Elite Politik Negarawan
Awal Oktober 2024 merupakan momentum baru pelantikan anggota MPR, DPR, dan DPD periode 2024-2029. Kita berharap para elite politik yang menjadi wakil rakyat dan dipilih dengan kepercayaan penuh rakyat betul-betul dapat menjalankan mandat dengan seluruh jiwa-raga mewujudkan cita-cita nasional menuju Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Secara khusus dapat menjalankan aspirasi rakyat dengan komitmen, integritas, etika, jiwa, pikiran, dan orientasi tindakan yang sepenuhnya membuktikan para pemimpin negarawan sejati. Bukan menjadi elite-elite politik pemburu kuasa, harta, dan segala gemerlap dunia yang akhirnya melupakan rakyat yang memilihnya.
Apakah para elite negeri itu sanggup menjalankan mandat rakyat sebagai negarawan sejati? Semua berpulang pada niat para pejabat negara menjadi pejabat publik sekaligus pemimpin dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Apakah niatnya hanya untuk menjadi pejabat semata sebagai suatu prestise sosial, lebih jauh hanya untuk mengejar kekuasaan belaka? Sebaliknya apakah menjadi pejabat atau aparat pemerintahan negara sejatinya karena ingin berkhidmat untuk kepentingan bangsa dan negara? Niat awal sangat menentukan etika dan integritas diri, karena segala sesuatu tergantung pada niat. Di samping, bagaimana sistem dan budaya di lingkungan pemerintahan negara sendiri membentuk sekaligus mengontrol tumbuh-kembangnya etika dan integritas diri para pejabat dan pemimpin pemerintahan negara.
Para pemimpin bangsa saat ini dari pusat sampai daerah di berbagai lini baik pemerintahan maupun kekuatan non-negara perlu melakukan rekonstruksi diri dalam alam pikiran, orientasi sikap dan tindakan, serta konsistensi dalam membangun Indonesia. Dinamika politik liberal yang ditandai dengan sikap politik serba-pragmatis hanya untuk meraih kemenangan politik telah menjadikan politik Indonesia saat ini serba-transaksional, berbiaya sangat tinggi, dan bahkan bersumbu-pendek. Politik benar-benar berada dalam habitatnya yang asli sebagaimana logika Laswellian, “who gets what, when and how”, siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana caranya. Lebih ekstrim praktik politik transaksional itu seolah membenarkan tesis Machiavellian, “the end justifies the means”, demi meraih tujuan segala cara pun digunakan. Politik hanya menjadi alat-tukar kepentingan dan rebutan kursi kekuasaan semata minus idealisme dan kenegarawanan.
Para pemimpin politik itu sejatinya memiliki kemuliaan posisi dan peran dalam membawa nasib umat dan bangsanya menuju tangga kemajuan. Jangan biarkan nasib umat dan rakyat menjadi pertaruhan tak berguna dan tak bermakna di tengah kegaduhan politik yang disebar oleh para aktor yang haus kuasa dan tahta minus pertanggungjawaban moral politik nurani yang luhur. Ketika kontestasi politik makin memanas dengan segala hasrat dan kepentingan para elite serta pemimpin yang tumpah ke segala arah, sesungguhnya umat dan bangsa ini tengah menanti jaminan ubahan nasib hidupnya ke tangga terbaik di pundak para pemimpinnya.
Para pemimpin negeri mesti melipatgandakan pengorbanannya untuk rakyat sebagai negarawan sejati di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Jangan sebaliknya, para pemimpin menyandera nasib dan masa depan rakyat yang dipimpinnya karena hanya menuruti hasrat kuasanya yang melampaui takaran dan merugikan kepentingan bangsa dan negara. Kyai Haji Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah dalam falsafahnya yang keenam berpesan: “Kebanyakan pemimpin-pemimpin rakyat, belum berani mengorbankan harta benda dan jiwanya untuk berusaha tergolongnya umat manusia dalam kebenaran. Malah pemimpin-pemimpin itu biasanya hanya mempermainkan, memperalat manusia yang bodoh-bodoh dan lemah.”. Semoga para pemimpin penyelenggara pemerintahan di berbagai institusi negara maupun kekuatan bangsa dapat memiliki karakter kepemimpinan profetik yang antara lain menjunjung tinggi etika dan integritas luhur dalam mengemban amanat rakyat untuk kejayaan Indonesia!
Sumber: Majalah SM Edisi 20 Tahun 2024