manakala tidak ada pengikisan lahan tadah hujan atau penggundulan hutan untuk kegiatan industri yang sangat rakus mengeruk isi perut bumi. Mereka menyandarkan sudut pandangnya pada logika dan kemanusiaan. Setiap peristiwa yang mengakibatkan bencana harus bisa ditelaah dengan teliti. Apakah itu terjadi karena kelalaian, perilaku menyimpang, dan seterusnya? Jika iya, maka manusia harus dimintai pertanggungjawaban, persis seperti yang terjadi pada kecelakaan kereta api di Jepang.
Saya berpandangan bahwa kasus robohnya bangunan yang menewaskan puluhan anak-anak itu adalah tragedi yang memilukan. Negara perlu hadir untuk menyelidiki penyebabnya. Harus jelas siapa yang bertanggung jawab atas tragedi tersebut. Penegak hukum harus menyelidiki apakah bangunan tersebut memiliki izin Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Jika sudah ada, maka sejauh mana proses monitoring terhadap pembangunan tersebut? Siapa yang harus mengeluarkan izin, mengawasi, dan menegur ketika terjadi kesalahan? Jika proses pembangunannya mengabaikan perizinan, maka siapa yang seharusnya bertanggung jawab? Apakah pengabaian terhadap hal itu memiliki sanksi hukum? Semua harus diurai secara tuntas.
Sudah saatnya penegakan hukum di negeri ini terlepas dari praktik yang mengistimewakan seseorang karena dianggap berjasa, memiliki hubungan keluarga dengan penguasa, bagian dari kerabat penegak hukum, atau karena ketokohan seseorang yang dianggap memiliki dukungan massa di belakangnya. Penyidik kepolisian harus mulai melakukan pemeriksaan termasuk saksi ahli (termasuk ahli konstruksi), serta mengumpulkan barang bukti untuk mendalami dugaan kelalaian dalam pembangunan. Para saksi kunci, saksi mata, korban selamat, dan pihak pemilik gedung perlu diperiksa guna melengkapi alat bukti dan menentukan ada atau tidaknya unsur pidana.
Bahkan, dalam setiap peristiwa alam, seperti; angin kencang, hujan deras, kenaikan air laut, kemarau panjang, gelombang tsunami, gunung meletus, hingga gempa bumi, tidak serta-merta harus berujung pada bencana bagi manusia. Ketika manusia mampu membangun kesiapsiagaan, belajar dari setiap peristiwa yang terjadi sebelumnya, dan mampu mewujudkan mekanisme pencegahan yang efektif, maka mekanisme adaptasi hingga bisa hidup selaras dengan alam tetap dapat terjaga.
Musibah memang bisa datang tanpa aba-aba, tetapi kelalaian selalu meninggalkan jejak. Tugas kita bukan menutupinya dengan kata “takdir”, melainkan menelusurinya agar dapat belajar dan berbenah.
 
                            
 
                                    
 
                                    
