YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Dalam konteks kehidupan politik, hukum, ekonomi, dan berbangsa, kedangkalan berpikir kerap kali menjebak pada diskursus publik. Rasionalitas yang mendasar hanya memandang persoalan dari aspek permukaan semata. “Tanpa berusaha melihat apa yang ada dibalik permukaan,” sebut Haedar Nashir.
Hal itu disampaikan saat Refleksi Akhir Tahun dan Bedah Buku "Sengkarut Pilkada Potret Penyelesaian Sengketa Diskualifikasi Calon Kepala Daerah" yang ditulis oleh Irvan Mawardi. Acara ini berlangsung di Lantai 3 Aula Kantor PP Muhammadiyah Cik Ditiro Yogyakarta, Jumat (19/12).
Di sinilah dibutuhkan upaya membangun sistem. Ini yang kemudian disebut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu sebagai kunci. “Itu perlu proses yang panjang,” ungkapnya.
Dia ambil contoh pergumulan Muhammadiyah selama 113 tahun begitu rupa dalam membangun sistem. “Bagaimana organisasi berjalan, bukan pada personal, bukan pada wibawa orang, wibawa tokoh,” jelasnya, yang menekankan hal tersebut tidak mudah dilakukan.
“Tapi, Alhamdulillah setelah sistem berjalan baik, maka ketika Muktamar ada dinamika, tetapi ada koridor utama yang menjadi patokan bersama,” ujarnya. Dan setiap Muktamar, “Alhamdulillah kita berjalan baik,” sambungnya.
Hal itu disadari betul oleh Haedar, pada titik ini betapa fundamentalnya etika diletakkan. Dan Haedar menyebut, sekuat-kuat sistem kalau etikanya tidak kuat, yang terjadi kemudian tergoda oleh kekuasaan yang meninabobokan.
“Jadi kekuasaan itu menggoda. Maka di Al-Qur’an disebut hati-hati dengan harta, wanita, kekuasaan, dan apa yang kamu punya. Sehingga dunia sering disebut al-mata' al-ghurur (tempat bersenang-senang dan permainan). Maka, jangan sampai kita terjebak di situ,” tegas Haedar.
Semua itu hasil akhirnya, etika menjadi jangkar utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penekanan ini, yang disebut Haedar, bersumbu langsung pada aspek Ilahiyah (Allah SwT). “Kita tidak boleh melanggarnya. Ketika kita melanggarnya, urusannya dengan Gusti Allah,” tegas Haedar sekali lagi.
Jika hal demikian dipegang erat dan kuat oleh seluruh elite serta warga bangsa tanpa terkecuali sedikit pun, niscaya akan menjadi korelatif yang kohesif dengan sistem. “Tapi tergantung sejauh mana agama dijadikan nilai yang hidup, bukan sekadar normatif,” tandasnya, yang mengajak untuk terus dihidupkan secara berkelanjutan dalam denyut nadi kehidupan umat beragama.
“Selain norma-norma dan nilai-nilai agama sebagai ajaran, tentang benar-salah, baik-buruk, pantas-tidak pantas, akidah, ibadah, akhlak, muamalah, tapi jadikan nilai itu sebagai living value (nilai yang hidup dalam diri kita,” pungkasnya. (Cris)

