Ketika Hati Menggelap, Dunia Ikut Meredup

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
31
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Ketika Hati Menggelap, Dunia Ikut Meredup

Oleh : Rusydi Umar, Dosen FTI UAD, Anggota MPI PPM (2015-2022)

Dalam pergaulan sehari-hari, kita sering berpapasan dengan aneka rasa yang muncul begitu saja di dada. Ada rasa kagum, ada rasa gembira atas nikmat orang lain, tetapi tak jarang juga terselip rasa lain yang lebih gelap: iri, dengki, dan hasad. Al-Qur’an menangkap sisi rapuh ini dalam surah Al-Falaq, “dan dari kejahatan pendengki ketika ia dengki”—sebuah pengakuan bahwa penyakit hati bukan sekadar persoalan batin, tetapi dapat menimbulkan efek riil dalam kehidupan sosial manusia.

Iri, dengki, dan hasad sering dipakai bergantian, padahal nuansanya berbeda. Iri kadang hanya berarti kita ingin memiliki kenikmatan yang sama, tanpa berharap kenikmatan orang lain hilang, ini masih wajar selama hati tetap jernih. Dengki mulai menggumpal ketika seseorang tidak senang melihat kebahagiaan orang lain. Adapun hasad adalah puncaknya: keinginan agar nikmat itu lenyap dari pemiliknya. Pada titik ini, hati seperti terbakar dari dalam. Para ulama menyebut hasad sebagai penyakit hati paling tua, karena Iblis sendiri jatuh karena hasad kepada Adam.

Biasanya, jika kita membahas hasad, fokus kita adalah akibatnya pada pelaku: hatinya gelisah, pikirannya sempit, hidupnya tidak tenang. Ia mudah tersulut, sulit tidur, dan selalu merasa kurang. Seolah-olah ia membawa bara yang ia genggam sendiri. Itulah sebabnya para pendidik akhlak menyebut hasad sebagai “siksaan yang ditanggung tanpa pernah menyakiti orang yang dibenci”. Artinya, pelakunyalah yang paling rugi.

Namun, dalam tradisi Islam ada satu sisi lain yang jarang diulas: bahwa dampak buruk itu, dalam kondisi tertentu, dapat juga menyentuh orang yang menjadi target kedengkian tersebut. Fenomena inilah yang disebut ‘ain. Bukan dalam arti magis yang seram, tetapi sebagai sebuah realitas batin yang Nabi SAW sendiri mengingatkan, “Al-‘ain itu benar adanya.”

Lalu bagaimana menjelaskan hal ini secara logis? Para ulama memandang ‘ain sebagai gabungan antara unsur psikologis, unsur sosial, dan unsur syar‘i. Secara psikologis, manusia memiliki kecenderungan emosional yang kuat ketika melihat sesuatu yang ia cintai atau ia benci. Emosi yang intens dapat membentuk ekspresi, kata-kata, atau bahkan gestur yang mempengaruhi hubungan sosial dan suasana sekitar. Secara sosial, hasad biasanya tumbuh di ruang kedekatan, di antara tetangga, kerabat, atau komunitas yang saling mengenal. Perbandingan demi perbandingan membuat hati mudah terpancing.

Sementara itu, secara syar‘i, ‘ain dipahami sebagai dampak batin yang dapat mengenai orang lain bukan karena pandangan mata semata, tetapi karena kombinasi kondisi hati, ucapan yang tidak dijaga, serta lemahnya perlindungan spiritual pada diri penerima. Karena itu, ‘ain tidak boleh dipukul rata sebagai penyebab setiap sakit. Tidak setiap demam, kecelakaan, atau masalah dianggap datang dari ‘ain. Ada ciri-ciri yang harus diperhatikan: misalnya kejadian datang secara mendadak setelah adanya interaksi emosional yang kuat, tidak ada sebab medis yang jelas, atau munculnya gejala pada situasi yang berulang. Bahkan demikian, Islam tetap mendorong verifikasi medis dan tidak membiarkan keyakinan tanpa dasar.

Lalu muncul pertanyaan: mengapa orang baik bisa terkena? Mengapa Allah mengizinkan seorang hamba yang rajin ibadah justru merasakan imbas dari kedengkian orang lain? Jawabannya dapat dipahami dari dua sisi. Pertama, dunia ini memang ruang ujian, dan interaksi antarhati termasuk bagian dari ujian itu. Orang baik kadang diuji bukan karena ia buruk, tetapi karena ia sedang dinaikkan derajatnya. Kedua, Islam mengajarkan agar manusia tidak hidup tanpa kewaspadaan spiritual. Doa-doa penjaga hati, adab memuji, dan sikap saling mendoakan adalah bagian dari ekosistem sosial yang sehat. Ketika salah satu unsur ini lemah, ruang bagi ‘ain bisa terbuka.

Pada akhirnya, kesimpulannya kembali pada satu hal: hasad lebih sering menghancurkan pelakunya daripada membahayakan orang lain. Bahkan ketika ia sampai melukai pihak lain, luka paling dalam tetap berada di hati si pendengki itu sendiri. Maka tugas kita bukan hanya menjauhkan diri dari menjadi korban, tetapi lebih-lebih menjauhkan diri dari menjadi pelaku. Hati yang bersih bukan sekadar melindungi orang lain, ia lebih dulu menyelamatkan pemiliknya.

Semoga kita dijauhkan dari hasad, dan diberikan hati yang lapang untuk menerima nikmat Allah pada diri sendiri maupun orang lain. Karena hati yang jernih adalah cahaya, dan dari cahaya itulah jalan kemajuan dibangun.

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Berdakwah dengan Santun Oleh: Suko Wahyudi. PRM Timuran Yogyakarta  Dakwah merupakan manifest....

Suara Muhammadiyah

17 July 2025

Wawasan

Surah At-Taubah Ayat 12: Membedah Makna di Balik "Mencela Agama" demi Keadilan dan Perdamaian Oleh:....

Suara Muhammadiyah

4 August 2025

Wawasan

Menyenangkan Allah dengan Belajar Sains Halal Oleh: Vritta Amroini Wahyudi, Dosen Teknologi Pa....

Suara Muhammadiyah

4 August 2025

Wawasan

Jihad Ekologis dan Isyarat Nabi dalam Memelihara Lingkungan Oleh: Khulanah, pendidik pondok pesantr....

Suara Muhammadiyah

2 March 2025

Wawasan

Muhammadiyah dan Moralitas Publik: Mengenang Rosyad Sholeh  Oleh: Syarifuddin Jurdi, Dosen UIN....

Suara Muhammadiyah

1 August 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah