Dari Panggung Anak-Anak hingga Keteladanan Kiai Ahmad Dahlan
Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua PRM Legoso, Tangerang Selatan
Perayaan Milad Muhammadiyah ke-113 yang diselenggarakan Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Pondok Cabe Ilir, Pamulang, tadi malam terasa sangat istimewa bagi saya.
Pertama, panitia memberikan ruang yang sangat luas bagi anak-anak di sekitar wilayah PRM untuk tampil di atas panggung. Ada yang mendemonstrasikan hafalan Al-Qur’an, membaca puisi, memainkan operet dan mini drama, bermain angklung, hingga menyanyikan lagu “What a Wonderful World” karya Louis Armstrong secara berjamaah. Pementasan ini diproduksi oleh tim pengabdian masyarakat Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FITK UIN Jakarta dan Lab Teater Ciputat.
Saya memang mengusulkan kepada Mbak Rosida Erowati Irsyad—dosen Sastra Prancis UIN Jakarta sekaligus pembina anak-anak—agar mereka diberi kesempatan menyanyikan lagu tersebut. Spiritnya sederhana: mengajak anak-anak untuk belajar mensyukuri maha karya Allah SWT ketika memandang alam dan seluruh isinya yang begitu beragam dan indah.
Selama ini, saya kerap mendapat kritik dari kawan-kawan di luar komunitas Muhammadiyah. Menurut mereka, budaya pengajian dan berorganisasi di Muhammadiyah terlalu tertib, serius, dan cenderung kering dari ekspresi kesenian. Saya masih ingat betul komentar Uda Jumaldi Alfi Chaniago, perupa kontemporer Indonesia asal Yogyakarta. Ia pernah menyampaikan, setengah berkelakar namun serius, bahwa warga Muhammadiyah kadang bahkan malas bertepuk tangan untuk mengapresiasi karya seni. Kritik itu disampaikannya dalam sebuah perbincangan di Forum Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) melalui grup WhatsApp.
Selain pentas anak-anak, malam itu juga diisi pertunjukan yang cerdas dan satir dari komika Dzawin Nur, yang dulu aktif di IMM Ciputat. Salah satu materi yang paling saya ingat adalah kisah pertemanannya dengan Brilian, salah satu putra Mas Mu’ti—Sekretaris Umum Muhammadiyah yang kini menjabat Menteri Pendidikan.
Dzawin bercerita bahwa ketika Mas Mu’ti diangkat menjadi menteri, ia sengaja menghubungi Iyan untuk bertemu di sebuah kafe di Bintaro. Ia penasaran membayangkan seperti apa penampilan “anak menteri” yang dulu juniornya di IMM itu. Pasti sudah berubah, pikirnya.
Namun, kenyataannya jauh dari bayangan. Iyan datang mengendarai motor Beat. “Ya elaaah, anak menteri datang naik motor Beat. Ngopi pun tetap gue yang bayar. Sekarang ketemu bapaknya, yang seorang menteri, di acara ini—eh, masih naik motor juga,” ujar Dzawin. Tawa hadirin pun pecah.
Terus terang, suasana pengajian Muhammadiyah jarang terasa sesegar dan segelitik ini. Namun, PRM Pondok Cabe Ilir berhasil mematahkan mitos bahwa pengajian Muhammadiyah harus selalu serius dan tegang hanya karena berbicara tentang ajaran agama.
Pesan Mas Menteri
Merasa “di-roasting” oleh Dzawin, Mas Menteri Abdul Mu’ti mengakui bahwa ia memang sering bepergian dengan motor atau berjalan kaki bersama istrinya. Kalaupun sesekali menggunakan mobil mewah, itu bukan miliknya, melainkan fasilitas negara.
Pesan pertama Mas Menteri yang saya catat adalah pentingnya warga Muhammadiyah untuk terus belajar agar menjadi pribadi yang pandai dan baik. Namun, kepandaian dan kebaikan itu tidak boleh berhenti pada diri sendiri. Warga Persyarikatan juga harus berusaha menjadikan orang lain pandai dan terus menyerukan kebaikan kepada sesama.
Jika kita sudah pandai dan baik, maka kita harus mampu membangun komunitas yang juga pandai dan baik. Jika kita berhasil, orang lain pun harus dapat merasakan manfaatnya. Kehadiran warga Muhammadiyah semestinya memberi dampak nyata bagi lingkungan sekitarnya. Mas Menteri mengutip sebuah seruan berbahasa Arab: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
Pesan kedua adalah tentang keteguhan memegang prinsip hidup di tengah realitas keberagaman yang merupakan sunatullah. Keberagaman tidak seharusnya membuat manusia tercerai-berai. Mas Menteri mencontohkan keteladanan Kiai Ahmad Dahlan, sosok yang berpikiran terbuka sekaligus teguh memegang prinsip.
Keterbukaan Kiai Dahlan tampak dari kesediaannya belajar dari mana saja dan dari siapa saja demi membangun Muhammadiyah. Saat merintis sekolah Muhammadiyah di Yogyakarta, ia tidak segan belajar dari Romo Frans van Lith, SJ, seorang misionaris Katolik asal Belanda yang dikenal sebagai perintis pendidikan Katolik di Jawa.
Sekolah Guru (Kweekschool) di Magelang yang dirintis Romo van Lith—kini dikenal sebagai Seminari Menengah St. Paulus Mertoyudan—menjadi salah satu pusat pendidikan Katolik paling bersejarah di Indonesia. Dari sanalah Kiai Ahmad Dahlan belajar tentang pengelolaan sistem pendidikan yang baik, tanpa kehilangan prinsip keislaman yang ia pegang teguh.
Bagi saya, keberagaman bukan alasan untuk menjauh, melainkan kesempatan untuk saling belajar. Kemajuan hanya mungkin lahir dari kerendahan hati untuk mengambil kebaikan dari mana saja, tanpa kehilangan prinsip. Terus membuka diri, belajar dari siapa pun, dan menyadari bahwa kebenaran serta kebaikan dapat tumbuh dari arah yang tak selalu sama dengan kita.


