Menyorot Kewenangan Penyelengaraan Sekolah Muhammadiyah
Oleh: Jabarullah, Anggota Majelis Dikdasmen & PNF PWM Riau
Muhammadiyah selama ini dikenal publik sebagai organisasi yang sukses mengelola amal usaha, khususnya di bidang pendidikan. Ribuan sekolah dan madrasah Muhammadiyah tersebar mulai dari perkotaan hingga pedesaan, bahkan banyak di antaranya tumbuh menjadi sekolah unggulan dan menjadi rujukan masyarakat. Dari sisi eksternal, capaian ini adalah prestasi besar.
Namun, jika menengok ke dalam, tidak sedikit dinamika yang menyertai perjalanan pengelolaan sekolah dan madrasah Muhammadiyah. Salah satu persoalan yang kini muncul ke permukaan adalah terkait kewenangan penyelenggaraan sekolah akibat penyesuaian dengan kebijakan pemerintah. Sebagaimana diketahui, pemerintah menetapkan pengelolaan SMA/SMK/MA berada di bawah kewenangan provinsi, sedangkan SMP/MTs dan SD/MI berada di bawah kabupaten/kota.
Alih-alih menjadi solusi, penyesuaian pola ini justru menimbulkan kegaduhan internal beberapa tingkat Pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah. Di banyak tempat, muncul tarik-menarik kewenangan antara pimpinan cabang dengan daerah muhammadiyah dalam pengelolaan SMP/MTs, bahkan antara pimpinan daerah dan wilayah muhammadiyah dalam pengelolaan SMA/SMK/MA. Padahal, semangat awal pembangunan amal usaha pendidikan Muhammadiyah adalah bottom-up, lahir dari inisiatif pimpinan cabang atau daerah sebagai pendiri sekolah.
Jika dibiarkan, kondisi ini berpotensi menurunkan motivasi cabang mendirikan SMP/MTs dan daerah dalam mendirikan SMA/SMK/MA, serta menciptakan kebingungan di internal sekolah akibat adanya dua pimpinan yang saling berebut kewenangan. Akhirnya, yang dirugikan adalah kualitas pendidikan itu sendiri.
Prinsip yang Harus Dijaga
Peraturan PP Muhammadiyah Nomor 3/Per/I.0/B/2012 Pasal 5 ayat (7) dan (9) sesungguhnya sudah cukup jelas menegaskan bahwa:
Jika cabang menyelenggarakan SMP/MTs, maka Majelis Cabang berwenang penuh mengatur pelaksanaannya.
Jika daerah menyelenggarakan SMA/SMK/MA, maka Majelis Daerah berwenang penuh dalam pengelolaannya.
Kewenangan tersebut mencakup pembinaan ideologi Muhammadiyah, perencanaan, pengoordinasian, pembimbingan, pengawasan, hingga pengelolaan program. Artinya, peran cabang dan daerah sebagai pendiri sekolah tidak boleh diabaikan hanya karena mengikuti pola birokrasi pemerintah.
Penyesuaian dengan regulasi pemerintah boleh dilakukan sebatas untuk keabsahan administratif, misalnya dalam penetapan kepala sekolah. Namun, Muhammadiyah harus tetap menjaga prinsip bahwa kepala sekolah diangkat dengan pertimbangan dan rekomendasi cabang atau daerah sebagai pendiri sekolah.
Saatnya Revisi Regulasi
Untuk itu, Majelis Dikdasmen dan PNF PP Muhammadiyah perlu segera melakukan peninjauan ulang dan revisi terhadap ketentuan yang diterbitkan pada 2024, terutama ketentuan no: 02/KTN/I.4/F/2024 tentang pengangkatan & pemberhentian kepala dan wakil kepala sekolah/Madrasah, ketentuan no: 05/KTN/I.4/F/2024 tentang kepegawaian pada sekolah/madrasah Muhammadiyah dan ketentuan no: 06/KTN/I.4/F/2024 tentang pengelolaan keuangan dan aset sekolah.
Banyak pasal di dalamnya yang dinilai tidak konsisten dan berpotensi mengaburkan tugas & kewenangan pimpinan pendiri sekolah sebagai “penyelenggara” sebagaimana ditegaskan pada peraturan 2012.
Revisi ini sangat penting agar regulasi Muhammadiyah tetap sejalan dengan aspirasi cabang dan daerah yang menjadi motor pembangunan amal usaha pendidikan. Tanpa langkah korektif, konflik internal akan sulit dihindari dan mutu sekolah Muhammadiyah bisa terancam.
Muhammadiyah dikenal kuat karena semangat kemandiriannya. Sekolah dan madrasah Muhammadiyah lahir dari kepedulian warga di tingkat bawah, bukan dari birokrasi atas. Karena itu, menjaga peran cabang dan daerah sebagai penyelenggara sejati sekolah adalah bentuk penghormatan terhadap sejarah, aspirasi, dan semangat bottom-up yang menjadi ciri khas gerakan pendidikan muhammadiyah berkemajuan.