Oleh: Prof Dr H Haedar Nashir, MSi
Pandangan tentang wasathiyah Islam masih beragam, terutama bila dikaitkan dengan moderasi Islam. Sebagian ada yang menyamakan wasathiyah Islam dengan moderasi Islam yang mengandung makna substansi Islam tengahan. Sementara lainnya ingin membedakannya, karena moderasi Islam dipandang berasal dari konsep Barat dan dianggap cenderung liberal.
Adapun pandangan lain mencoba bersikap tawasuth atau moderat, masalah istilah tidaklah terlalu penting, yang penting substansinya sama. Jika moderasi Islam diisi dan mengandung makna esensi yang sama dengan wasathiyah Islam, maka selesailah perdebatan. Di sinilah fokus pemahaman lebih baik dikedepankan tentang isi atau substansi tentang wasathiyah Islam.
Telaah Tafsir
Konsep dan pemikiran tentang wasathiyah Islam antara lain yang paling dikenal luas merujuk pada ayat ke-143 Surat Al-Baqarah tentang “Ummatan Wasatha”, yang artinnya sebagai berikut: “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) "umat pertengahan" agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.” (QS Al-Baqarah: 143).
Menurut Ibnu Abbas dalam Tanwir Al-Miqbas: “Wakadzalika (ya’ni kama akromanakum bi-dini Ibrahimi al-Islami wa-qiblaitihi) ja’alnakum ummatan wasatha (‘aduulan) litakunu syuhada (linabiyiina) ‘ala al-nas wayakuna al-Rasaulu (Muhammad s.a.w) syahida (lakum muzakiyan ma’dulan)”. Jadi yang dimaksud dengan Ummatan wasatha ialah Ummatan ‘Aduulan, umat yang adil.
Dalam pandangan Imam Ath-Thabari (838-923 M), “Umatan Wasathan” ialah adulan wa hiyaran. "Ummatan wasathan" tidak hanya mencakup umat yang terpilih saja, tetapi juga umat yang seimbang dalam segala hal. Menurutnya, ummatan wasathan adalah umat yang memiliki sifat tengah-tengah, tidak terlalu condong kepada kepentingan dunia, tidak terlalu terikat pada kebutuhan jasmani, dan tidak mengabaikan sepenuhnya hal- hal yang bersifat duniawi.
Ath-Thabari menulis dalam Tafsirnya, “Saya berpandangan bahwa kata wasath dalam tema ini adalah pertengahan yang bermakna bagian (posisi), yaitu bagian antara dua sisi, seperti posisi tengah rumah (wasatu al-daari). Saya berpendapat bahwa Allah SwT menyipati mereka dengan wasath (pertengahan) karena sikap pertengahan mereka dalam beragama, mereka bukan golongan ekstrim kanan (ghuluw) seperti sikap ghuluw kaum Nasrani dengan sikap kerahiban (tarahhub) dan keyakinan mereka tentang Isa seperti yang mereka katakana. Bukan juga golongan ekstrim kiri (taqshir) seperti sikap taqshir kaum Yahudi yang mengubah kitab Allah, membunuh Nabi mereka serta berdusta terhadap Tuhan. Mereka adalah golongan yang tengah dan seimbang, maka Allah menyipati demikian, karena sebaik-baik perkara di sisi Allah adalah pertengahan (seimbang)”.
Sementara itu Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy dalam “Tafsir Al-Quran Al-Majid An-Nur” (1987) menulis, “Wakadzalika ja’alnakum ummatan wasathan”: Dan demikianlah, Kami menjadikan kamu umat pilihan. Kami (Allah) telah menjadikan kamu suatu umat yang paling baik dan adil, umat yang seimbang (moderat), tidak termasuk umat yang berlebih-lebihan dalam beragama (ekstrem) dan tidak pula temasuk golongan orang yang terlalu kurang dalam menunaikan kewajiban agamanya.
Sebelum Islam umat manusia terbagi dalam dua golongan. Pertama, golongan maddiyun (materialis) yang hanya mementingkan keduniawian (materi), seperti orang-orang Yahudi dan Musyrikin. Kedua, golongan ruhaniyun (spiritualis) yang terlalu berpegang kepada adat-adat kejiwaan saja, serta meninggalkan keduiniawian dan kenikmatan, seperti golongan Nasrani, Shabiah, dan golongan-golongan Hindu yang menyembah berhala. Islam datang untuk mempertemukan hak jiwa dan hak tubuh. Islam juga memberikan kepada para pemeluknya (muslimin) segala hak kemanusiaan. Manusia memang terdiri atas jiwa dan jasad (fisik). Boleh dikatakan: “Manusia itu adalah binatang dan malaikat. Maka, kesempurnaan manusia adalah karena diberi kedua hak tersebut.”.
Adapun makna Liakunu Syuhada ‘ala -al-Nas, menurut Hasby: Supaya kamu menjadi saksi terhadap manusia. Supaya kamu menjadi saksi atas golongan-golongan materialis yang terlalu mengutamakan kenikmatan duniawi, tidak memoerdulika hak-hak Allah dan tidak mau mementingkan kejiwaan sedikit saja. Mereka berkata: “Hidup itu adalah kehidupan duniawi semata. Yang membinasakan kita hanyalah masa”. Selain itu, supaya kamu menjadi saksi terhadap orang-orang yang berlebihan dalam beragama dan melepaskan diri dari segala kenikmatan fisik dan mengazabnya, serta merusakkan segala hak dirinya. Tegasnya, dalam hidup ini mereka mengharamkan dirinya dari segala yang disediakan oleh Allah untuknya. Dengan demikian, mereka keluar dari jalan yang benar dan berbuat kejahatan atas dirinya dengan jalan berbuat jahat atas fisiknya. Kamu menjadi saksi terhadap golongan pertama dan golongan kedua, serta kamu melebihi seluruh umat dengan jalan kamu berlaku imbang (moderat) dalam segala urusan.
Habsy menjelaskan tengang frasa ayat “Wayakuna Rasulu ‘alaikum syahiida”, yang artinya “Dan Rasul menjadi saksi terhadapmu.”. Nabi menjadi saksi terhadap kamu, karena Nabi Muhammad sebagai teladan yang paling tinggi martabat keseimbangan. Kita umat Islam berhak menerima sifat tersebut, apabila kita mengikuti perjalanan Nabi dan syariatnya. Dialah yang menemukan siapa yang mengikutinya, dan siapa pula yang menyeleweng, lalu mengadakan berbagai rupa tradisi yang lain serta berpaling dari jalan yang lurus. Karena itu, Rasul dengan agama dan perjalanannya menjadi keterangan yang tegas, bahwa orang yang menyeleweng bukanlah dari golongan umatnya. Dengan demikian keluarlah dari posisi yang seimbang, dan menjadi berat sebelah (ekstrem).
Pemikiran Wasathiyah Islam
Menurut Wahbah Zuhaili, kelompok Islam “wasathiyah” atau moderat atau ”umat tengahan”, yaitu kelompok Islam yang memiliki sikap keberagamaan sebagi berikut: (1) Kemoderatan dalam berkeyakinan sebagaimana sikap “ummat wasatha”, (2) Mudah dalam kewajiban dan hukum, serta ringan dalam praktiknya, (3) Menghilangkan kesempitan dan keberatan dalam menjalankan kewajiban dan hukum, (4) Terbukanya pintu rukhshah atau keringanan, (5) Kontinyu dalam beribadah walaupun sedikit, (6) Kemoderatan dalam perilaku dan berinteraksi, (7) dan Moderat dalam menjalankan peraturan (Az-Zuhaili, 2005).
Sedangkan dalam "Deklarasi Bogor" (Bogor Message) tahun 2018 ditegaskan tentang “Wasathiyah Islam” sebagai berikut. Cendekiawan Muslim dan ulama sedunia berkomitmen mengaktifkan kembali paradigma Wasathiyat Islam sebagai ajaran Islam pusat yang meliputi tujuh nilai utama. Adapun ciri dari wasathiyah Islam ialah sebagai berikut. Pertama Tawassut, yakni posisi di jalur tengah dan lurus. Kedua I'tidal, yakni berperilaku proporsional dan adil dengan tanggung jawab. Ketiga Tasamuh, yakni mengakui dan menghormati perbedaan dalam semua aspek kehidupan. Keempat Syura, yakni bersandar pada konsultasi dan menyelesaikan masalah melalui musyawarah untuk mencapai konsensus. Kelima Islah, yakni terlibat dalam tindakan yang reformatif dan konstruktif untuk kebaikan bersama. Keenam Qudwah, yakni merintis inisiatif mulia dan memimpin untuk kesejahteraan manusia. Ketujuh Muwatonah, yakni mengakui negara bangsa dan menghormati kewarganegaraan.
Muhammadiyah telah mendefinisikan dan mendeskripsikan tentang konsep "Wasathiyah" sebagai berikut. Di antara lima ciri dari Karakter Islam Berkemajuan dalam Risalah Islam Berkemajuan (RIB) ialah "Mengembangkan Wasathiyah (Tanmiyat al Wasathiyah)". Dijelaskan sebagai berikut: "Al-Qur’an menyatakan bahwa umat Islam adalah ummatan wasathan (umat tengahan), yang mengandung makna unggul dan tegak. Islam itu sendiri sesungguhnya adalah agama wasathiyah (tengahan), yang menolak ekstremisme dalam beragama dan sikap sosial baik dalam bentuk sikap berlebihan (ghuluww) maupun sikap pengabaian (tafrith). Wasathiyah juga bermakna posisi tengah di antara dua kutub, yakni ultra konservatisme dan ultra-liberalisme dalam beragama. Selaras dengan itu, wasathiyah menuntut sikap seimbang (tawazun) antara kehidupan individu dan masyarakat, lahir dan batin, serta duniawi dan ukhrawi. Wasathiyah tidak mengarah pada toleransi terhadap sekularisme politik dan permisivisme moral. Karena Islam adalah agama wasathiyah, maka ia harus menjadi ciri yang menonjol dalam berpikir dan bersikap umat Islam.".
Ditegaskan secara rinci tentang ciri wasathiyah: "Wasathiyah diwujudkan dalam sikap sosial (1) tegas dalam pendirian, luas dalam wawasan, dan luwes dalam sikap; (2) menghargai perbedaan pandangan atau pendapat; (3) menolak pengkafiran terhadap sesama muslim; (4) memajukan dan menggembirakan masyarakat; (5) memahami realitas dan prioritas; (6) menghindari fanatisme berlebihan terhadap kelompok atau paham keagamaan tertentu; dan (7) memudahkan pelaksanaan ajaran agama." (RIB, 2022).
Sumber: Majalah SM Edisi 07/2025