Ketika Asumsi Menggeser Fakta
Oleh: Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta
Kita sedang berada dalam fase sejarah yang menantang, suatu masa dimana batas antara yang nyata dan yang semu tampak makin kabur. Kebenaran, yang semestinya ditegakkan di atas dasar ilmu dan kejujuran, kini makin sering digeser oleh asumsi, dibayangi oleh persepsi, dan ditentukan oleh sentimen. Pada era ini, emosi pribadi kerap lebih dipercaya daripada kesaksian fakta yang objektif, sedangkan popularitas mendominasi otoritas keilmuan.
Dalam istilah para pemikir kontemporer, keadaan ini dikenal sebagai post-truth era, yakni zaman setelah redupnya supremasi kebenaran objektif. Kebenaran tidak lagi dicari melalui proses ilmiah yang jujur dan transparan, tetapi dibentuk oleh kekuatan wacana, opini viral, dan kepentingan kelompok. Akibatnya, masyarakat cenderung larut dalam narasi yang dibangun oleh emosi, bukan oleh akal sehat. Ini tentu menjadi tantangan serius, bukan hanya bagi dunia akademik dan ilmu pengetahuan, tetapi juga bagi kehidupan keagamaan dan moralitas umat manusia.
Padahal Islam meletakkan kebenaran (al-haqq) sebagai fondasi utama dalam seluruh aspek kehidupan. Al-Qur’an menyebutkan, “Dan katakanlah: Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu pasti lenyap” (QS. Al-Isra’ [17]: 81). Ayat ini menegaskan bahwa kebenaran memiliki kekuatan eksistensial, sedangkan kebatilan bersifat fana dan akan sirna dengan sendirinya bila cahaya kebenaran ditegakkan.
Namun, dalam konteks sosial hari ini, kita menyaksikan betapa kebenaran kerap kali justru dipinggirkan. Kebisingan opini mengalahkan kejernihan argumen. Orang ramai mempercayai potongan informasi yang viral, meskipun tidak memiliki dasar ilmiah dan tidak melalui proses tabayyun (klarifikasi), sebagaimana diperintahkan dalam QS. Al-Hujurat [49]: 6. Fenomena ini berpotensi menimbulkan kerusakan (fasad) dalam masyarakat, karena kebenaran tidak lagi menjadi pijakan dalam mengambil keputusan atau menyusun pandangan.
Dalam menghadapi realitas seperti ini, umat Islam perlu mengembangkan sikap bijaksana dan kokoh, dengan menghidupkan kembali semangat pencarian kebenaran yang hakiki. Sikap ini merupakan perwujudan dari etos keilmuan yang diajarkan Al-Qur’an, sekaligus menjadi bentuk tanggung jawab etis dan spiritual di tengah krisis informasi yang melanda dunia modern.
Langkah pertama yang mesti kita lakukan adalah membangun literasi kritis di tengah masyarakat. Literasi kritis bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis, melainkan kecakapan untuk menelaah, memahami konteks, serta menguji validitas dan relevansi informasi yang diterima. Dalam bahasa Al-Qur’an, sikap ini tercermin dalam perintah Allah kepada manusia untuk menggunakan akal, sebagaimana firman-Nya, “Apakah kamu tidak berpikir?” (QS. Al-Baqarah [2]: 44), dan “Apakah kamu tidak menggunakan akal?” (QS. Al-Anสปam [6]: 32).
Langkah kedua ialah membina keberanian intelektual dalam membela kebenaran. Dalam masyarakat yang mudah terpengaruh oleh arus opini massa, keberanian untuk menyuarakan yang benar meskipun tidak populer menjadi sangat penting. Nabi Muhammad SAW sendiri adalah teladan agung dalam hal ini. Beliau menyampaikan risalah kebenaran di tengah lingkungan yang secara sosial dan budaya menolak keras pesan tauhid. Namun, beliau tetap teguh dan tidak berkompromi dalam menyampaikan yang hak.
Ketiga, diperlukan pula kejujuran batin, yakni sikap jujur terhadap diri sendiri, terhadap ilmu, dan terhadap kenyataan yang dihadapi. Kejujuran seperti ini akan melahirkan integritas pribadi dan membentengi seseorang dari godaan untuk menyimpang dari kebenaran demi kepentingan sesaat. Dalam pandangan Islam, kejujuran merupakan cerminan dari iman, sebagaimana sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga” (HR. Bukhari dan Muslim).
Langkah keempat yang tak kalah penting adalah menjadikan ilmu sebagai cahaya (nur) dan iman sebagai penuntun arah. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Ilmu tanpa iman akan kehilangan arah moral, sedangkan iman tanpa ilmu akan mudah terjebak pada taklid buta dan fanatisme. Oleh karena itu, integrasi antara ilmu dan iman harus menjadi orientasi pendidikan dan pembinaan umat Islam hari ini. Firman Allah dalam QS. Al-Mujadilah [58]: 11 menegaskan, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Maka dari itu, di tengah era disinformasi ini, hendaknya setiap pribadi Muslim meneguhkan komitmennya sebagai penjaga kebenaran. Jangan sekali-kali menyebarkan berita sebelum memverifikasi kebenarannya. Jangan pula mengutamakan popularitas dibandingkan keakuratan. Rasulullah SAW bersabda, “Cukuplah seseorang dikatakan berdusta jika ia menceritakan semua yang ia dengar” (HR. Muslim). Hadis ini menjadi peringatan keras agar umat Islam tidak menjadi bagian dari rantai penyebaran kepalsuan.
Kita pun harus membiasakan diri untuk bersikap tenang, teliti, dan tidak tergesa-gesa dalam menerima maupun menyebarkan informasi. Sebab, tergesa-gesa adalah sifat syaitan, sedangkan ketenangan adalah sifat orang-orang yang beriman dan berilmu.
Zaman boleh berubah, arus informasi boleh semakin deras, tetapi prinsip-prinsip kebenaran tetap harus dijaga. Islam telah memberikan fondasi yang kokoh untuk membangun masyarakat yang berlandaskan pada ilmu, akhlak, dan kebenaran. Maka tugas kita bukan hanya menjadi penerima informasi, tetapi menjadi penapis, penyaring, dan penyampai kebenaran yang terpercaya.
Di tengah kebisingan wacana dan banjir opini, marilah kita menempatkan diri sebagai pribadi-pribadi yang sadiqin (jujur, kokoh, dan istiqamah) dalam membela yang hak. Sebab, pada akhirnya, yang batil akan lenyap, dan yang benar akan tetap tegak, sebagaimana janji Allah dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Kami melemparkan yang benar kepada yang batil, lalu yang benar itu menghancurkannya, maka dengan serta merta batil itu lenyap.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 18)
Semoga Allah menuntun langkah kita di atas jalan kebenaran, menjadikan ilmu sebagai cahaya, dan menjaga lisan serta hati kita dari terjerumus ke dalam gelapnya kepalsuan.